PADANG--Kekuatan masyarakat sipil Sumbar unjuk gigi. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi mahasiswa di Sumbar yang menamakan dirinya Koalisi Selamatkan Uang Rakyat Sumbar (KSURS) melakukan kajian terhadap dugaan pelanggaran dalam alokasi dana safari dakwah PKS dalam pos bantuan sosial (bansos) di APBD Sumbar 2013. Mereka menemukan 10 dugaan pelanggaran dalam pengalokasikan dana bansos safari dakwah PKS Wilda Sumatera tersebut.
Koalisi Selamatkan Uang Rakyat Sumbar (KSURS) ini terdiri dari Pusako FHUA, LBH Padang, Walhi Sumbar, YCMN, Qbar Padang, ICW, ILR, Nurani Perempuan, PBHI Sumbar, LAM dan PK FHUA, UKM PHP Unand, KPMM, Kaki Lima, dan HIMA Sosiologi FISIP.
Sekretaris Gerakan Lawan Mafia Hukum (GLMH) Sumbar, Roni Saputra, mengatakan, kajian tersebut dilakukan terhadap sejumlah daftar penerima usulan bantuan hibah dan bansos tahun 2013 di Sumbar. Totalnya mencapai 707 usulan.
Tim kajian mengambil sampel untuk usulan di atas Rp 1 miliar yang tercatat ada 50 penerima. Dari kajian itu, diperoleh kesimpulan ada 10 dugaan pelanggaran dalam pengalokasikan dana bansos safari dakwah PKS Wilda Sumatera tersebut.
Pertama, dana bansos safari dakwah itu melanggar asas pengelolaan keuangan daerah pada Pasal 4 UU No 17/2003 dan Pasal 4 PP No 58/2005. Pengelolaan keuangan daerah harus memenuhi prinsip keadilan, kepatutan, dan bermanfaat untuk masyarakat. "Sementara, dana safari dakwah hanya bermanfaat untuk partai tertentu yang kadernya menjadi Gubernur Sumbar," ujar Roni dalam jumpa pers di Kantor LBH Padang, Selasa (12/3).
Hadir juga Direktur Eksekutif LBH Padang, Vino Oktavia, Feri Amsari dari Pusako FHUA, Febri Diansyah dari ICW, Ketua PBHI Sumbar Firdaus, Nurul Firmansyah dari Qbar Padang.
Pelanggaran kedua, usulan dana bansos hanya bermanfaat untuk partai tertentu. Ketiga, berdasarkan Permendagri No 32/2011c diubah dengan Permendagri No 39/2012, peruntukan bansos bukan untuk partai politik (parpol).
Keempat, definisi bansos pada Pasal 1 angka 15 Permendagri No 32/2011 adalah; pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk menghindari kemungkinan terjadinya risiko sosial bagi penerima bantuan. "Sementara pemberian dana bansos untuk kegiatan safari dakwah tidak memenuhi syarat tujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial," terangnya.
Kelima, potensi konflik kepentingan dan ketidakadilan dalam pemberian rekomendasi dana bansos safari dakwah. Seperti diketahui, Gubernur Sumbar diusung PKS pada Pilkada 2010. Sementara, jika dibandingkan dengan pembangunan gedung Dakwah Muhammadiyah (usulan Rp 2,089 miliar, direkomendasikan Rp 20 juta), Pimpinan Ranting Muhammadiyah Kasang (usulan Rp 3,386 miliar, direkomendasikan Rp 10 juta), bahkan panti asuhan khusus anak Mentawai diusulkan Rp 272,8 juta namun hanya direkomendasikan Rp 25 juta.
Keenam, berdasarkan Pasal 24 Ayat (3) Permendagri No 32/2011, pihak penerima bansos harus berdomisili dalam wilayah administrasi pemda (Sumbar). "Sementara itu, pihak pemohon dana bansos safari dakwah PKS tercatat beralamat di DPP PKS Jl TB Simatupang No 82 Pasar Minggu Jakarta selatan," tuturnya.
Ketujuh, berdasarkan surat dari Jefrinal Arifin yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri tanggal 19 Februari 2013, terbaca ada indikasi pelepasan tanggung jawab oleh atasan dan membebankan pada mantan Kepala Biro Bina Sosial Setprov Sumbar itu.
Kedelapan, Gubernur Sumbar menginginkan agar anggaran bansos dialihkan ke masjid-masjid, padahal dalam ketentuan Permendagri 32/2011, pemberian hibah/bansos harus "by name by address" atau peruntukan jelas sejak awal.
Kesembilan, Gubernur Sumbar mengatakan tidak mengetahui proses pembahasan hingga rekomendasi dana safari dakwah muncul ke publik, padahal berdasarkan Pasal 27 Ayat (2) Permendagri No 32/2011, kepala daerah bertanggung jawab sejak awal untuk menunjuk SKPD terkait dengan usulan dana bansos dari pemohon. Dugaan pelanggaran terakhir, berdasar Pasal 5 Ayat (1) PP No 58/2005 jelas diatur bahwa kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan.
"Dengan demikian, Gubernur Sumbar tidak bisa lepas tangan seolah-olah tidak ingin bertanggung jawab dengan indikasi pelanggaran dana safari dakwah itu," tegas Roni Saputra.
Menurut Roni, Gubernur juga harus bertanggung jawab terhadap lolosnya dana safari dakwah tersebut. Pasal 36 Ayat (1) huruf b, Permendagri No 39/2012, pertanggungjawaban pemerintah daerah atas pemberian bansos meliputi keputusan kepala daerah tentang penetapan daftar penerima bansos.
Feri Amsari menduga, banyak parpol yang sengaja "memainkan" peran kadernya di ruang legislatif dan eksekutif untuk menguras uang rakyat. Untuk itu, katanya, perlu pengawasan terhadap penggunaan anggaran yang rentan digunakan untuk kampanye parpol tertentu.
Dia menduga terkuaknya dana safari dakwah ada hubungan dengan penangkapan Presiden PKS karena tersangkut kasus korupsi pengadaan daging sapi.
Terkait pengusulan penerima bantuan hibah dan bansos, kata Feri, ada ketimpangan mana yang direkomendasikan dan tidak. Dari 50 penerima dana hibah dan bansos, sebagian besar penerima berhubungan dekat dengan Gubernur Sumbar. "Inilah yang mengakibatkan asas pemberian dana hibah dan bansos itu tidak lagi mendekati asas keadilan," ujarnya.
Mengejutkan lagi, katanya, salah satu pengusul adalah DPP PKS yang mengusulkan Rp 1,941 miliar. Dari usulan itu direkomendasikan utuh sebesar Rp 1,941 miliar. Sementara pengusul beralamat di Jl TB Simatupang No 82 Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
"Padahal sesuai aturannya tidak boleh penerima dana hibah atau bansos itu di luar Sumbar. Dari 707 pengusul, satu-satunya yang berdomisili di luar Sumbar adalah pengusul dari DPP PKS itu," tuturnya.
Bicara pertanggungjawaban dari dana tersebut, dia menegaskan yang paling bertanggung jawab adalah gubernur, sesuai Pasal 5 Ayat 1 PP No 58/2005. Kemudian dalam Pasal 34 UU No 17/2003 ayat (1) disebutkan menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/wali kota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/APBD diancam pidana penjara dan denda sesuai undang-undang. "Jadi indikasi pidananya sudah duduk," tegasnya.
Febri Diansyah menegaskan, penyalahgunaan dana hibah dan bansos tidak saja menjadi masalah di Sumbar, tapi juga hampir terjadi di seluruh daerah di Indonesia.
Data ICW tahun 2007-2013 lebih dari Rp 411 triliun uang negara yang digunakan untuk dana bansos. BPK menemukan ada penyalahgunaan dana bansos, di mana tahun 2007 tercatat lebih dari Rp 1,05 triliun tidak bisa dipertanggungjawabkan. "Ada sekitar 120 kasus korupsi terkait dana bansos, 20 di antaranya ditangani KPK," ingatnya.
Dia mengingatkan dana bansos perlu diawasi. Sebab, jika terbukti korupsi, korupsi dana bansos ini jauh lebih buruk dibanding korupsi lain. "Karena dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan sosial masyarakat, malah digunakan untuk kepentingan politik," tegasnya.
Dia menyebutkan, modus penyalahgunaan dana bansos itu, di antaranya pengajuan fiktif, naik di jalan, dan bantuan melebihi alokasi. Dari riset KPK, ada dua persoalan dana bansos tersebut. Pertama soal pengajuan, dan pencairan. "Ini perlu pengawasan ketat dari DPRD," imbuhnya.
Vino Oktavia mengingatkan agar "kejahatan" penyalahgunaan dana bansos itu perlu menjadi perhatian semua pihak, masyarakat maupun penegak hukum. "Ini (penyalahgunaan dana bansos, red) bisa saja terjadi di kabupaten/kota. (bis)
Koalisi Selamatkan Uang Rakyat Sumbar (KSURS) ini terdiri dari Pusako FHUA, LBH Padang, Walhi Sumbar, YCMN, Qbar Padang, ICW, ILR, Nurani Perempuan, PBHI Sumbar, LAM dan PK FHUA, UKM PHP Unand, KPMM, Kaki Lima, dan HIMA Sosiologi FISIP.
Sekretaris Gerakan Lawan Mafia Hukum (GLMH) Sumbar, Roni Saputra, mengatakan, kajian tersebut dilakukan terhadap sejumlah daftar penerima usulan bantuan hibah dan bansos tahun 2013 di Sumbar. Totalnya mencapai 707 usulan.
Tim kajian mengambil sampel untuk usulan di atas Rp 1 miliar yang tercatat ada 50 penerima. Dari kajian itu, diperoleh kesimpulan ada 10 dugaan pelanggaran dalam pengalokasikan dana bansos safari dakwah PKS Wilda Sumatera tersebut.
Pertama, dana bansos safari dakwah itu melanggar asas pengelolaan keuangan daerah pada Pasal 4 UU No 17/2003 dan Pasal 4 PP No 58/2005. Pengelolaan keuangan daerah harus memenuhi prinsip keadilan, kepatutan, dan bermanfaat untuk masyarakat. "Sementara, dana safari dakwah hanya bermanfaat untuk partai tertentu yang kadernya menjadi Gubernur Sumbar," ujar Roni dalam jumpa pers di Kantor LBH Padang, Selasa (12/3).
Hadir juga Direktur Eksekutif LBH Padang, Vino Oktavia, Feri Amsari dari Pusako FHUA, Febri Diansyah dari ICW, Ketua PBHI Sumbar Firdaus, Nurul Firmansyah dari Qbar Padang.
Pelanggaran kedua, usulan dana bansos hanya bermanfaat untuk partai tertentu. Ketiga, berdasarkan Permendagri No 32/2011c diubah dengan Permendagri No 39/2012, peruntukan bansos bukan untuk partai politik (parpol).
Keempat, definisi bansos pada Pasal 1 angka 15 Permendagri No 32/2011 adalah; pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk menghindari kemungkinan terjadinya risiko sosial bagi penerima bantuan. "Sementara pemberian dana bansos untuk kegiatan safari dakwah tidak memenuhi syarat tujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial," terangnya.
Kelima, potensi konflik kepentingan dan ketidakadilan dalam pemberian rekomendasi dana bansos safari dakwah. Seperti diketahui, Gubernur Sumbar diusung PKS pada Pilkada 2010. Sementara, jika dibandingkan dengan pembangunan gedung Dakwah Muhammadiyah (usulan Rp 2,089 miliar, direkomendasikan Rp 20 juta), Pimpinan Ranting Muhammadiyah Kasang (usulan Rp 3,386 miliar, direkomendasikan Rp 10 juta), bahkan panti asuhan khusus anak Mentawai diusulkan Rp 272,8 juta namun hanya direkomendasikan Rp 25 juta.
Keenam, berdasarkan Pasal 24 Ayat (3) Permendagri No 32/2011, pihak penerima bansos harus berdomisili dalam wilayah administrasi pemda (Sumbar). "Sementara itu, pihak pemohon dana bansos safari dakwah PKS tercatat beralamat di DPP PKS Jl TB Simatupang No 82 Pasar Minggu Jakarta selatan," tuturnya.
Ketujuh, berdasarkan surat dari Jefrinal Arifin yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri tanggal 19 Februari 2013, terbaca ada indikasi pelepasan tanggung jawab oleh atasan dan membebankan pada mantan Kepala Biro Bina Sosial Setprov Sumbar itu.
Kedelapan, Gubernur Sumbar menginginkan agar anggaran bansos dialihkan ke masjid-masjid, padahal dalam ketentuan Permendagri 32/2011, pemberian hibah/bansos harus "by name by address" atau peruntukan jelas sejak awal.
Kesembilan, Gubernur Sumbar mengatakan tidak mengetahui proses pembahasan hingga rekomendasi dana safari dakwah muncul ke publik, padahal berdasarkan Pasal 27 Ayat (2) Permendagri No 32/2011, kepala daerah bertanggung jawab sejak awal untuk menunjuk SKPD terkait dengan usulan dana bansos dari pemohon. Dugaan pelanggaran terakhir, berdasar Pasal 5 Ayat (1) PP No 58/2005 jelas diatur bahwa kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan.
"Dengan demikian, Gubernur Sumbar tidak bisa lepas tangan seolah-olah tidak ingin bertanggung jawab dengan indikasi pelanggaran dana safari dakwah itu," tegas Roni Saputra.
Menurut Roni, Gubernur juga harus bertanggung jawab terhadap lolosnya dana safari dakwah tersebut. Pasal 36 Ayat (1) huruf b, Permendagri No 39/2012, pertanggungjawaban pemerintah daerah atas pemberian bansos meliputi keputusan kepala daerah tentang penetapan daftar penerima bansos.
Feri Amsari menduga, banyak parpol yang sengaja "memainkan" peran kadernya di ruang legislatif dan eksekutif untuk menguras uang rakyat. Untuk itu, katanya, perlu pengawasan terhadap penggunaan anggaran yang rentan digunakan untuk kampanye parpol tertentu.
Dia menduga terkuaknya dana safari dakwah ada hubungan dengan penangkapan Presiden PKS karena tersangkut kasus korupsi pengadaan daging sapi.
Terkait pengusulan penerima bantuan hibah dan bansos, kata Feri, ada ketimpangan mana yang direkomendasikan dan tidak. Dari 50 penerima dana hibah dan bansos, sebagian besar penerima berhubungan dekat dengan Gubernur Sumbar. "Inilah yang mengakibatkan asas pemberian dana hibah dan bansos itu tidak lagi mendekati asas keadilan," ujarnya.
Mengejutkan lagi, katanya, salah satu pengusul adalah DPP PKS yang mengusulkan Rp 1,941 miliar. Dari usulan itu direkomendasikan utuh sebesar Rp 1,941 miliar. Sementara pengusul beralamat di Jl TB Simatupang No 82 Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
"Padahal sesuai aturannya tidak boleh penerima dana hibah atau bansos itu di luar Sumbar. Dari 707 pengusul, satu-satunya yang berdomisili di luar Sumbar adalah pengusul dari DPP PKS itu," tuturnya.
Bicara pertanggungjawaban dari dana tersebut, dia menegaskan yang paling bertanggung jawab adalah gubernur, sesuai Pasal 5 Ayat 1 PP No 58/2005. Kemudian dalam Pasal 34 UU No 17/2003 ayat (1) disebutkan menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/wali kota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/APBD diancam pidana penjara dan denda sesuai undang-undang. "Jadi indikasi pidananya sudah duduk," tegasnya.
Febri Diansyah menegaskan, penyalahgunaan dana hibah dan bansos tidak saja menjadi masalah di Sumbar, tapi juga hampir terjadi di seluruh daerah di Indonesia.
Data ICW tahun 2007-2013 lebih dari Rp 411 triliun uang negara yang digunakan untuk dana bansos. BPK menemukan ada penyalahgunaan dana bansos, di mana tahun 2007 tercatat lebih dari Rp 1,05 triliun tidak bisa dipertanggungjawabkan. "Ada sekitar 120 kasus korupsi terkait dana bansos, 20 di antaranya ditangani KPK," ingatnya.
Dia mengingatkan dana bansos perlu diawasi. Sebab, jika terbukti korupsi, korupsi dana bansos ini jauh lebih buruk dibanding korupsi lain. "Karena dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan sosial masyarakat, malah digunakan untuk kepentingan politik," tegasnya.
Dia menyebutkan, modus penyalahgunaan dana bansos itu, di antaranya pengajuan fiktif, naik di jalan, dan bantuan melebihi alokasi. Dari riset KPK, ada dua persoalan dana bansos tersebut. Pertama soal pengajuan, dan pencairan. "Ini perlu pengawasan ketat dari DPRD," imbuhnya.
Vino Oktavia mengingatkan agar "kejahatan" penyalahgunaan dana bansos itu perlu menjadi perhatian semua pihak, masyarakat maupun penegak hukum. "Ini (penyalahgunaan dana bansos, red) bisa saja terjadi di kabupaten/kota. (bis)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemko dan DPRK Siap-siap Hadapi BPK
Redaktur : Tim Redaksi