JAKARTA - Pengungkapan jaringan besar teroris perampok bank pekan lalu menyisakan kritik. Terutama karena ada terduga teroris yang ditembak mati. "Operasi itu tetap harus dievaluasi karena lagi-lagi, ada korban nyawa yang jatuh," ujar aktivis Muhammadiyah Musthofa Nahrawardaya di Jakarta, Minggu (12/05).
Menurut peneliti Indonesia Crime Analyst Forum (ICAF) itu, Densus 88 Mabes Polri sudah dilengkapi aneka persenjataan. "Kita tidak pernah tahu pasti, apakah terduga teroris itu melawan atau tidak. Sebab, ini satu versi dari polisi dan mereka sudah mati," katanya.
Peneliti lain, Harits Abu Ulya, menambahkan, kejanggalan operasi Densus 88 terlihat dari penyiapan keranda jenazah sebelum operasi diakhiri. Hal itu terlihat saat penyergapan di Marga Asih, Bandung.
Saat itu Densus merangsek menyerbu rumah tempat terduga teroris jelang maghrib. Uniknya, saat ashar sudah disiapkan keranda mayat dan kantong jenazah.
"Saya yakin tindakan injustice seperti ini bukanlah solusi terbaik untuk mengikis segala bentuk teror, tapi justru mereproduksi teror-teror baru," katanya kemarin.
Harits menduga sebenarnya Densus 88 telah menanam orang di kelompok teroris sehingga mampu memonitor pergerakannya. Nah, penembakan mati itu justru akan memunculkan kader-kader baru yang membalas dendam. "Siklusnya tidak kunjung selesai," katanya.
Kepala Biro Penerangan Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar membantah tudingan itu. "Kita sudah memberi waktu mereka untuk menyerah baik-baik. Bahkan Bapak Wakapolri turun langsung," katanya.
Saat operasi di Bandung ada seorang terduga teroris yang akhirnya menyerah karena tidak tahan dengan bom asap yang dilemparkan. "Itu operasi mulai jam 11, baru ada upaya paksa pukul 18.30. Jadi, bukan sengaja akan ditembak. Mereka melawan," kata Boy.
Jenderal satu bintang itu menambahkan, dari 20 orang yang tertangkap hidup jsudah mengaku bahwa teman-temannya memiliki senjata api dan bom. "Di lapangan juga ditemukan senjata mereka," katanya.
Sumber Jawa Pos di lapangan menambahkan, kelompok ini selalu membekali diri dengan bom pipa yang sangat fatal jika dilemparkan ke badan lawan. "Bisa remuk redam," katanya.
Buron utama, yakni Santoso alias Abu Wardah, diduga sudah melengkapi diri dengan aneka senjata. "Karena itu tim di lapangan selalu full pack (istilah untuk bersenjata lengkap, red). Ini operasi taruhannya nyawa," katanya.
Santoso alias Abu Wardah adalah jebolah Madrasah Tsanawiyah Poso. Dia diduga terlibat penembakan tiga anggota polisi di BCA Palu pada 25 Mei 2011.
Ia juga disebut sempat memimpin pelatihan teroris di Poso. Santoso dikaitkan sebagai pentolan teroris kelompok Solo, Bojonggede, Tambora, serta Beji.
Dalam surat yang beredar di internet Maret lalu, Santoso mengirim surat tantangan kepada Detasemen Khusus 88 Antiteror untuk perang. Dalam surat itu Santoso disebut sebagai Komandan Mujahidin Indonesia Timur. Santoso sempat menjalani vonis 4 tahun dari Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, atas kasus kepemilikan senjata api dan percobaan pembunuhan pada 2003. (rdl/ca)
Menurut peneliti Indonesia Crime Analyst Forum (ICAF) itu, Densus 88 Mabes Polri sudah dilengkapi aneka persenjataan. "Kita tidak pernah tahu pasti, apakah terduga teroris itu melawan atau tidak. Sebab, ini satu versi dari polisi dan mereka sudah mati," katanya.
Peneliti lain, Harits Abu Ulya, menambahkan, kejanggalan operasi Densus 88 terlihat dari penyiapan keranda jenazah sebelum operasi diakhiri. Hal itu terlihat saat penyergapan di Marga Asih, Bandung.
Saat itu Densus merangsek menyerbu rumah tempat terduga teroris jelang maghrib. Uniknya, saat ashar sudah disiapkan keranda mayat dan kantong jenazah.
"Saya yakin tindakan injustice seperti ini bukanlah solusi terbaik untuk mengikis segala bentuk teror, tapi justru mereproduksi teror-teror baru," katanya kemarin.
Harits menduga sebenarnya Densus 88 telah menanam orang di kelompok teroris sehingga mampu memonitor pergerakannya. Nah, penembakan mati itu justru akan memunculkan kader-kader baru yang membalas dendam. "Siklusnya tidak kunjung selesai," katanya.
Kepala Biro Penerangan Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar membantah tudingan itu. "Kita sudah memberi waktu mereka untuk menyerah baik-baik. Bahkan Bapak Wakapolri turun langsung," katanya.
Saat operasi di Bandung ada seorang terduga teroris yang akhirnya menyerah karena tidak tahan dengan bom asap yang dilemparkan. "Itu operasi mulai jam 11, baru ada upaya paksa pukul 18.30. Jadi, bukan sengaja akan ditembak. Mereka melawan," kata Boy.
Jenderal satu bintang itu menambahkan, dari 20 orang yang tertangkap hidup jsudah mengaku bahwa teman-temannya memiliki senjata api dan bom. "Di lapangan juga ditemukan senjata mereka," katanya.
Sumber Jawa Pos di lapangan menambahkan, kelompok ini selalu membekali diri dengan bom pipa yang sangat fatal jika dilemparkan ke badan lawan. "Bisa remuk redam," katanya.
Buron utama, yakni Santoso alias Abu Wardah, diduga sudah melengkapi diri dengan aneka senjata. "Karena itu tim di lapangan selalu full pack (istilah untuk bersenjata lengkap, red). Ini operasi taruhannya nyawa," katanya.
Santoso alias Abu Wardah adalah jebolah Madrasah Tsanawiyah Poso. Dia diduga terlibat penembakan tiga anggota polisi di BCA Palu pada 25 Mei 2011.
Ia juga disebut sempat memimpin pelatihan teroris di Poso. Santoso dikaitkan sebagai pentolan teroris kelompok Solo, Bojonggede, Tambora, serta Beji.
Dalam surat yang beredar di internet Maret lalu, Santoso mengirim surat tantangan kepada Detasemen Khusus 88 Antiteror untuk perang. Dalam surat itu Santoso disebut sebagai Komandan Mujahidin Indonesia Timur. Santoso sempat menjalani vonis 4 tahun dari Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, atas kasus kepemilikan senjata api dan percobaan pembunuhan pada 2003. (rdl/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pembajak Situs Kemhan Terancam Pidana
Redaktur : Tim Redaksi