Dekan FP Unhas Sebut Indonesia Bisa jadi Raksasa Pangan Dunia, Asalkan...

Sabtu, 09 April 2022 – 20:11 WIB
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Salengke mengatakan Indonesia sangat berpeluang menjadi raksasa pangan dunia. Foto: Humas Kementan

jpnn.com, JAKARTA - Dekan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Salengke mengatakan Indonesia sangat berpeluang menjadi raksasa pangan dunia terutama padi.

Pasalnya, dia mengaku Indonesia sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia yang memiliki sumber daya alam luar biasa.

BACA JUGA: Ombudsman-Kementan Kunjungi Panen Padi di Indramayu, Ini Tujuannya

Padi bagi Indonesia menjadi komoditas prioritas karena menghasilkan beras, bahan pangan yang paling banyak dikonsumsi.

"Saya lihat optimalisasi perluasan sawah di masa Pak Syahrul berkontribusi pada kinerja pertanian yang luar biasa terutama untuk sektor padi," kata Salengke saat dihubungi melalui telepon, Sabtu (9/4).

BACA JUGA: DPR Dukung Kementan Soal Tingkatkan Produksi Padi dan Jagung

Dia menambahkan, ada tiga aspek yang harus menjadi perhatian dalam rangka meningkatkan produksi padi sehingga Indonesia bisa menjadi raksasa pangan dunia. Pertama, penggunaan benih.

"Saya sering katakan, untuk meningkatkan produksi, salah satunya yang harus kita cari adalah benih-benih yang umurnya lebih genjah lagi," kata dia.

"Sekarang ada 70 hari sudah panen. Dengan begitu, siklus panen bisa 5, malah ada yang mengatakan bisa 6 kali per 2 tahun, artinya, bisa meningkatkan jumlah panen sampai 30 persen untuk setiap dua tahun," sambungnya.

BACA JUGA: Kementan dan Petani Indramayu Bangun Kemandirian Benih Padi

Aspek kedua, lanjutnya, ialah pada ranah budi daya.

Menurut dia, masih banyak petani yang mengambil jalan mudah, tidak mau repot sehingga melakukan tabur benih langsung.

Hal ini mengakbiatkan inefisiensi penggunaan benih dan anakan menjadi sulit dikontrol.

"Di sinilah peran intervensi ketersedian transplanter oleh pemerintah sehingga jarak tanam dan berapa jumlah dalam setiap lobang bisa dikontrol," katanya.

Aspek selanjutnya ialah penerapan mekanisasi.

Salengke mencontohkan bahwa dengan penggunaan Combine Harvester, bukan hanya mempersingkat, tetapi mampu menekan kehilangan (losses) panen.

Namun, dia mengingatkan bahwa sektor pertanian hari ini dan masa datang menghadapi hal krusial, yaitu alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan komersil lainnya dan ketersediaan air.

Jika dua hal itu tidak ditangani secara komprehensif, ke depan menurutnya akan menjadi masalah.

Dia mengatakan bisa menggunakan teknologi molekuler seperti gen editing yang menjadi solusinya.

Ada Inventor dari Inggris menggunakan teknologi tersebut untuk mengembangkan padi yang tahan salinitas tinggi, sehingga dapat ditanam pada lahan rawa dekat pantai.

"Indonesia-kan negara kepulauan, di sepanjang pantai itu salinitasnya tinggi, dan kalau kita berhasil mengarah ke sana, saya kira kita akan aman ke depannya," kata Salengke.

Sebelumnya, dalam beberapa pemberitaan yang mengutip data FAO menyebutkan bahwa Indonesia berdasarkan data badan pangan dunia FAO pada tahun 2018 menduduki peringkat produktivitas kedua dari 9 negara negara FAO di Benua Asia yang menghasilkan produksi beras melimpah.

Adapun urutan tingkat produktivitas tertinggi adalah Vietnam 5,89 ton per hektar, nomor dua Indonesia 5,19 ton per hektar.

Selanjutnya, Bangladesh 4,74 ton per hektar, Philipina 3,97 ton per hektar, India 3,88 ton per hektar, Pakistan 3,84 ton per hektar, Myanmar 3,79 ton per hektar, Kamboja 3,57 ton per hektar, dan Thailand 3.l,09 ton per hektar. (mrk/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Padi Siap Panen dan Jalan Penghubung Tertutup Longsor


Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler