Curhat Pasien Kanker di Fuda Cancer Hospital, Guangzhou, Tiongkok

Diberi Pilihan Terapi meski Kanker Sudah Stadium Lanjut

Minggu, 04 Maret 2012 – 00:40 WIB
CERIA : Maria Bernadeth (tengah) bersama temannya, Thoe Ing Sen (kiri) dan Chow Mu Jing. Foto : Anda Marzudinta/JAWA POS

Divonis kanker stadium lanjut bak terkena pukulan supertelak. Bikin shock, bingung, dan sedih. Nah, pasien seperti itu butuh pendekatan personal dan penjelasan mendetail. Seperti apa? Berikut laporan ANDA MARZUDINTA yang baru pulang dari Guangzhou.

=====================

MARIA Bernadeth Susilowati, 70, tak pernah mengira bahwa batuk yang dialaminya selama tiga bulan terakhir merupakan gejala kanker. Maklum, batuk itu seperti batuk biasa. Tidak mengeluarkan dahak, apalagi darah. Batuk tersebut kadang-kadang hilang, tapi kemudian kambuh lagi. Selain batuk, ibu lima anak itu beberapa kali merasakan tenggoroknya gatal.

"Saya bukan perokok, hampir tidak pernah minum minuman beralkohol. Saya juga hampir tidak pernah kena asap dapur karena sibuk bekerja. Jadi, saya bingung dari mana sumber kanker paru ini," ujar Maria kepada Jawa Pos di Fuda Cancer Hospital, Guangzhou, Tiongkok, Jumat lalu (24/2).

Suatu ketika Maria mengeluhkan batuknya itu kepada saudaranya yang jadi dokter. Dia pun disarankan untuk rontgen dada. Hasilnya, ada benjolan di paru-paru Maria.

"Saya ingat betul, waktu itu 19 Juli 2010. Kata dokter, lokasi benjolan dekat dengan pembuluh darah besar di perbatasan jantung dan paru-paru. Kalau mau operasi, sulit," jelas perempuan yang mengelola perusahaan garmen bersama keluarganya itu.

Setelah diketahui ada kanker di paru-paru Maria, dilakukan perundingan keluarga. Dua kakak, seorang adik, dan lima anaknya mengupayakan hal terbaik demi kesembuhan Maria.

"Apalagi, papa saya baru sekitar dua tahun lalu meninggal karena brain cancer (kanker otak). Kami ingin yang terbaik untuk mama," kata Toni, anak kedua Maria yang setia mendampingi sang mama di Guangzhou.

Maria kemudian berobat ke Singapura. Dia menjalani biopsi dan dinyatakan mengalami small cell carcinoma. Maria harus mengikuti tahap terapi kanker. Yakni, radioterapi sebanyak 15 kali. "Sinar (demikian Maria menyebut radioterapi, Red) dilakukan setiap Senin sampai Jumat. Sabtu dan Minggu libur," cerita nenek delapan cucu itu.

Maria juga wajib kemoterapi setiap tiga minggu. "Efeknya, tumpah (muntah), diare sampai seminggu, dan rambut rontok. Tidak cuma rambut kepala, rambut alis dan rambut lain juga habis," ungkap dia.

Berat badan Maria pun turun drastis. Yang awalnya 79 kilogram menjadi 69 kilogram. Satu paket kemoterapi terdiri atas enam kali terapi. Setelah itu, baru dilakukan PET scan (positron emission tomography scan) dan general check-up. "Hasilnya bagus, tidak ada penyebaran. Saya ganti-ganti obat kemo sampai lima kali," jelasnya.

Pada PET scan berikutnya, diketahui ada penyebaran. "Dokter menyarankan ganti obat kemo. Harganya nggak ketulungan, sekali suntik seratus juta rupiah," ujar perempuan yang tinggal di Malang, Jatim, tersebut. Untuk sekali terapi di Singapura, Maria menyatakan habis sampai Rp 70 juta.

Dia kemudian berunding dengan keluarga. "Anak saya yang tinggal di Korea meminta kopi semua hasil pemeriksaan saya. Dia ingin mendiskusikan pilihan penanganan selain kemo yang mahal itu," ujarnya.

Akhirnya, disepakati melanjutkan pengobatan Maria di Guangzhou. "Pada 17 November 2011 saya periksa darah dan PET scan ulang di Fuda Cancer Hospital ini. Hasilnya, kanker sudah menyebar ke liver, tulang belakang, dan entong-entong (punggung atas). Hasil CEA (penanda kanker) juga tinggi sekali, sampai 500-an," paparnya.

Menurut perempuan yang berada di bawah pengawasan dr Silvia Mariann dan suster Xiaoli Ren itu, dokter memberikan penjelasan mengenai penyakitnya dengan sangat detail. "Saya jadi bisa menerima bahwa kanker itu tergolong penyakit kronis. Para dokter mengupayakan cara untuk mengendalikan kanker," imbuh dia.

Dia juga mendapat penjelasan dari dr Changming Zheng, kepala lantai 3, yang mayoritas dihuni pasien dari Indonesia. "Saya perlu cryosurgery dua kali, kemudian kemoterapi nano," tuturnya, menirukan penjelasan dokter. 

Cryosurgery merupakan metode pembekuan tumor menjadi bola es dengan menggunakan gas argon. Targetnya suhu minus 160 derajat Celsius. Kemudian, suhu dinaikkan menjadi 40 derajat Celsius dengan memanfaatkan gas helium.

"Dengan cara tersebut, diharapkan sel-sel kanker mati. Tetapi, jaringan sehat di sekitar benjolan tidak terpengaruh," jelas dr Lizhi Niu PhD, pakar cryosurgical ablation (CSA), setelah peresmian gedung baru Fuda Cancer Hospital, Jinan School of Medicine, yang dihadiri Menkes dr Endang Rahayu Sedyaningsih, Sabtu (25/2).

Prof dr Kecheng Xu, chief executive president Fuda Cancer Hospital, menambahkan, yang diupayakan tim dokternya adalah mengendalikan kanker. "Kanker menjadi ancaman besar di mana-mana. Kami terus berupaya mengendalikan penyakit ganas itu," tegasnya.

Ketika menjalani cryosurgery, Maria harus dianestesi total. "Waktu sudah sadar, saya masih sesak, ada slang di mana-mana. Empat sampai lima hari kemudian, rasanya sudah enakan," tutur dia.

Kalau dirasakan, efek sampingnya, menurut Maria, sakit setelah operasi. Tapi, selera makan masih ada. Beberapa saat kemudian, dilakukan USG dan rekam irama jantung (elektrokardiografi/EKG). "Hasilnya, kata dokter, bagus. Artinya, kanker terkendali," ujarnya.

Sepuluh hari setelah tindakan tersebut, dia menjalani cryosurgery kedua. Selang sepuluh hari kemudian, dilakukan kemoterapi nano pertama. Hal sama dilakukan sepuluh hari kemudian. "Sewaktu dikemo nano itu, selera makan saya memang turun. Tapi, mual, muntah, dan diare tidak separah sewaktu kemo biasa di Singapura dulu," ungkapnya. Rambut, papar dia, juga tidak rontok.

Setelah menjalani terapi sebulan lebih, Maria berangsur fit. Dia pun pulang ke Malang. Tapi, tiga minggu kemudian dia balik ke Guangzhou. "Pokoknya, begitu boleh pulang sama dokter, saya pulang. Selama di sini, saya sudah habis lebih dari lima ratus juta rupiah," ujar dia. Biaya sedemikian besar itu didapat dari patungan lima anaknya dan saudara-saudaranya.

Maria berharap bisa benar-benar pulih. Dia merencanakan April mendatang ke Beijing untuk menjalani terapi herbal. "Saya berharap kanker ini benar-benar terkendali," imbuh dia.

Lain lagi yang dialami Desi Nainggolan. Perempuan 65 tahun itu menderita kanker payudara. Dia awalnya hanya kontrol hipertensi di RS Cikini, Jakarta.

"Waktu itu, Maret 2011, payudara kanan saya baru ketendang cucu. Saya konsultasikan sekalian waktu kontrol darah tinggi. Eh, sama dokternya disuruh mamografi," ujarnya.

Hasil mamografi menunjukkan kanker payudara. Diperkirakan kanker itu sudah stadium 4 dan dia harus menjalani operasi pengangkatan payudara.

Desi lantas dirujuk ke RS Kanker Dharmais. Saat diminta periksa darah, Desi lupa puasa dan menunda-nunda pemeriksaan tersebut. "Suatu kali, saya menghadiri resepsi pernikahan keponakan saya dan bertemu teman lama. Oleh dia, saya diantar ke sebuah klinik yang menjanjikan kesembuhan," ucapnya.

Desi lantas menjalani paket kemoterapi herbal selama sepuluh hari dengan tarif sekitar Rp 30 juta. "Yang saya kurang sreg, di klinik itu tidak ada dokter jaganya. Tapi, saya jalani saja, kan telanjur bayar," ucap dia.

Karena hasilnya kurang memuaskan, Desi lantas dirujuk ke sebuah RS di Guangzhou. "Saya mulai curiga. Awalnya hanya akan operasi kecil, tapi beberapa hari kemudian saya diberi tahu akan dilakukan pengangkatan payudara," ceritanya. Bahkan, efek terapi itu masih tampak hingga kini. Salah satunya, kuku jari tangan Desi menghitam.

Anaknya yang tinggal di Belanda merasa tidak sreg dan meminta Desi ke Negeri Kincir Angin itu. "Tapi, saya tidak yakin dengan kondisi tubuh saya. Saya keluar dari rumah sakit secara paksa dan tinggal di tempat keponakan saya di Guangzhou ini," tutur dia.

Desi lantas diantar ke Fuda Cancer Hospital dan menjalani biopsi ulang. "Hasilnya beda dan melegakan saya. Dokter bilang, kanker payudara saya berukuran 6,4 x 3,4 cm dan stadium 2B," jelasnya.

Dokter lantas memberikan tiga pilihan kepada Desi. Yakni, pengangkatan seluruh payudara kanan, pengangkatan bagian yang perlu diangkat, atau cryosurgery plus kemoterapi nano. Desi menjatuhkan pilihan pada cryosurgery plus kemoterapi nano. Dia sudah menjalani cryosurgery dan enam kali kemo nano. Hasilnya, tumor di payudaranya tak sekeras dulu. Efek samping yang dia rasakan pun lebih sedikit jika dibandingkan dengan kemoterapi herbal yang pernah dijalaninya.

"Hasil PET scan menunjukkan, di kelenjar masih ada kanker. Dokter bilang, saya direncanakan cryo (cryosurgery) lagi dengan cara memasang logam vertikal, bukan horizontal sebagaimana pasien lain," ujar perempuan yang tetap minum obat hipertensi dan pereda mual itu. (*/c11/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Laskar Pelangi dari Timor Tengah Selatan, NTT


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler