jpnn.com, JAKARTA - Perhatian publik terfokus pada pemilihan presiden, padahal Pemilu 2024 juga mencakup pemilihan anggota legislatif yang diikuti oleh partai-partai politik.
Banyaknya atribut caleg di penjuru kota dan desa-desa membuat publik kesulitan menentukan siapa yang akan dipilih.
BACA JUGA: Main Bola Bareng Kaesang, Jokowi Ingin Menujukkan Kebersamaan dengan PSI
Partai-partai politik yang terasosiasi dengan kandidat yang berlaga pada Pilpres paling diuntungkan dengan situasi tersebut.
Temuan survei Data Riset Analitika menunjukkan elektabilitas Gerindra menempati peringkat paling atas hingga mencapai 20,6 persen.
BACA JUGA: Pakar: Ini Kode Keras Jokowi Ingin Terafiliasi ke PSI
Gerindra adalah partai utama pengusung pasangan Prabowo-Gibran. Melejitnya elektabilitas pasangan dengan nomor urut 02 tersebut memberikan coattail effect bagi Gerindra, yang pada dua pemilu sebelumnya hanya menduduki peringkat kedua dan ketiga.
Sementara itu pada jajaran papan tengah, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diperkirakan bakal melenggang ke Senayan.
BACA JUGA: Gegara Kasus Ammar Zoni, Irish Bella Datangi Psikolog
PSI yang digawangi putera Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, itu menembus ambang batas parlemen dengan meraih elektabilitas 4,3 persen.
“Elektabilitas Gerindra teratas dalam konstelasi pemilu legislatif, dan di jajaran papan tengah PSI diprediksi lolos menuju Senayan,” ungkap Direktur Eksekutif Data Riset Analitika Nana Kardina di Jakarta.
Menurut Nana, pemilu kali ini yang didominasi soal Pilpres membuat partai-partai yang kurang memiliki asosiasi dengan capres-cawapres harus bekerja lebih keras lagi.
Di antara tiga pasangan capres-cawapres, hanya sedikit yang berkaitan dengan partai pengusungnya.
Selain Gerindra dengan figur ketua umumnya Prabowo Subianto, hanya PDIP dan PKB yang cukup memiliki kaitan dengan kandidat Pilpres.
PDIP adalah partai utama pengusung Ganjar-Mahfud, sedangkan PKB menjadi anggota koalisi pengusung Anies-Muhaimin.
PDIP yang berasosiasi kuat dengan figur Ganjar Pranowo masih meraih elektabilitas tinggi, menduduki peringkat kedua sebesar 17,8 persen.
PKB dengan ketua umumnya Muhaimin Iskandar meraih 7,8 persen, bersaing dengan Golkar yang elektabilitasnya 8,5 persen.
“Meskipun tidak ada figur Golkar yang maju dalam Pilpres, tetapi mesin politik partai yang selalu menjadi bagian dari pemerintahan itu masih mampu menjaga posisinya bertahan pada peringkat tiga besar,” jelas Nana.
Hanya saja, harus diakui keunggulan PKB yang mampu mendekati elektabilitas Golkar. “Di antara anggota Koalisi Perubahan, hanya Cak Imin yang diasosiasikan dengan partai pengusungnya, sedangkan Anies Baswedan tampak lebih independen,” terang Nana.
Nasdem dan PKS berebut efek elektoral Anies, di mana Nasdem merupakan partai yang pertama kali mengusung, sedangkan basis pemilih PKS lebih kuat dalam mendukung Anies. Elektabilitas PKS sedikit lebih baik, mencapai 5,1 persen, sedangkan Nasdem 4,7 persen.
Sementara itu Demokrat yang berpindah koalisi dari semula mendukung Anies menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) pengusung Prabowo-Gibran harus puas dengan elektabilitas 5,0 persen.
“PKS dan Demokrat semula sama-sama menempatkan diri sebagai oposisi dan berada di luar pemerintahan Jokowi, di mana sebelumnya Demokrat cukup pintar memimpin gerbong oposisi dalam melancarkan kritik terhadap berbagai kebijakan Jokowi,” lanjut Nana.
Posisi itu kini diambil PKS, bahkan oleh Nasdem dan PKB yang merupakan dua partai pemerintah pengusung Anies-Muhaimin, yaitu.
“Partai-partai oposisi dan pengkritik Jokowi mendominasi jajaran papan tengah elektabilitas,” Nana menjelaskan.
Selain itu ada PAN dengan elektabilitas 4,6 persen, atau sedikit di atas PSI.
“Peluang PSI lolos ke Senayan disumbang oleh asosiasi partai itu dengan Presiden Jokowi, terutama sejak masuknya Kaesang, serta dukungan terhadap Prabowo-Gibran,” papar Nana.
Perpecahan Jokowi dengan PDIP memberi peluang bagi PSI untuk berkembang menjadi kendaraan politik bagi Jokowi.
“Masuknya PSI ke Senayan bisa menjadi saluran kepentingan Jokowi di arena legislatif, sedangkan Prabowo-Gibran menguasai eksekutif,” ujar Nana.
Nasib kurang baik dihadapi oleh PPP yang memiliki kursi paling sedikit di Senayan.
“PPP terancam terlempar keluar parlemen dengan elektabilitas hanya 2,5 persen, serta masih harus bersaing dengan partai-partai baru dan non-parlemen lainnya,” pungkas Nana.
Di antaranya ada Perindo (1,3 persen), Gelora (0,6 persen), PBB (0,4 persen), dan Hanura (0,3 persen).
Lalu ada Ummat dan Garuda yang sama-sama 0,1 persen, serta PKN dan Buruh yang nihil dukungan, sedangkan sisanya 16,2 persen tidak tahu/tidak jawab.
Survei Data Riset Analitika dilakukan pada 20-25 Januari 2024, secara tatap muka kepada 1200 responden mewakili 38 provinsi.
Metode survei adalah multistage random sampling, dengan margin of error ±2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. (dil/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif