jpnn.com - AKU bukan artis pembuat berita/tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa-- Wiji Thukul, 18 Juni 1997.
Sejumput narasi setelah menonton film Istirahatlah Kata-Kata…
BACA JUGA: Glenn Fredly-Ahok Nobar Istirahatlah Kata-Kata
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
Semiotik. Film pendek bergenre sejarah ini dibuka dengan adegan:
BACA JUGA: Ahok Jadi Rebutan Penonton Istirahatlah Kata-Kata
Periuk di atas kompor. Api bernyala. Tutup periuk beriak. Bergolak. Mendidih. Perlambang situasi telah matang. Sepersekian menit pertama, layar menampilkan objek yang itu-itu saja.
Seiring gambar statis itu, mengudara siaran radio yang memberitakan deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), 22 Juli 1996.
BACA JUGA: Istirahatlah Kata-Kata Bukan Sekadar Film bagi Melanie
Melalui siaran itu, pejabat tinggi negara menyatakan, PRD melanggar anu, melanggar itu. Sebab, aturan mainnya hanya boleh tiga partai; Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Lima hari kemudian, meletus huru-hara di markas PDI, Jl. Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat.
Pemerintah lantas saja menuding PRD, partai yang didirikan sejumlah mahasiswa, anak muda, pekerja seni, budaya dan lain sebagainya ini sebagai dalang kerusuhan.
Sekawanan rakyat yang berwajah kemerah-merahan itu pun jadi buruan.
Termasuk Wiji Thukul. Berdasarkan fakta sejarah--bagian yang ini tak ada di film--pendiri PRD kelahiran Solo, 26 Agustus 1966 ini telah menulis puisi bertajuk Tentang Sebuah Gerakan, sejak 1989.
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
***
Ini film sangat informatif.
Melalui film non dokumenter berdurasi lebih kurang satu jam setengah ini penonton diberi tahu, semasa buron, Ketua Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) itu melarikan diri dari Jawa. Melaut ke Borneo dan mengadu peruntungan di Pontianak.
Fakta sejarah yang tidak umum diketahui.
Selama di sana, Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) ditampung antara lain oleh Thomas (Dhafi Yunan), seorang dosen muda.
Dan Martin (Eduwart Boang Manalu), pelarian politik dari Sumatera menyusul pergolakan gerakan buruh di Medan, yang menetap di Pontianak setelah kawin dengan perempuan Dayak (Melanie Subono).
Martin dan Thomas-lah yang mengatur pembuatan KTP Pontianak untuk Paul--nama samaran yang digunakan Wiji Thukul dalam pelarian. Lagi, ini fakta sejarah yang tidak umum.
Sebelum Paul, saat mula-mula tiba di Pontianak, dalam sebuah adegan yang sangat semiotik dipertontonkan pula ia pernah mengaku bernama Wanto, saat diinterogasi "ABRI".
Fakta-fakta ini sudah barang tentu tak akan didapat, bila riset si empunya film tidak baik. Jadi…salut!
***
Sedari diputar di bioskop, mulai dari Gala Premier di Epicentrum, 16 Januari 2017, disusul tayangan serentak di sejumlah bioskop tiga hari kemudian, film ini "diserbu" aktivis. Dan tentu saja jurnalis.
Bisa jadi karena gratis. Banyak yang memfasilitasi nonton bareng.
Begitu keluar bioskop, mendadak banyak yang menjadi kritikus film. Umumnya berkomentar seragam, film yang disutradari Yosep Anggi Noen ini datar. Dan…tidak sesuai harapan.
Dan si empunya karya sudah memberi alas, bahwa mereka tidak sedang membuat film, "bak visualisasi buku sejarah," yang, "akibat ambisi berlebihan merangkum seluruh sisi kehidupan sang tokoh," dan lalu, "melupakan observasi karakter."
Pun demikian, dalam perspektif sejarah, melalui film ini, setidaknya penonton jadi tahu bahwa Indonesia pernah dipimpin oleh rezim gagah perkasa, namun takut pada kata-kata.
Adegan demi adegan begitu jelas menggambarkan, yang karena kata-kata, rezim itu sampai hati memisahkan ayah dengan dua anaknya. Yang karena puisi-puisi, Wiji Thukul terpaksa menjauh dari istrinya, Yuk Pon (Marissa Anita).
Dalam selarik puisi--ini tak ada di film--semasa pelarian (1996-1998), Wiji Thukul menulis puisi...
Wani,
bapakmu harus pergi
kalau teman-temanmu tanya
kenapa bapakmu dicari-cari polisi
jawab saja:
"karena bapakku orang berani"
Kalau nanti ibu didatangi polisi lagi
menangislah sekuatmu
biar tetangga kanan kiri datang
dan mengira ada pencuri
masuk rumah kita
***
Bagi orang-orang yang pernah di garis massa, Wiji Thukul adalah legenda. Bait puisinya, "hanya ada satu kata: Lawan!" menjadi mantra para demonstran. Terdengar lantang dalam orasi-orasi, muncul di poster-poster.
Jadi, wajar saja Erick Est, sutradara film Janggan dan yang membuat video klip SID dan Navicula berpendapat,
film Istirahatlah Kata-Kata datar.
"Coba kalau karakter film ini kuat, pasti akan menarik. Karena Wiji Thukul legend, harusnya filmnya bisa jadi legend. Bukan seperti pengkiasan semata," katanya.
Menurut dia, secara psikologi film ini miskin data. Walau pun sebenarnya bagus untuk di beberapa festival film. Tapi karakter dari Wiji Thukul sendiri kurang dapat.
Lain lubuk memang lain pula ikannya. Galih Aji Prasongko, aktivis World Wildlife Fund (WWF) justru menyatakan, film yang melakonkan kisah Wiji Thukul ini menyisakan satu pemahaman. Bahwa perjuangan tak ada yang sia-sia.
"Proses mencintai dan memperjuangkan keyakinan yang membuat hidup menjadi berarti. Itulah yang ditunjukkan seorang Wiji Thukul dalam film itu," kata Galih kepada JPNN.com.
Sang penyair hilang lebih kurang sebulan sebelum Soeharto lengser, 21 Mei 1998. Misterius. Kalau mati, tak ada pusaranya. Sebutlah masih hidup, entah di mana rimbanya.
Seberbahaya apa puisi Wiji Thukul?
"puisiku bukan puisi/tapi kata-kata gelap/yang berkeringat dan berdesakan/mencari jalan/ia tak mati-mati," tulis Wiji Thukul, 18 Juni 1997 dalam puisi Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Diserbu Penonton, Istirahatlah Kata-Kata? Tambah Layar
Redaktur & Reporter : Wenri