Demi Menjaga Stabilisasi Sektor Pangan, Andi Akmal Minta Pemerintah Revisi Anggaran Kementan dan KKP

Rabu, 06 Mei 2020 – 12:17 WIB
Anggota Komisi IV DPR Andi Akmal Pasluddin. Foto: Humas DPR

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR RI, Andi Akmal meminta kepada pemerintah untuk merevisi anggaran Kementan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menjaga stabilisasi sektor Pangan.

Sektor pangan ini, menurutnya, adalah sektor penting untuk setiap keadaan selain Energi, air dan kesehatan. Khusus pada kondisi pandemi covid-19, Sektor pangan sejajar prioritasnya dengan sektor kesehatan. Namun yang terjadi, sektor kesehatan bertambah anggarannya, sektor pangan dikurang secara drastis.

BACA JUGA: DPR Sesalkan Anggaran di Lingkup Kementan Disunat

“Perlu ada langkah lanjutan, agar pemerintah merevisi anggaran sektor pangan ini, agar negara kita tetap stabil  Kita tidak melihat saat ini, tetapi bagaimana prediksi ke depan dengan pengelolaan anggaran seperti ini bisa baik menjalankan pemerintahan di sektor pangan ini," seru Akmal di Jakarta, Rabu (6/5/2020).

Legislator asal Sulawesi Selatan II ini mengatakan bahwa berkaitan dengan peringatan FAO terhadap krisis pangan dunia, memang secara cadangan nasional harusnya cukup. Jaminan Kementerian pertanian jadi pegangan seluruh rakyat Indonesia.

BACA JUGA: Kementan: Produksi Pangan Indonesia Terkendali

“Ini seharusnya menjadi kebijakan lanjutan, untuk menutup defisit pangan di beberapa provinsi, Impor bukan solusi. Tetapi dipenuhi dari provinsi-provinsi yang surplus,” kata politikus PKS ini.

Akmal menambahkan sebelum UU Cipta kerja muncul dalam pembahasan, ketersediaan pangan itu berasal dari pemenuhan produksi dalam negeri. Itu saja banyak sekali terjadi Impor dimana-mana.

BACA JUGA: Saat Raker Komisi IV DPR RI, Mentan SYL Tegaskan Data Stok Pangan Sama

Sebagai Contoh, Berdasar data BPS 2019, impor beras dari Vietnam mengalami kenaikan dari tahun 2017 sebesar 16.599,9 ton menjadi 767.180,9 ton diikuti jumlah impor dari thailand 108.944,8 ton (2017) menjadi 795.600,1 ton (2018). Alasan ketergantungan beras impor pada saat itu karena stok kurang.

Padahal pemerintah di sisi kementan selalu mengatakan ada surplus. Jadi kemungkinan besar adalah karena ada keuntungan dalam perdagangan luar negeri yang dinikmati oleh segelintir orang.

Kini, lanjut Akmal, pada Omnibus Law yang masih dalam proses, ketersediaan pangan selain dalam negeri, juga dapat disediakan dalam bentuk impor.

"Negara kita akan makin tidak jelas kedepannya berkaitan dengan identitas sebagai negara agraris bila impor pangan terus menjadi kebiasaan. Apalagi bila sampai Omnibuslaw disahkan, dan pasal tentang impor pangan ini menjadi legal sebagai ketersediaan pangan", kritis Akmal.

Anggota Komisi IV DPR RI ini mengkritisi kementerian pertanian yang selalu berkutat pada persoalan harga dan penyerapan.

Ia menyampaikan bahwa tugas Kementan bukan hanya melulu mengurusi harga dan penyerapan petani. Urusan Harga dan Penyerapan itu  sejatinya berada di tangan Bulog dan Kementerian Perdagangan.

"Saya sangat menyangkan, setiap ada masalah harga dan penyerapan petani selalu Kementan disalahkan. Padahal urusan penyerapan adalah urusannya bulog dan urusan harga adalah urusannya Kemendag," papar Andi Akmal.

Oleh karena itu, dengan sisa anggaran yang telah dipotong, Akmal berharap Kementan tetap fokus mengurusi produksi dalam negeri agar bisa terus memperlihatkan peningkatan yang signifikan. Langkah ini perlu dilakukan agar dana yang tersedia tetap menunjukkan hasil positif.

Akmal menambahkan kerja sama dengan Kementerian dan Lembaha terkait juga perlu mendapat perhatian khusus agar proses pembangunan berjalan secara baik. Komunikasi harus lancar agar menimbulakn solusi bagi permasalahan yang dihadapi.

"Jangan sampai masyarakat terbebani. Jadi hal penting lainnya adalah sinergi antar-Kementerian dan Lembaga agar bisa menjadi kunci bagi pembangunan pangan yang lebih baik lagi. Kita berharap ada solusi di setiap masalah,” ujarnya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler