Deddy Yevri Menduga Kebijakan Larangan Ekspor CPO ala Jokowi Mencekik Petani Kecil

Jumat, 22 April 2022 – 21:10 WIB
Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus. Foto: dok pribadi for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Hanteru Sitorus meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jajarannya mengevaluasi kebijakan moratorium ekspor Crude Palm Oil (CPO) atau minyak nabati mentah dari kelapa sawit beserta minyak goreng.

Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) itu menilai kebijakan itu ujungnya bisa merugikan petani kecil, mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunan seperti minyak goreng.

BACA JUGA: Tok! Presiden Jokowi Larang Ekspor Minyak Goreng

Deddy menilai keputusan pemerintah melakukan moratorium ekspor CPO dan minyak goreng tepat jika dilakukan dalam jangka waktu pendek. Hal itu bisa dipahami sebagai langkah untuk memastikan melimpahnya pasokan di dalam negeri dan turunnya harga di tingkat domestik.

"Ini bisa merusak industri CPO secara keseluruhan, industri minyak goreng juga, dan ini merugikan petani petani kecil yang ada di pedalaman. Terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang, dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery, atau pabrik minyak goreng," kata dia dalam siaran pers, Jumat (22/4).

BACA JUGA: Penetapan Tersangka Kasus Mafia Minyak Goreng, Jangan Menghambat Jalur Distribusi

Deddy mengingatkan sekitar 41 persen pelaku industri sawit adalah rakyat kecil. "Jadi, ini menyangkut jutaan orang dan mereka yang pertama akan menderita akibat kebijakan tersebut," kata Deddy.

Sebagai anggota DPR dari dapil Kalimantan Utara, Deddy menyerap aspirasi masyarakat ketika melakukan reses.

BACA JUGA: Pos Indonesia Optimistis Penyaluran BLT Minyak Goreng ke Papua Berjalan Lancar

Deddy mendengar warga masyarakat yang sebagian adalah petani kecil kelapa sawit.

"Buah sawit itu tidak bisa disimpan lama, begitu dipanen harus segera diangkut ke pabrik kelapa sawit. Jika tidak, buahnya akan busuk. Akibatnya rakyat menanggung kerugian dan kehilangan pemasukan," jelas dia.

Pria kelahiran Pematangsiantar itu melanjutkan pemilik pabrik kelapa sawit tidak bisa menampung CPO olahan dalam waktu lama. Sebab, kualitasnya akan menurun dan tempat penyimpanan terbatas, sehingga apabila dipaksakan akan menambah biaya.

"Akibatnya, mereka akan menolak buah sawit milik petani dan tentu saja petani akan menjerit," urai Deddy.

Deddy menilai, seharusnya pemerintah tahu bahwa moratorium hanya akan menguntungkan pemain besar.

Khususnya mereka yang punya pabrik kelapa sawit sendiri, fasilitas refinery, pabrik minyak goreng, atau industri turunan lainnya.

Mereka juga memiliki modal kuat, kapasitas penyimpanan besar, dan pilihan-pilihan lain untuk menghindari kerugian.

Dan jika ekspor itu dilarang, industri dalam negeri juga tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi. Sebab, kebutuhan minyak goreng yang bermasalah itu hanya sekitar 10 persen atau sekitar 5,7 juta ton per tahun dibanding total produksi yang mencapai 47 juta ton per tahun untuk CPO. Dan sekitar 4,5 juta ton per tahun untuk Palm Kernell Oil (PKO).

Deddy memandang jauh lebih positif jika langkah pertama yang dilakukan pemerintah adalah mengembalikan kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) dan Domestic Market Obligation (DMO).

Dengan DMO, maka eksportir CPO wajib mengalokasikan 20 persen ekspornya ke dalam negeri dengan harga CPO yang ditetapkan Pemerintah. Selain itu, pemerintah bisa menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Selanjutnya, pemerintah harus memastikan barangnya tersedia dan diawasi dengan baik. Pengawasan diperkuat dengan memastikan sinergi kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah.

Bila pengawasan berjalan dengan baik, kegiatan penyeludupan dan penimbunan dapat dicegah.

"Tanpa sinergi yang antara kegiatan pengawasan, pencegahan dan penegakan hukum, masalah kelangkaan dan harga produk yang tinggi tidak akan pernah bisa selesai. Ingat, moratorium itu akan memicu kegiatan penyeludupan, sebab barang akan langka dan harganya melonjak di luar negeri," jelas Deddy.

Deddy menyampaikan masalah ini tentu berbalik apabila produsen CPO dikuasai negara, termasuk distribusinya.

Artinya, kata Deddy, pemerintah bisa membuat regulasi yang ketat, pengawasan yang intens, dan melakukan digitalisasi yang terkoneksi dari hulu ke hilir.

Pemerintah juga harus menyiapkan rencana penyimpanan cadangan nasional, menugaskan BUMN atau distributor terverifikasi untuk memperbaiki rantai distribusi.

Menurut Deddy, jika kebijakan moratorium ekspor itu dilakukan berlama-lama, maka akan menyebabkan barang menjadi langka. Jika sudah demikian, maka semua akan rugi. Sebab, harga dunia menjadi melonjak habis-habisan.

Harus diingat, kata Deddy, terbuka kemungkinan protes dari negara-negara lain yang membutuhkan CPO dan turunannya saat krisis minyak nabati dan energi global yang belum usai. Bukan tidak mungkin pemerintah harus menghadapi tekanan perdagangan internasional.

Sebab, CPO dan turunannya saat ini sudah menjadi komoditas global yang penting.

"Moratorium ini bisa menjadikan konsekuensi terjadinya keberatan dari negara-negara lain. Karena barang ini adalah komoditas global. Jadi, mohon diperhatikan Bapak Presiden, mohon kembalikan kebijakannya ke jalur yang benar," pungkas Deddy. (antara/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Presiden Jokowi dan Menteri Risma Salurkan Bansos dan BLT Minyak Goreng di Bogor


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler