Mulai pekan ini, Jane Shearwood, perempuan asal Inggris, memutuskan untuk tidak lagi mengajar bahasa Indonesia di sekolah di Australia.
Padahal sebelumnya Jane, yang pernah tinggal di Indonesia, pernah mengajar bahasa Indonesia di dua sekolah di negara bagian Victoria, termasuk di kawasan Heywood yang terletak lebih dari 350 kilometer dari Melbourne.
BACA JUGA: Australia Bermitra dengan NASA Melatih Astronaut Aborigin Pertama
"Saya mengajar di sekolah tersebut selama tujuh tahun menjadi satu-satunya guru bahasa Indonesia di sekolah dasar dan sekolah menengah di sana," kata Jane kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.
Menurutnya ketika mengajar di sana, Jane merasa sudah melakukan banyak hal untuk memajukan pengajaran bahasa Indonesia di sekolahnya.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Rusia Tuduh Ukraina Berupaya Membunuh Presiden Putin
Termasuk membawa murid-muridnya, beberapa diantaranya warga Pribumi Australia, berkunjung ke Makassar dan Yogyakarta.
Tapi kurangnya fasilitas dan minat belajar bahasa Indonesia yang menurun di Australia membuat perempuan kelahiran Manchaster tersebut mengaku "jenuh" jadi guru bahasa Indonesia.
BACA JUGA: Demo Kedubes Australia Dan Selandia Baru, HMI Jakarta Tolak Intervensi Asing Di Papua
Salah satu pengalamannya adalah ketika Jane mengajar bahasa Indonesia di sebuah sekolah swasta, untuk kelas 7 dan 8.
"Hanya ada beberapa buku teks dan sumber daya yang tersedia bagi murid sekolah menengah dan para murid banyak juga yang tidak antusias untuk belajar bahasa Indonesia," kata Jane.
"Saya merasa tidak belajar hal yang baru dan juga saya melakukannya sendirian mengajar bahasa Indonesia," katanya.
Karenanya, begitu ada tawaran untuk menjadi guru di sekolah lain, meski bukan menjadi guru bahasa Indonesia, ia langsung mengambilnya.
"Saya tidaklah sebenarnya secara terbuka mencari pekerjaan namun ketika datang tawaran, saya merasa waktunya untuk berhenti sebelum saya membenci pelajaran ini [bahasa Indonesia] dan menjadi guru yang malas," katanya.'Seperti lingkaran setan'
Minat belajar bahasa Indonesia di kalangan pelajar di Australia menurun setiap tahunnya.
Menurut data Departemen Pendidikan Australia di tahun 2021, hanya ada 3 persen murid kelas 12 yang mengambil pelajaran bahasa Indonesia, sementara bahasa seperti Jepang dan Mandarin lebih diminati, bisa mencapai 19-20 persen.
Sementara di tahun 2006, mereka yang mendaftar untuk belajar bahasa Indonesia adalah 6,4 persen.
Silvy Wantania, Presiden Asosiasi Guru Bahasa Indonesia di Victoria (VILTA) mengatakan sulit mendapatkan data pasti berapa banyak guru bahasa Indonesia di Australia yang meninggalkan profesi mereka setiap tahun.
Silvy baru saja menyelenggarakan konferensi guru bahasa Indonesia tahunan di Melbourne pekan lalu dan ia sering mendengar jika sekolah-sekolah kesulitan mencari guru bahasa Indonesia yang baru.
"Tetapi kita tidak tahu mengapa guru yang ada di sekolah itu berhenti, bisa jadi karena pensiun, atau pindah profesi karena patah semangat atau juga pindah tempat tinggal."
Menurut Silvy, yang sudah mengajar bahasa Indonesia di Australia sejak awal tahun 2000-an tersebut, menurunnya minat siswa belajar bahasa Indonesia menyebabkan mereka yang bersedia menjadi guru bahasa Indonesia juga berkurang.
"Jadi ini seperti lingkaran setan saja," ujarnya.
"Yang belajar sedikit sehingga yang melanjutkan ke universitas juga sedikit, dan akhirnya yang menjadi guru juga tidak banyak.
"Dari itu, sekolah yang mau mendapatkan guru mengajar juga mengalami kesulitan."Beralih menjadi tukang pos
Erin McMahon juga pernah menjadi guru bahasa Indonesia, sebelum berpindah haluan bekerja bersama Australia Post tahun lalu.
Sebelumnya Erin pernah bekerja sebagai wartawan dan tinggal di Indonesia, kemudian mengajar bahasa Indonesia selama delapan tahun di Australia.
"Saya suka mengendarai motor dan senang bisa naik motor setiap hari mengantarkan surat. Tidak ada rasa stres dan tekanan lain seperti ketika mengajar," katanya.
Erin mengatakan semangatnya untuk menjadi guru bahasa Indonesia hilang ketika pandemi COVID-19 mengubah sistem pengajaran di seluruh dunia, termasuk di Australia.
"Menjadi guru bukanlah hal yang mudah dan COVID membuat pengajaran menjadi lebih sulit lagi karena pengajaran online," katanya.
Tapi yang lebih mematahkan semangat menurutnya adalah mendengar murid-muridnya tidak mau lagi melanjutkan belajar bahasa Indonesia.
"Anak-anak kelas 7 yang harus memilih pelajaran bahasa ini mengatakan mereka tidak perlu belajar bahasa Indonesia karena sudah pernah ke Bali dan semua orang bisa berbahasa Inggris," katanya.
Dari pengalamannya mengajar bahasa Indonesia, Erin melihat kecenderungan terus menurunnya minat pelajar Australia untuk belajar bahasa Indonesia.
"Saya kira penurunan itu terjadi di semua bahasa. Saya kira satu-satunya bahasa yang meningkat adalah bahasa Mandarin, namun itu pun sebenarnya naik turun," katanya.
Ia menilai belajar bahasa Indonesia banyak dilakukan pelajar sekolah dasar, tetapi semakin tinggi kelas mereka, semakin sedikit murid yang tertarik.
"Di sekolah saya misalnya, di kelas 7 mungkin ada sekitar 100 orang yang belajar. Namun di kelas 12 jumlahnya tinggal 10 orang, jadi drop out-nya 90 persen," katanya.Perubahan pola migrasi jadi salah satu penyebab
Menurut Silvy salah satu penyebab menurunnya minat belajar bahasa Indonesia adalah perubahan pola migrasi ke Australia dalam 20 tahun terakhir.
"Masyarakat Australia berubah. Dahulu mayoritas migran adalah dari Eropa. Jadi mereka tertarik belajar bahasa Indonesia karena ingin ke Bali, misalnya," kata Silvy.
"Dalam 10-20 tahun terakhir banyak warga Asia, misalnya Tiongkok dan belakangan India yang pindah ke sini. Seorang murid saya asal Asia Timur mengatakan, 'sebagai orang Asia mengapa saya harus belajar bahasa Asia lainnya seperti Indonesia?'"
Sementara dari ketersediaan tenaga pengajar bahasa Indonesia, Silvy melihat banyak guru-guru bahasa Indonesia sudah memasuki masa pensiun, tapi tidak ada generasi baru yang melanjutkannya.
"Di awal tahun 2000-an ketika saya datang dan mengajar di Melbourne dan Geelong, ada banyak rombongan guru yang mengajar. Sekarang mereka sudah pensiun."Perlu adanya perubahan
Sejumlah pihak pernah berharap jika ada peluang meningkatkan hubungan Australia dan Indonesia setelah kedua negara menandatangani perjanjian perdagangan bebas (IA-CEPA) di tahun 2017.
Tapi Erin merasa belum melihat peningkatan tersebut, yang ada menurutnya malahan sebuah "kemunduran".
"Kalau kita lihat studi mengenai Indonesia di Australia dan pemahaman mengenai Indonesia mundur. Seperti tiga universitas di mana saya pernah belajar bahasa Indonesia, sekarang sudah tidak ada lagi program-nya dalam 20 tahun terakhir."
"Anak-anak sekarang tidak lagi memiliki kesempatan belajar studi Indonesia seperti yang saya lakukan 20 tahun lalu."
Karenanya, Erin berharap akan ada perubahan, yang salah satunya bisa dilakukan oleh pihak dari Indonesia.
"Saya ingin melihat adanya perubahan, khususnya dari Indonesia untuk memberikan lebih banyak dukungan bagi pengajaran bahasa Indonesia, tidak saja untuk Australia tapi juga seluruh dunia," katanya.
Ia membandingkan dengan istrinya, yang mengajar bahasa Prancis, bisa dengan mudah mendapatkan materi pengajaran, seperti melalui film-film Prancis.
"Namun saya tidak bisa menemukan untuk film Indonesia, saya hanya tahu satu judul. Kami berusaha menayangkan lebih banyak film Indonesia di sini, tapi tidak mendapat banyak dukungan."
Sementara Jane mengatakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan minat belajar bahasa Indonesia saat ini adalah mengubah cara belajar bahasa Indonesia.
"Menurut saya kurikulum perlu diubah karena kebanyakan siswa tidak berbicara bahasa Indonesia di rumah," ujarnya.
"Sehingga mereka tidak akan mencapai kemahiran berbahasa seperti yang ada dalam kurikulum, apalagi bagi siswa yang tinggal daerah regional," tambahnya.
Bagi Erin, jika saja perubahan itu terjadi, tidak menutup kemungkinan baginya untuk kembali mengajar bahasa Indonesia di Australia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Australia Tidak Akan Menghukum Nelayan Indonesia yang Terdampar