Dedikasi Radja Murnisal Nasution di Tengah Keterbatasan Fisik

Meski Kaki Diamputasi, Akan Melatih sampai Mati

Sabtu, 14 September 2013 – 18:54 WIB
Radja Murnisal Nasution, saat difoto di Stadion Renang Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. FOTO: HENDRA EKA/JAWA POS

Bagi pencinta olahraga renang, nama Radja Murnisal Nasution sudah tidak asing. Dia adalah pencetak perenang andal Indonesia. Tapi, diabetes telah mengamputasi kaki kanannya. Hebatnya, dia tetap aktif membina atlet renang.

"NARENDRA PRASETYA, Jakarta

"AYO, lebih cepat lagi renangnya, yang tidak bisa cepat harus bersiap-siap menerima hukuman lari keliling kolam renang 20 kali."
 
Suara yang bernada perintah itu seakan membelah keheningan kolam renang di kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Senin pagi (9/9). Itulah suara lantang Radja Murnisal Nasution dari atas kursi roda di pinggir kolam renang.
 
Hingga kini belum ada pelatih renang Indonesia sehebat dia dalam mencetak para juara. Di antaranya, para perenang trah Nasution. Mulai Elfira Rosa Nasution, Elsa Manora Nasution, Maya Masita Nasution, hingga Kevin Rose Nasution dan Muhammad Akbar Nasution.
 
Selain putra-putrinya sendiri, banyak lagi perenang kaliber nasional yang lahir dari tangan dingin pria kelahiran Medan, 64 tahun silam, tersebut. Misalnya, Desak Nyoman Rina, Sherly Yunita, dan Dwiki Anugerah. Mereka dibina Radja di klub yang didirikannya pada 1996, Pari Sakti.
 
Meski kakinya harus diamputasi, Radja tidak mau berhenti untuk terus membina para perenang belia. Dia ingin terus menciptakan para perenang nomor satu.
 
"Saya merasa masih punya utang. Karena itu, saya harus tetap melatih dalam kondisi apa pun. Apa jadinya anak-anak itu kalau saya tidak melatih," ujar Radja saat ditemui Jawa Pos di tempat latihan.
 
Besarnya dedikasi itulah yang membuat Radja tidak menghiraukan kondisinya. Bahkan, pasca dirawat dua pekan di sebuah rumah sakit di Bandung pada Januari lalu, dia ingin langsung pergi ke kolam renang. Bagi dia, waktu yang luang terlalu sayang jika tidak dilewatkan dengan melatih anak-anak asuhnya.
 
Penyakit yang diderita Radja hingga membuat kaki kanannya diamputasi itu sebenarnya bukan penyakit baru. Penyakit tersebut dideritanya sejak 2008. Tepatnya sebelum Pekan Olahraga Nasional (PON) di Kalimantan Timur. Kadar gulanya ketika itu mencapai 380 mg/dL.
 
Penyakit tersebut semakin parah ketika PON 2012 di Riau. Saat itu Radja bertindak sebagai juri hakim, kukunya secara tidak sengaja terpotong hingga terluka. Luka itulah yang tidak sembuh-sembuh. Dasar keras kepala, Radja tidak pernah mengkhawatirkan lukanya yang makin parah tersebut. Dia merawatnya sendiri sekalipun akhirnya sampai membusuk.
 
Dalam kondisi seperti itu, dia tetap bersikeras tidak mau dibawa ke rumah sakit. Petaka pun datang ketika akhir 2012, tepatnya saat menemani anak didiknya berlaga di Kejuaraan Renang Antar Perkumpulan Seluruh Indonesia (KRAPSI) di Bandung. Meski kondisinya drop dan harus duduk di kursi roda, Radja tetap memaksakan datang ke arena lomba. Dia ingin menyaksikan salah seorang anak didiknya, Dwiki Anugerah, meraih emas di kelompok usia (KU) III. Sejam berada di lokasi kejuaraan, Radja lalu kembali ke hotel karena kondisi tubuhnya melemah.
 
Nah, sehabis peristiwa itulah, kondisi Radja terus memburuk. Terutama luka di kaki kanannya yang membusuk. Karena itu, setelah dia diperiksa dokter, tak ada jalan lain kecuali mengamputasinya agar penyakit tidak menyebar ke bagian tubuh lainnya. Dari mata kaki ke bawah. 
 
Amputasi itulah yang kemudian mengubah hidup Radja dari yang semula selalu berusaha melakukan segala hal sendiri menjadi sering bergantung pada orang lain. Baik saat melatih maupun dalam aktivitas keseharian.
 
Meski demikian, tidak ada sedikit pun niat dalam dirinya untuk mengurangi porsi kegiatan melatihnya ketika sakit seperti saat ini. "Saya tetap melatih, tidak ada yang berbeda dengan frekuensi latihan. Senin sampai Sabtu, pagi dan sore hari," ungkapnya. Pagi dia melatih mulai pukul 04.45 hingga 06.00, sedangkan sore mulai pukul 16.00 hingga 18.30.
 
Radja tidak sendiri dalam melatih para perenang muda. Anak-anaknya, Akbar dan Kevin, ikut melatih dan mengelola klub. "Saya tetap harus melatih untuk menjaga kualitas pola latihan di klub," ujarnya.
 
Jika sebelumnya memegang perenang kelas utama, setelah kakinya diamputasi, Radja menangani para perenang di grup III atau yang berusia di bawah 10 tahun. Kelas utama dipegang Akbar. "Dulu saya bisa menguasai semua lintasan, tapi sekarang saya hanya bisa fokus di grup III," tuturnya.
 
Satu hal kini menjadi hambatan Radja dalam melatih. Yakni, dia tidak bisa memberikan contoh kepada anak-anak binaannya. Padahal, ketika belum duduk di kursi roda, Radja tidak hanya memberikan materi secara teori, melainkan juga praktik di dalam kolam renang. "Sekarang dengan suara saja sudah cukup. Saya harap anak-anak bisa mengerti dengan kondisi saya," imbuhnya.
 
Satu ciri khas yang masih tetap ada pada diri Radja adalah gaya melatihnya yang keras dan disiplin. Menurut dia, gaya yang galak itu harus tetap dipertahankan agar anak-anak tidak seenaknya berlatih.
 
"Tapi, sejak sakit ini, Bapak bisa lebih sabar. Karena Bapak tidak mau stres juga. Lagian, yang dilatih anak-anak kecil. Bisa-bisa nangis kalau dikerasi terus-terusan," kata Ike Kusuma, istri Radja.
 
Sang istri yang juga ikut membantu dalam melatih anak-anak menyebutkan, para perenang Pari Sakti seolah mendapat kekuatan ganda begitu didampingi Radja. Motivasi mereka seakan berlipat ganda. Itulah yang membuat Radja sekalipun dalam kondisi sakit dan di atas kursi roda tetap berusaha untuk menemani anak asuhnya, baik saat latihan ataupun kejuaraan.

Bahkan, bulan lalu dia menyempatkan diri untuk datang ke Balikpapan hanya untuk menonton anak didiknya berlaga di sebuah kejuaraan terbuka. Belum lagi kejuaraan-kejuaraan lokal di Jakarta dan sekitarnya yang biasanya dilangsungkan dua pekan sekali, Radja tidak pernah absen  dari pinggir kolam.
 
"Anak-anak jadi lain semangatnya kalau tidak ada beliau (Radja, Red)," imbuhnya.
 
Radja optimistis masih bisa melahirkan para perenang andal untuk stok nasional. Menurut dia, hampir 75 persen anak didiknya punya peluang berprestasi di level nasional. "Hanya, mereka masih muda, masih cukup panjang jalannya untuk menuju ke sana," paparnya.
 
Usia yang semakin tua dan kondisi fisik yang tidak lagi prima ternyata bukan hambatan bagi Radja untuk terus mengabdikan diri di kolam renang. Bagi dia, melatih sudah seperti panggilan hati, dan dia bertekad tidak akan melepaskan profesi itu sekalipun anak-anaknya sudah siap menerima tongkat estafet tersebut.
 
Atlet renang dan polo air pada era 1980-an itu belum punya keinginan untuk pensiun melatih. "Kapan saya berhenti melatih" Saya akan berhenti jika sudah tidak bisa apa-apa lagi. Mungkin sampai Tuhan memanggil saya," jelasnya. (*/c10/ari)
 

BACA JUGA: Infografis Senjata Andalan Baru Koran Hadapi Persaingan

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Menangis, Nanti Ayah tak Tenang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler