Deborah Dewi, Analis Tulisan Tangan Teroris hingga Calon Gubernur

Impikan Pendidikan Formal Grafologi di Indonesia

Minggu, 09 September 2012 – 07:27 WIB
Deborah Dewi. Foto : Naufal Widi AR/Jawa Pos

Dalam bekerja, Deborah Dewi berprinsip pukul rata alias tidak melihat background orang yang tulisan tangannya dianalisis agar objektif. Dia sempat ditertawakan di awal memilih jadi grafolog.
 
 NAUFAL WIDI A.R., Jakarta
 
 BUNYI telepon genggam menghentikan bicaranya. Deborah Dewi meminta rehat sejenak. Dia lantas tampak berbincang serius dengan lawan bicara di ujung telepon. Analisis tulisan tangan (grafologi) terdengar menjadi bahasan dalam percakapan selama hampir lima menit tersebut.
 
"Memang agak padat agendanya, apalagi kan setelah liburan," ujar Debo, sapaan akrabnya, mengawali perbincangan dengan Jawa Pos di sebuah kafe hotel di kawasan Senayan, Jumat (7/9) lalu. Saat itu dia baru saja menyelesaikan meeting dan sudah ditunggu agenda menyiapkan bahan ajar untuk pekan depan.
 
Nama Deborah Dewi belakangan memang makin sering muncul di media. Yang terbaru, dia memberikan hasil analisisnya atas surat yang disebut sebagai wasiat dari Farhan, terduga teroris yang tewas dalam baku tembak di Solo pekan lalu. Hasil analisis grafologinya menyebutkan bahwa surat sebanyak 16 halaman itu berisi tulisan dua orang.
 
Analisis itu memang cukup mengagetkan. "Saya sudah lihat, analisis, dan itu ada dua tulisan," kata lulusan S-1 Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, Bandung, tersebut. Namun, perempuan 31 tahun itu menegaskan, analisis dilakukan terhadap bentuk tulisan, bukan isi.
 
Dicontohkan, setelah menganalisis surat Farhan tersebut, dia memperkirakan penulis pertama memiliki masa kecil yang tidak bahagia dan berkarakter berani mengambil risiko. Sementara itu, kondisi kejiwaan penulis kedua relatif lebih stabil.
 
Bukan kali ini saja Debo menganalisis tulisan tangan dari seseorang yang berkaitan dengan tindak kriminal. Sebelumnya, dia pernah mengulas tulisan tangan Afriyani Susanti, pengemudi Xenia maut yang mengakibatkan sembilan orang tewas. Lewat akun Twitter-nya, @deborahdewi, Debo bahkan sempat share tentang ulasannya dalam 19 tweet ber-hashtag #Afriyani.
 
Debo juga pernah mengulas karakter pembunuh berantai Mujianto dengan melihat tulisan tangannya. "Di beberapa kasus, orang-orang yang punya kasus memang memiliki tanda-tanda unik," ujarnya. Dia menambahkan, rata-rata ada kondisi khusus antara orang tersebut dan latar belakangnya.
 
Satu yang agak mencolok dan berbeda, lanjut dia, dia dapati dalam kasus Afriyani. Meski mendapat stigma yang cukup berat, menurut Debo, tulisan tangannya hampir sama dengan kebanyakan orang. "Beda dengan Mujianto atau terduga teroris," terang Debo.
 
Meski terhitung cukup sering menganalisis tulisan tangan pelaku tindak kriminal, Debo menolak jika disebut sebagai spesialis grafolog kriminal. Begitu juga saat dia disebut khusus menggeluti grafologi kriminal. "Terlalu dini untuk menjawab itu," kata perempuan kelahiran 22 Juni 1981 tersebut.
 
Debo beralasan, grafologi masih tergolong baru di Indonesia. Karena itu, ilmu tersebut di negeri ini belum sampai pada tahap diklasifikasikan untuk satu jenis bidang tertentu. Berbeda halnya dengan di luar negeri, misalnya Amerika Serikat. "Di sana (Amerika, Red) sudah well known," ucap dia.
 
Perempuan yang mengaku sering berdiskusi dengan grafolog senior di Negeri Paman Sam itu juga menolak jika disebut memiliki relasi khusus, misalnya dengan kepolisian, karena seringnya menganalisis tulisan tangan pelaku perbuatan kriminal. "Nggak ada sih (relasi khusus). Tapi, sepertinya, publik bisa menilai konsistensi saya," tutur Debo, diplomatis.
 
Satu prinsip yang ditekankan, Debo selalu memberikan analisis seobjektif mungkin. Keterlibatan emosional benar-benar harus dipisahkan. "Dengan kata lain, saya pukul rata," ujarnya. Baik itu tulisan tangan dari seorang mahasiswa, artis, konglomerat, maupun tersangka perbuatan kriminal sekalipun.
 
Sebab, kalau ditelan mentah-mentah, analisis bisa terpengaruh. "Saya tidak melihat background, tapi fokus ke tulisan," kata perempuan kelahiran Surabaya itu.
 
Debo lantas memberikan contoh bahwa grafologi bisa bermanfaat untuk bidang lain. Selain bidang hukum yang memerlukan ilmu itu dalam penyelidikan atau interogasi, dia juga menyebut sektor bisnis atau industri sebagai contoh. Grafologi bisa dimanfaatkan untuk mengetahui karakter lawan bicara dan marketing atau digunakan oleh bagian sumber daya manusia suatu perusahaan guna mengetahui sisi personal seseorang.
 
Bidang lain adalah politik, misalnya memanfaatkan grafologi untuk penyusunan strategi. Belum lama ini, Debo ikut menganalisis para calon gubernur DKI Jakarta saat pilkada putaran pertama lalu. Dengan ilmu grafologi, bisa diketahui gambaran idiosinkretis para kandidat yang akan memengaruhi gaya kepemimpinan mereka.
 
Saat ini grafologi di Indonesia masih berada pada tahap dikenalkan. Namun, Debo mengaku senang dengan apresiasi dari publik terhadap bidang ilmu yang digelutinya itu. Kondisi tersebut berbeda dengan saat awal dirinya memutuskan untuk menjadi seorang penafsir tulisan tangan.
 
"Sekitar 2010 masih ditolak, bahkan diketawain. Tapi, itu part of process yang saya alami," tutur Debo. "Justru karena mengalami penolakan itu, dorongan untuk menggali semakin besar," imbuh dia, lantas tersenyum.
 
Grafologi mulai didalami Debo pada akhir 2009. Sebelumnya, dia sempat menjabat manajer event Ardan Midworks dan menjadi pengelola sekaligus pemegang saham sebuah agensi komunikasi pemasaran di Surabaya. Pada pertengahan 2010, dia memutuskan hijrah dari Surabaya ke Jakarta untuk menjadi ahli grafolog full-timer.
 
Di awal-awal proses tersebut, Debo mengaku mematok diri sendiri untuk menganalisis 50 tulisan tangan setiap hari. Kini sudah tak terhitung lagi berapa hasil analisis tulisan tangan oleh Debo. "Ribuan mungkin. Tapi, di awal-awal ya segitu, sekitar 50," ucapnya.
 
Apakah tidak bosan atau capek saat harus menganalisis 50 tulisan tangan dalam satu hari? Debo sejenak berhenti sembari mengernyitkan dahi. Dia tak langsung menjawab dengan lugas. "Pernah merasa penasaran" Pasti akan cari tahu, kan" Nah, kira-kira seperti itu," jawabnya, lantas tertawa kecil.
 
Namun, profesi yang saat ini dia tekuni bukan tanpa tantangan. Debo memaparkan, tantangannya tidak terletak pada input tulisan tangan yang diterima atau proses menganalisisnya. Justru tantangannya terletak pada output-nya atau saat menyampaikan hasil analisis.
 
"Kalau untuk pribadi, it doesn"t matter. Tapi, kita harus bijak, harus fokus pada kebutuhan untuk tujuan apa analisis itu dibuat," terang perempuan yang tak lama lagi akan mengakhiri masa lajangnya itu.
 
Sebenarnya, lanjut dia, hasil analisis tulisan tangan tersebut bisa mengungkapkan banyak hal. Namun, dia menggarisbawahi untuk tetap sesuai dengan koridor. Misalnya, pada analisis tertentu, dia tidak perlu memberikan informasi mengenai trauma kehidupan.
 
Debo juga menegaskan, hasil analisis tidak bersifat judgement. Pasalnya, tidak ada tulisan tangan yang 100 persen baik atau sebaliknya, tidak ada yang 100 persen buruk. "Di balik interpretasi positif, ada negatifnya. Begitu juga sebaliknya," ucap dia.
 
Dia mengharapkan grafologi terus berkembang di Indonesia. Saat ini Debo tengah merintis agar nanti ada pendidikan formal tentang grafologi di Indonesia.
 
Dia menyebutnya sebagai rencana jangka lima hingga sepuluh tahun mendatang. Nah, sekarang ini Debo tengah sibuk dengan sejumlah training atau mengajar di perusahaan-perusahaan yang membutuhkan jasanya. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terungkapnya Detik-Detik Terakhir Eksekusi Mati Kartosoewirjo


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler