Desainer Surabaya Berkiprah di Ajang Miss World

Perhelatan Usai, Gaun Langsung Ditawar Orang

Rabu, 09 Oktober 2013 – 10:12 WIB
Natalia berpose bersama Miss Yunani Athina Pikraki yang mengenakan gaun hasil karyanya di belakang panggung sebelum kontestan tersebut action di ajang Miss World. FOTO: ist

Perhelatan Miss World 2013 di Bali beberapa waktu lalu menyisakan kenangan manis bagi sebagian orang. Di antaranya, para desainer berbakat metropolis yang karyanya digunakan para kontestan di ajang pemilihan perempuan tercantik di dunia itu.
---
Dengan talenta yang mereka miliki, para desainer tersebut menunjukkan bahwa dunia mode di Surabaya sangat menjanjikan. Meski belia, kini nama mereka sejajar dengan desainer papan atas Indonesia lainnya yang juga men-support gaun untuk acara bertaraf internasional itu .

Mulai Sebastian Gunawan, Anne Avantie, Ayu Mirah, Berly Asmara, Oscar Lawalatta, Ghea Pangabean, hingga Harry Darsono.

Desainer Surabaya pertama yang karyanya digunakan para kontestan adalah Natalia Soetjipto. Alumnus Arva School of Fashion dan Melbourne School of Fashion itu membawa tiga karya yang digunakan Miss Namibia Paulina Malulu, Miss Irlandia Aoife Walsh, dan Miss Yunani Athina Pikraki.

"Sungguh tidak pernah menyangka bahwa dalam perjalanan karir saya, saya mampu mendesain gaun untuk kontestan Miss World," katanya saat ditemui Jawa Pos beberapa waktu lalu.

Menekuni bidang desain sejak lima tahun silam, owner Arcobaleno Boutique itu mengaku mencintai dunia rancang gaun sejak kecil. Inspirasinya didapat dari seringnya bermain boneka Barbie.

Lulus SMA, perempuan kelahiran 10 Juni 1987 itu memutuskan untuk menempuh pendidikan di bidang garis rancang busana. Mimpinya adalah menjadikan Surabaya sebagai salah satu kiblat fashion nasional. "Asal mau berkreasi sebaik-baiknya dan terus meng-update informasi tentang dunia fashion internasional, kita pasti bisa kok," ujarnya bersemangat.

Keikutsertaannya dalam ajang tersebut bisa dibilang mendadak dan last minute. Ibu satu orang putri itu baru mendaftar pada hari-hari terakhir menjelang penutupan pendaftaran. Untungnya, CV dan portofolio yang dia kirimkan mendapat respons positif dari penyelenggara acara. Jadilah saat hari H, dia tergabung dalam 48 desainer terpilih yang men-support gaun untuk kepentingan acara tersebut.

Agar berkesan cantik dan mampu menggambarkan semangat, Natalia sengaja memilih warna merah untuk gaun hasil kreasinya tersebut. "Merah itu eye-catching banget. Mampu menarik perhatian setiap yang melihat," jelas dia.

Pola gaun yang dia bentuk mengikuti tema besar yang sudah ditentukan panitia, yakni Byzantine. Namun, agar tetap menonjolkan kesan girlie, Natalia menambahkan beberapa aksen khusus pada gaunnya seperti penggunaan bunga mawar atau red rose.

Rasa nasionalisme juga turut dia unggah dalam karya yang pengerjaannya butuh waktu tiga minggu tersebut. Yakni, penggunaan kain songket NTT di beberapa bagian, baik sebagai pemanis di bagian bawah gaun maupun menjadi belt. "Kita tahun ini kan menjadi tuan rumah. Saya rasa kok ya eman kalau tidak menunjukkan identitas asli dari bangsa sendiri," katanya.

Dalam mengerjakan tiga gaun itu, dia dibantu empat staf khusus. Yang paling sulit adalah membuat rangkaian pernik-pernik. Memang, pada gaun yang dihasilkannya, Natalia banyak bermain aksesori. Di antaranya, penggunaan batu-batu alam dan kristal swarovski.

Semua peranti itu dilekatkan dalam gaun dengan sentuhan tangan atau handmade. "Itu yang paling banyak menyita waktu. Karena dibutuhkan konsentrasi tingkat tinggi," jelas istri Bernardus Ngo itu.

Untuk pemilihan bahan, dia tidak mau setengah-setengah. Sumber terbaiklah yang digunakan. Misalnya, lace prancis, taffeta italia, dutchess, dan organdi. Kain-kain itu dipilih karena mampu me­nampilkan kesan elegan dan nyaman saat digunakan.

Waktu pendaftaran yang mepet, lanjut Natalia, tentu berpengaruh pada kondisi psikologisnya saat mengerjakan gaun. Karena ingin segera selesai dan tidak terlambat menyetor kepada panitia, dalam seminggu dia lembur bekerja hingga dini hari.

Kesulitan semakin terasa karena dia tidak mendapat ukuran badan kontestan yang akan menggunakan karyanya. Untung saja, anak ketiga di antara tiga bersaudara itu pernah mengenyam pendidikan fashion di luar negeri. Di sana dia diajarkan pola umum ukuran badan seorang model profesional. Jadi, tinggal disesuaikan. Selebihnya hanya menyisakan space sedikit untuk di-fitting langsung ke badan kontestan saat bertemu.

Menjadi desainer untuk para perempuan cantik sejagat itu juga memberikan pengalaman baru bagi Natalia. Khususnya di bidang profesionalisme kerja. Berbeda dari ajang fashion show yang kerap dia ikuti, untuk kegiatan Miss World, semua berjalan on schedule.

"Yang juga jauh dari bayangan saya, ternyata mereka itu ramah-ramah. Bahkan, ketika merasa nyaman menggunakan gaunnya, mereka tidak segan memuji. Itu luar biasa," ucapnya.

Bahkan, saking ramahnya, hingga kini Natalia masih menjalin hubungan dengan tiga kontestan yang memakai karyanya. Saling sapa dan tukar informasi mereka lakukan dengan menggunakan situs jejaring sosial. Di antaranya, Facebook dan Twitter.

Natalia mengatakan, keikutsertaannya dalam ajang tersebut berpengaruh pada perjalanan karirnya. Bahkan, tidak lama setelah acara itu berakhir dan tayangan ulangnya diputar di salah satu televisi swasta nasional, ada ibu-ibu dari Manado yang meneleponnya untuk mengutarakan niat membeli gaun karyanya.

"Saya kaget. Kok dia tahu nomor telepon saya. Dari mana? Ini gaunnya sampai saya simpan saat ini. Sesuai dengan permintaannya," katanya. (nji/c6/end)

BACA JUGA: Remaja Merokok Tidak Keren

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bahaya Menggunakan Internet Jelang Tidur


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler