Dari Ancaman Tidur di Toilet hingga Pesta Timpuk Salju

Selasa, 30 April 2013 – 02:38 WIB
BERBAKAT: Shihab Imam Muttaqin ditemani ayah dan ibunya di rumahnya di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. FOTO: IBNU YUNIANTO/JAWA POS/JPNN
Seperti tokoh yang dia perankan di film Cita-citaku Setinggi Tanah (CCST), aktor cilik berbakat Shihab Imam Muttaqin tak pernah memimpikan film pertamanya mendapat apresiasi di Festival Film Berlin 2013. Bagaimana cerita anak Muntilan itu mendapat standing ovation di Berlinale?
 
IBNU, JANESTI PRIYANDINI, MUNTILAN 
===============================
=


Seorang remaja tanggung tengah mengepel lantai sebuah musala berhalaman luas di Dusun Sabrang, Gunungpring, Muntilan, Magelang. Kaus dan celana pendeknya basah. Sambil menyambut salam, tangan kirinya mengusap peluh di leher. Setelah mengetahui yang berdiri di depannya seorang wartawan, remaja tersebut berdiri, lantas berlari ke bagian belakang rumah di kiri musala. Seorang bapak berusia 40-an tahun keluar dari kamar mandi musala dengan membawa sikat. Dia menyilakan wartawan koran ini menunggu anaknya di beranda rumah.
 
Membantu ayahnya membersihkan musala telah menjadi rutinitas Shihab Imam Muttaqin, 14, setiap Ahad pagi. Berkat pendidikan agama yang ketat dari orang tuanya, sejak umur tiga tahun Shihab sudah kerap diundang berceramah keliling beberapa kota di Jawa Tengah saat Ramadan. Pada usia 10 tahun, atau ketika duduk di kelas V SD Muhammadiyah Gunungpring, Shihab bahkan pernah ikut kompetisi Dai Cilik di Lativi (kini TV One).
 
Predikat Dai Cilik hingga kini tetap melekat meski pada 2009 Shihab juga pernah mengikuti kontes menyanyi Idola Cilik di RCTI. Walaupun tereliminasi di babak 36 besar, hingga kini Shihab masih kerap mendapat undangan menyanyi di beberapa acara di sekitar Jawa Tengah dan Jogjakarta. Bintangnya semakin bersinar ketika pada akhir 2009 dia terpilih menjadi pemain utama CCST. Shihab ditunjuk lewat audisi yang digelar di sekolahnya.
 
"Awalnya yang ikut audisi hanya 20 siswa-siswi yang ikut ekstrakurikuler teater di sekolah. Namun, saya dipaksa ikut oleh guru. Karena hanya disuruh baca skrip, ya sudah saya ikut. Seminggu kemudian ditelepon produser, disuruh latihan lagi di Jogja," kata Shihab di ruang tamu rumahnya yang sederhana.
 
Bersama lima remaja lain yang juga terpilih dalam audisi di Muntilan dan Jogjakarta, Shihab memang belajar seni peran kepada seorang alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta. Selama setahun lebih Shihab harus bolak-balik seminggu dua kali ke Jogja. Mulai materi reading, menghafalkan skrip, hingga penjiwaan setiap scene. Ketika itu, Shihab sudah diplot memerankan Agus, tokoh utama di CCST.
 
Sampai akhirnya, pada Maret 2011, Shihab dan teman-temannya menjalani syuting sebulan penuh di Muntilan dan di kawasan lereng Gunung Merapi. "Syuting tiga hari pertama full berendam di kali. Setiap malam pasti muntah-muntah karena masuk angin," kenangnya, lantas  tertawa.
 
Selesai syuting, Shihab ikut ujian di sekolahnya. Seperti yang sudah dia duga, ranking-nya melorot tajam dari peringkat kedua menjadi urutan kesembilan. Namun, kesedihannya tak berlangsung lama karena CCST akhirnya tayang di bioskop serta mendapat sejumlah nominasi di pergelaran Festival Film Indonesia (FFI) 2012 di Jogjakarta.
 
Dalam film pertamanya itu, Shihab langsung mendapat nominasi Pemeran Utama Pria Terbaik FFI 2012, bersaing dengan aktor-aktor senior Donny Damara, Reza Rahardian, dan Tio Pakusadewo. Duduk di barisan depan bersama artis-artis tenar yang selama ini hanya dilihatnya di layar perak maupun layar TV, Shihab langsung ciut nyali.
 
