jpnn.com, TOKYO - Dua negara tetangga di kawasan Asia Timur, yakni Jepang dan Korea Selatan saat ini terlibat dalam perselisihan ekonomi yang berakar pada sejarah masa lalu.
Penyebabnya, Jepang baru-baru ini menerapkan beberapa langkah yang dapat merugikan perekonomian Korea Selatan, seperti menghapus Korea Selatan dari daftar negara-negara perdagangan pilihan dan memberlakukan kontrol pada ekspor bahan semikonduktor.
BACA JUGA: Perang Dagang: Korsel Akhirnya Balas Dendam kepada Jepang
Langkah Jepang itu telah menyebabkan lonjakan harga chip memori serta memberikan efek negatif di pasar teknologi global.
Jepang mengkaim, langkah tersebut diambil karena alasan keamanan nasional. Namun sejumlah pakar meyakini bahwa langkah itu diambil Jepang sebagai balasan atas keputusan pengadilan Korea Selatan baru-baru ini mengharuskan perusahaan Jepang membayar ganti rugi kepada warga Korea yang dipaksa bekerja di pabrik-pabrik mereka selama Perang Dunia II.
BACA JUGA: Jepang Dilanda Cuaca Superpanas, Seperti Kena Kutukan
BACA JUGA: Jepang dan Korsel Perang Dagang, Raksasa Teknologi Kalang Kabut
Masalah tersebut bukanlah hal yang baru. Selama beberapa dekade, kedua negara tidak sepakat tentang bagaimana Jepang seharusnya menebus masa lalu kolonialnya. Namun kegagalan Jepang menebus dosa masa lalunya semasa perang kini memberikan efek ekonomi yang akan jauh melampaui Asia Timur.
BACA JUGA: Nagoro, Desa Jepang Berpenduduk 350 Boneka dan 27 Manusia
The Washington Post memuat, meski Jepang melepaskan kekaisarannya pada akhir Perang Dunia II, namun kebencian mendalam terhadapnya tetap bertahan di bekas koloni, seperti Korea. Bukan tanpa alasan, pasalnya, Jepang melakukan kekejaman yang dianggap paling mengerikan dalam sejarah, seperti perbudakan seksual ratusan ribu wanita penghibur, menggunakan warga Korea sebagai pekerja paksa dan upaya untuk memberantas budaya Korea dengan memaksa anak sekolah Korea untuk belajar bahasa Jepang.
Kemudian ketika pasukan Amerika Serikat menduduki Jepang dan Korea Selatan pada tahun 1945, rekonsiliasi antara Jepang dan para mantan korbannya bukanlah prioritas tinggi.
Sebaliknya, Amerika Serikat berusaha mengesampingkan kebencian atas masa lalu dan untuk membangun kembali hubungan ekonomi yang telah ada selama era kolonial.
Bukan hanya itu, Amerika Serikat juga fokus pada penghentian komunisme dan percaya bahwa Jepang dan Korea Selatan perlu dipersatukan dalam perlawanan mereka terhadap ancaman ini.
Korea Selatan pun akhirnya menormalkan hubungan dengan Jepang pada tahun 1965 dan memulai memperbaiki hubungan ekonomi kedua negara.
Jepang dan Korea juga kemudian membangun perjanjian yang berhasil menciptakan hubungan ekonomi baru antara kedua negara. Jepang setuju untuk memberikan Korea 800 juta dolar AS dalam bentuk hibah dan pinjaman, sementara pemerintah Korea Selatan melepaskan haknya untuk mencari reparasi resmi dari Jepang atas pelanggaran kolonial dan perang terhadapnya.
Selama dua dekade berikutnya, Korea Selatan tidak hanya menerima bantuan pembangunan yang dijanjikan dari Jepang, tetapi juga menjadi tujuan utama untuk perdagangan dan investasi Jepang.
Kedua negara pun mendapat manfaat besar dari kemitraan baru, dan menghindari pembahasan soal luka sejarah.
Namun perjanjian itu juga memungkinkan Jepang untuk menghindari perhitungan dengan kekejaman masa lalunya. Dan dengan demikian, perjanjian tersebut membatalkan hak-hak setiap warga negara Korea Selatan untuk mencari kompensasi dari pemerintah Jepang.
Di Korea Selatan sendiri, luka masa lalu belum sepenuhnya pulih, terlebih jika terkait dengan perbudakan seksual oleh militer Jepang, di mana para korbannya belum mendapatkan kompensasi yang memadai. Hal itu kerap memicu kemarahan paling emosional.
Jepang juga terus menyulut kontroversi dengan upaya yang tidak tulus untuk menunjukkan penyesalan. Sejak tahun 1990an, para pemimpin Jepang telah membuat beberapa kali pernyataan meminta maaf dan mengungkapkan penyesalan atas kesalahan negara mereka di masa lalu.
Namun, Jepang juga secara konsisten merusak pernyataan ini dengan mengeluarkan klarifikasi atau terlibat dalam tindakan lain seperti mengunjungi Kuil Yasukuni yang menjadi simbol penghormatan pada pemimpin Jepang semasa Perang Dunia II. Hal itu menimbulkan pertanyaan tentang ketulusan Jepang atas permintaan maaf mereka.
Tidak seperti Jerman, Jepang belum membangun tugu peringatan publik atau museum untuk mengenang dan mendidik orang tentang kekejaman Perang Dunia II.
Perdana menteri saat ini, Shinzo Abe, telah mengambil sikap yang lebih keras pada masalah sejarah daripada para pendahulunya dan telah menjelaskan bahwa di bawah pemerintahannya, permintaan maaf lebih lanjut tidak akan datang.
Di sekolah Jepang pun diajarkan bahwa Jepang hanya mengejar minatnya di awal abad ke-20. Karena itu orang muda Jepang juga melihat sedikit kebutuhan untuk meminta maaf atas tindakan negara mereka di masa lalu. Semua tren ini mengancam hilangnya ingatan publik nasionalis dan memperburuk perselisihan perdagangan saat ini. (rmol/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nirpemenang
Redaktur & Reporter : Adil