jpnn.com, JAKARTA - Calon presiden petahana Joko Widodo disarankan untuk tidak banyak berjanji dalam debat Pilpres 2019 putaran kedua nanti malam, Minggu (17/2). Pria yang akrab disapa Jokowi itu sebaiknya bicara soal realisasi janji-janjinya di masa kampanye Pilpres 2014 silam.
“Jokowi harus menjelaskan realisasi janji dan kebijakannya terkait materi debat nanti malam. Jangan buat janji-janji baru atau bicara apa yang akan dilakukan nanti,” ujar pengamat ekonomi Kusfiardi, Minggu (17/2).
BACA JUGA: TKN Gelar Nonton Bareng Debat Kedua Capres di Parkir Timur Senayan
Menurut mantan Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) itu, banyak persoalan terkait materi debat kedua, yang harus dijelaskan Jokowi. Misalnya mengenai bertambahnya jumlah utang perusahaan milik negara.
Kusfiardi mengatakan, utang tanpa diikuti meningkatnya kinerja keuangan perusahaan akan menimbulkan risiko. Mulai dari risiko gagal bayar sampai dengan ancaman pailit.
BACA JUGA: Netizen: Yang bekerja yang Dihujat, Padahal #JokowiOrangnyaBaik
Beban utang yang semakin besar menuntut adanya peningkatan kemampuan perusahaan untuk menutupi utang jangka pendek. Selain itu, secara keseluruhan, dari pengelolaan operasional perusahaan milik negara, harus ada peningkatan kinerja keuangan.
“Selain aspek keuangan tentu juga harus bisa memberikan dampak terhadap kemajuan perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat,” ujar dia.
BACA JUGA: Demi Jokowi, Samawi Bakal Sambangi 208.500 Rumah di Tasikmalaya
Masalah selanjutnya adalah pembangunan infrastruktur. Menurut Kusfiardi, Jokowi harus bisa menjelaskan seberapa relevan pilihan untuk membangun infrastruktur, terutama jalan tol, untuk kepentingan perekonomian nasional.
“Pembangunan infrastruktur Jokowi ini bias kepentingan asing, bias untuk memudahkan mobilitas produk asing ke pasar nasional kita. Meskipun dikelola BUMN, namun logikanya masih seperti pedagang biasa. Buktinya, ketika BUMN bangun jalan tol, lalu jalan tolnya dijual. BUMN seperti menggantikan peran swasta saja dalam memperjualbelikan layanan publik,” papar dia.
Selain infrastruktur, sektor pangan juga bermasalah. “Pemerintah selama ini lebih memilih jalan pintas dengan impor. Tentu ini jauh dari harapan untuk memperkuat sektor pangan. Bahkan justru sebaliknya, memperkuat ketergantungan pada impor pangan dan menjadi ancaman bagi kemandirian kita,” urai Kusfiardi.
Sementara, mengenai lingkungan hidup, menurut dia pemerintahan Jokowi tidak begitu serius dalam pelestarian dan penyelamatan. Pembiaran berlangsung terhadap perusahaan yang tidak mengelola limbah dengan lebih baik. Padahal jelas menimbulkan kerusakan lingkungan.
“Potret memprihatinkan tersebut contohnya terjadi pada Freeport. Kebijakan pengambilalihan Freeport oleh pemerintah selain berbiaya mahal kita pun harus menanggung kerusakan lingkungan akibat limbah tambang alias tailing yang tidak dikelola dengan baik.”
Dijelaskannya, temuan Badan Pemeriksa Keuangan yang dirilis pada 2017, nilai kerugian lingkungan itu mencapai Rp 185 triliun. Kerusakan lingkungan terjadi karena tidak layaknya penampungan tailing di sepanjang Sungai Ajkwa, Kabupaten Mimika, Papua. Kerugian lingkungan di area hulu diperkirakan mencapai Rp 10,7 triliun, muara sekitar Rp 8,2 triliun, dan Laut Arafura Rp 166 triliun.
Sebelumnya, Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi, Faldo Maldini mengatakan, Prabowo siap mempreteli klaim-klaim keberhasilan Jokowi. Pembangunan infrastruktur contohnya, tidak berdampak terhadap peningkatan produksi hasil pertanian dan pencapaian target swasembada pangan.
"Prabowo akan menguji argumentasi-argumentasi klaim keberhasilan yang disampaikan petahana dan menyampaikan beberapa gagasan. Kita punya catatan janji-janji petahana yang tidak tercapai. Misalnya tidak ingin impor di tahun 2015, tapi ternyata impor," ujar Faldo.
Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Dian Islamiaty Fatwa mengatakan, pemerintahan Joko Widodo jelas telah gagal dalam berbagai hal. Terkait infrastruktur, misalnya, pembangunan yang dilakukan dibebankan pada utang. Besarnya utang pemerintah untuk biaya infrastruktur tidak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi.
“Argumen ini kemudian diperkuat dengan performa neraca perdagangan sepanjang 2018 yang mengalami defisit, bahkan terburuk sejak tahun 1975,” ujar Dian. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ramses Ohee: Jokowi Punya Komitmen Tinggi Membangun Papua
Redaktur & Reporter : Adil