"Saya ingat betul, aktor senior Slamet Rahardjo Djarot yang membacakan nominasi berkata di podium, Muhammad Shihab Imam Muttaqin iki sopo" Anak desa mana?" kata Shihab, lantas tergelak. Nyatanya, Piala Citra memang jatuh ke tangan Donny Damara yang aktingnya sebagai waria di film Lovely Man memang ciamik. Belakangan, Shihab mendapat Piala Maya dalam kategori aktor cilik terbaik.
 
Pada Maret 2013, CCST garapan sutradara Eugene Panji itu lolos screening di Festival Film Berlin (Berlinale) bersama film Something in The Way karya Teddy Soeriaatmadja. Namun, produsernya kesulitan mengupayakan biaya akomodasi dan tiket ke Berlin.

Malas berurusan dengan birokrasi pemerintah, Eugene berinisiatif mencetak DVD khusus dan menjualnya dengan harga premium Rp 200 ribu. Dari hasil penjualan DVD itu hanya diperoleh dua tiket ke Berlin, untuk produser dan sutradara. Belum ada tiket untuk Shihab. "Mas Eugene malah bilang, visa saya ditolak karena ketahuan nggak bisa bahasa Jerman," katanya, lantas terkekeh.
 
Waktu pelaksanaan Berlinale semakin dekat dan tiket belum di tangan, Shihab akhirnya pasrah. Padahal, dia sudah belajar bahasa Jerman dan bahasa Inggris. Waktu itu dia berpikir visanya benar-benar ditolak karena kendala bahasa. Tak disangka, pada hari-hari menjelang batas akhir pengajuan visa, sebuah produsen jamu bersedia membiayai Shihab ke Jerman. "Ketika ditelepon produser, saya jingkrak-jingkrak seperti orang gila," kata anak guru SD itu.
 
Setelah bolak-balik mengurus paspor ke Wonosobo, Shihab akhirnya terbang ke Berlin. Dia dilepas di kelurahan oleh pejabat desanya dan diberi uang saku Rp 500 ribu dari urunan tetangga-tetangga serta Rp 500 ribu lagi dari sekretariat PKK di desanya. Di Berlin, godaan Eugene tak berhenti. Katanya, karena uang sakunya hanya pas-pasan, Shihab tidak bisa tidur di hotel. "Kamu pilih, mau tidur di toilet kamar hotelku atau di lokasi Berlinale di Alexa Arcade Mall," ujar Shihab menirukan godaan Eugene.
 
Karena Berlin kala itu tengah dilanda hujan salju dengan suhu di luar minus 27 derajat Celsius, Shihab akhirnya menjawab pilih tidur di toilet kamar hotel. Karena itu, dengan ogah-ogahan dia masuk ke kamar hotel yang disebut Eugene sekecil kandang merpati. "Ternyata kamar hotelnya buesar dan mewah. Wis to, marai aku ora iso turu (Sudah to, membuat aku tidak bisa tidur)," katanya polos.
 
Keesokannya, Shihab dan rombongan dijemput panitia Berlinale dengan limusin. Mereka akan menghadiri pembukaan Berlinale sekaligus premiere CCST. Dengan mengenakan jas yang baru dibeli menjelang berangkat, Shihab melangkah dengan gagah di karpet merah Berlinale. "Mata saya sampai blereng (silau) karena sorot ratusan lampu flash kamera wartawan nggak berhenti-berhenti. Rasanya saya seperti terbang, berjalan tidak menginjak tanah," selorohnya.
 
Setelah pemutaran film CCST yang selalu diakhiri dengan standing ovation seluruh penonton, sore harinya panitia Berlinale menggelar konferensi pers dan meet and greet. Ratusan anak kecil beserta keluarganya datang ke acara tersebut. Berbekal bahasa Jerman ala kadarnya, Shihab pun menyapa para fans barunya. "Wuah, rasanya nggak tergambarkan," katanya girang.
 
Shihab mengaku tak terlalu kecewa meski CCST kalah oleh film The Rocket garapan sineas Australia yang bercerita tentang perjuangan anak yang dianggap pembawa sial di kampungnya dengan latar belakang festival roket atau Boun Bang Fai di Laos.
 
Kegembiraan Shihab lengkap karena malam harinya dia bisa membalas godaan-godaan Eugene dan teman-temannya dengan timpukan bola salju. Ya, hari gemerlap Shihab di Berlin ditutup dengan pesta salju di sebuah tanah lapang tak jauh dari kafe tempat mereka makan malam. "Saking senangnya, malam itu saya sampai makan salju. Enak tenan," katanya, lantas tergelak. (*/c4/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Berharap Ijazah SMP untuk Cari Kerja

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler