jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) melakukan kegiatan cetak sawah pada lokasi yang berpotensi bisa ditanami dengan indeks mencapai dua dalam dua musim tanam.
Lahan yang ditetapkan sebagai calon lokasi cetak sawah harus memenuhi persyaratan clean dan clear terkait dengan status kepemilikan tanah serta bukan tanah sengketa.
BACA JUGA: Kementan Terus Pantau Ketersediaan dan Distribusi Pangan di Daerah
Ketersediaan sumber air yang cukup serta tersedia petani pemilik atau penggarap yang berkomitmen untuk bersawah juga menjadi kriteria dalam penentuan lokasi cetak sawah.
Menteri Pertanian Mentan Syahrul Yasin Limpo SYL menjelaskan, kegiatan cetak sawah merupakan usaha penambahan luas baku lahan sawah pada berbagai tipologi lahan yang belum pernah diusahakan dengan sistem sawah.
BACA JUGA: Perluas Akses, Kementan Integrasikan Aplikasi Peta Ekspor ke Pasar Digital Global
Dalam perencanaannya kegiatan cetak sawah juga harus menyertakan penyusunan dokumen lingkungan yang terkait, di antaranya amdal apabila akan tercetak untuk luasan lebih dari 500 ha per hamparan.
"Calon lokasi cetak sawah ini memiliki tipologi yang berbeda baik itu vegetasi maupun kondisi lapangnya, maka harus benar-benar direncanakan dengan baik agar lahan tersebut dapat dioptimalkan." sebut Mentan SYL.
BACA JUGA: Kementan Lepas Ekspor Produk Pertanian ke 43 Negara
Kegiatan cetak sawah yang telah dilakukan oleh Kementan dalam beberapa tahun ini selalu dimulai dengan SID (Survey Investigasi Design).
SID ini sebagai proses perencanaan guna memastikan kesesuaian lahan, ketersediaan petani dan ketersediaan potensi sumber air.
"Proses ini dilakukan tahun sebelumnya sehingga tidak menghambat proses konstruksi penyediaan sawah baru yang tercetak pada tahun anggaran berjalan," jelasnya.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy mengungkapkan, kegiatan cetak sawah tahun 2019 dilaksanakan di 27 kabupaten pada delapan provinsi, salah satunya di Kabupaten Poso dengan total 150 Ha yg dialokasikan di dua kecamatan (Pamona Barat dan Pamona Tenggara).
Hingga April 2020 ini sudah dilakukan dua kali penanaman seperti yang dilaksanakan oleh Poktan Mekar Nadi 2 Desa Uronasari Kecamatan Pamona Barat Kabupaten Poso yang memiliki 30 Ha sawah.
"Kegiatan cetak sawah juga ada di Kabupaten Aceh Besar yang direalisasikan pada tahun 2019 seluas 200 Ha. Lokasinya di Kecamatan Seulimuen, Pulo Aceh, Darussalam, Kuta Cot Gile dan Lembah Seulawah," sebutnya.
Sebelumnya, tahun 2015, Direktorat Perluasan dan Perlindungan Lahan, Ditjen PSP telah membuka sawah baru seluas 20.070 Ha, prakiraan potensi produksi yang akan di hasilkan sebanyak 140.490 ton, apabila rerata provitas 3.5 ton/ha dengan IP 200.
Tahun 2016 berhasil mencetak sawah seluas 129.096 Ha, dengan potensi produksi di prakirakan produksi 903.672 ton apabila rerata provitas 3.5 ton/ha dan IP 200.
Realisasi cetak sawah tahun 2017 mencapai 60.243 Ha, dengan potensi produksi produksi 421.701 ton, apabila rerata provitas mencapai 3.5 ton/ha dengan IP 200.
Sedangkan realisasi cetak sawah tahun 2018 seluas 9.568 Ha, potensi produksi produksi 66.976 ton, apabila rerata provitas mencapai 3.5 ton/ha dengan IP 200.
"Sedangkan realisasi cetak sawah tahun anggaran 2019 berhasil mencapai 6.000 Ha, sumbangam produksi yg akan di hasilkan mencapai 21.000 ton, apabila rerata provitas mencapai 3.5 ton/ha," tambahnya.
Dengan demikian, Kementan melalui Ditjen PSP, dalam kurun waktu empat tahun, telah berhasil mencetak sawah baru diprakirakan seluas 224.977 ha.
"Cetak sawah seluas 224.977 ha yang telah berhasil dicetak itu menambah luas baku lahan sawah di tanah air. Minimal akan mampu menambah produksi beras nasional sebanyak 673.326 ton/tahun dengan rata-rata produksi 3 ton/ha. Secara berkesinambungan produksi dan produktivitas tersebut akan bertambah,” kata Sarwo Edhy.
Menurut dia, hal ini tidak terlepas dari upaya memberdayakan masyarakat agraris atau bisa disebut juga masyarakat pedesaan di Indonesia sebagai masyarakat yang paling rentan terhadap perubahan budaya.
Sumber daya manusia pedesaan umumnya memiliki kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang rendah. Sehingga rentan terhadap dampak lingkungan.
“Mereka memang penghasil produk pertanian, tapi segi kualitas dan kuantitas masih sangat terbatas. Hal ini akibat sistem pertanian yang masih subsisten dan daya beli masyarakat pedesaan yang rendah,” ucap Sarwo Edhy.
Di tengah semua keterbatasan itu, perlu ada upaya untuk mendorong pengembangan cetak sawah baru yang lebih modern serta memanfaatkan penggunaan alat mesin pertanian (Alsintan) canggih dalam bercocok tanam.
Pengembangan lahan cetak sawah baru juga harus memenuhi syarat teknis, dari sisi agroklimatnya, ketersediaan airnya, unsur hara dan ketersediaan SDM yang mengelola serta ada sarana dan prasarana, termasuk jalan produksi dan jaringan irigasi.
"Secara hukum, lahan harus clean and clear. Karena itu, meskipun tersedia data lahan terlantar, lahan tidur dan lahan rawa, kenyataannya yang dapat dimanfaatkan dan memenuhi syarat tidak semuanya. Itu pun terpencar-pencar, sehingga perlu dilakukan verifikasi lapangan dalam penentuan kelayakan lahan," pungkasnya. (*/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi