jpnn.com, JAKARTA - Direktur EmrusCorner Emrus Sihombing menyoroti pro dan kontra desain spanduk HUT ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia, yang dianggap mirip simbol agama tertentu.
Menurutnya, desain tersebut lebih cenderung sebagai karya seni untuk seni, tetapi belum mempertimbangkan secara maksimal aspek komunikasi utamanya presepsi dan pemaknaan khalayak.
BACA JUGA: Spanduk Gambar Habib Rizieq Bertebaran Jelang HUT RI, Jawaban Habib Novel Mengagetkan
Belum lagi bicara berapa biaya dikeluarkan untuk mendesainnya.
Emrus memahami bahwa wacana tentang desain yang tertera pada spanduk terkait HUT RI, dapat dipersepsikan dan dimaknai sangat perspektif dan subjektif.
BACA JUGA: Heboh Spanduk HUT RI ke-75 Mirip Salib, Begini Tanggapan Aa Gym
Ia menuturkan, ada yang memprotes karena ada gambar yang mirip dengan simbol agama tertentu, sehingga belum mencerminkan pluralitas di tengah masyarakat.
Namun, kata Emrus, pihak pemerintah mengatakan itu bukan simbol agama tertentu.
BACA JUGA: Menkominfo: Komunikasi, Kunci Mendisiplinkan Masyarakat Terapkan Protokol Pencegahan Covid-19
"Bantahan semacam ini sebagai kebiasaan pola komunikasi pemadam kebakaran, yang acapkali diperankan oleh tim komunikasi pemerintah sampai saat ini," kata Emrus, Sabtu (15/8).
"Hal ini terjadi karena pengelolaan komunikasi pemerintah belum mengedepankan antara lain, antisipatif terhadap respons publik," tambahnya.
Menurut Emrus, perbedaan yang tidak produktif itu bisa dilihat dari dua hal.
Pertama, persepsi. Setiap manusia pasti memberikan persepsi yang berbeda terhadap stimulus yang diterima, melalui panca indera.
Perbedaan persepsi ditentukan dari sudut pandangan mana khalayak melihat stimuli itu. Karena itu, tidak heran, ada yang mengatakan desain tersebut ada kemiripan simbol agama tertentu. Ada yang mengatakan tidak.
Kedua, pemaknaan. Setiap simbol atau tanda, termasuk sebuah desain logo, sama sekali tidak bermakna, tetapi manusia atau khalayak yang memberi makna terhadap simbol.
Lambang yang sama (verbal maupun non-verbal) bisa dimaknai berbeda, dari orang atau sekelompok masyarakat yang berbeda karena nilai dan atau kepentingan tertentu.
Perbedaan makna ditentukan oleh interaksi sosial yang dialami oleh masing-masing orang atau sekelompok masyarakat.
Oleh karena itu, makna bersifat sosial sebagai produk interaksi sosial.
Dengan kata lain, nilai, ideologi, budaya, kepentingan dan dunia keseharian yang terkonstruksi selama ini bagi setiap orang maupun sekelompok masyarakat, menjadi dasar bagi mereka memaknai sesuatu.
Tidak heran simbol tertentu bagi orang atau masyarakat tertentu, menjadi suatu hal sangat dihormati dalam kehidupannya, tetapi bagi masyarakat yang lain simbol yang sama sebagai suatu yang biasa saja.
"Merujuk pada desain yang tertera pada spanduk yang terkait dengan HUT RI tersebut, menurut hemat saya, produksi desain belum maksimal atau tidak sama sekali mempertimbangkan kedua aspek di atas," ungkap dosen Universitas Pelita Harapan itu.
Di samping itu, lanjut Emrus, desain tersebut tampaknya belum melalui proses pre-test yang kredibel kepada sekelompok masyarakat heterogen, sebagai representasi pluralitas bangsa Indonesia untuk menangkap respons, pendapat, dan penilaian sebagai bahan evaluasi sebelum desain dirilis ke ruang publik.
"Merujuk pada uraian di atas, untuk kesekian kalinya saya mengatakan bahwa komunikasi pemerintah pusat, masih perlu perbaikan berdasarkan prinsip-prinsip tatakelola komunikasi yang baik," kata dia.
Emrus menyarankan kepada Presiden Jokowi agar penanggung jawab komunikasi pemerintah pusat, diserahkan kepada para komunikolog.
Dia berpandangan sepanjang belum berpijak pada the right man on the right job di bidang komunikasi, maka pengelolaan komunikasi pemerintah akan selalu berpotensi menimbulkan polemik yang tidak produktif di ruang publik.
"Karena itu, manajemen komunikasi pemerintah pusat sejatinya segera diperbaiki," pungkasnya. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy