jpnn.com, JAKARTA - Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, sekitar 14 juta orang di Indonesia yang berusia di atas 15 tahun mengalami gejala depresi dan gangguan kejiwaan.
Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai 400.000. Yang menjadi masalah adalah gangguan jiwa menyebabkan masalah produktifitas menurun hingga menyebabkan kerugian secara ekonomi.
BACA JUGA: DPR Tolak Hasil Investigasi Kasus Kematian Bayi Debora
”Estimasi dampak komulatif global masalah kesehatan jiwa dalam hal kehilangan output ekonomi akan mencapai $ 16,3 triliun antara tahun 2011 dan 2030,” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan dr Fidiansjah SpKJ.
Mengingat dampak gangguan jiwa yang berdampak pada produktifitas kerja, pada hari kesehatan jiwa sedunia tahun ini, tema yang diambil adalah Kesehatan Jiwa di Tempat Kerja.
BACA JUGA: IPKM Jambi Berada di Urutan 9 dari 33 Provinsi
Menurut Fedi dengan mengambil tema ini diharapkan usia produktif dapat memaksimalkan potensinya.
Pemerintah mengajak semua sektor untuk meminimalisir gangguan jiwa yang muncul di tempat kerja.
BACA JUGA: Kemenkes Ingatkan Pentingnya Imunisasi Campak dan Rubella untuk Anak-anak
”Gangguan jiwa tidak melulu gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Stress, depresi, dan kecemasan juga merupakan gangguan kejiwaan,” ucapnya.
Lebih lanjut Fedi mengatakan jika gangguan jiwa juga bisa mempengaruhi kesehatan fisik seseorang.
Misalnya saja depresi yang bisa menyebabkan gangguan jantung, stroke, dan diabetes. Hal ini tentu menyebabkan biaya pelayanan kesehatan dan asuransi akan meningkat.
Sementara itu Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr Eka Viora SpKJ mengatakan jika ada banyak faktor pemicu seseorang mengalami gangguan jiwa di kantor.
Misalnya saja pelecehan atau pembully-an, intimidasi, serta interaksi dengan atasan dan sejawat.
”Banyak yang tidak menyadari kalau depresi. Akhirnya ada sering absen, pekerjaan tidak tuntas, hingga pindah kerja,” tuturnya.
Sementara itu banyak juga yang enggan untuk mendatangi psikiater dikarenakan takut mendapatkan cap gila.
Eka pun menyarankan setiap perusahaan untuk memiliki klinik yang menangani masalah psikologis karyawannya.
”Pemeriksaan rutin psikologis seseorang juga sebaiknya dilakukan. Tidak hanya pemeriksaan psikis saja,” ujar Eka. (lyn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Semoga Keluarga Amel Ikhlas Menerima Kenyataan Ini
Redaktur & Reporter : Soetomo