jpnn.com, MATARAM - Basri Mulyani mengadukan Satpol PP Provinsi NTB ke Ombudsman RI Perwakilan NTB di Kota Mataram dalam dugaan melakukan maladministrasi.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani (UGR) itu mengadu lantaran KTP miliknya dirampas Satpol PP yang sedang melakukan razia protokol kesehatan COVID-19.
BACA JUGA: Satpol PP Langsung Berhenti Saat Ada Mobil Mencurigakan, Oh Ternyata PNS
"Saya laporkan ke Ombudsman. Sudah saya serahkan laporan pengaduan atas dugaan telah terjadi maladministrasi yang dilakukan oleh institusi Sat Pol Provinsi NTB melalui anggota Sat Pol PP NTB," kata Basri Mulyani usai mengajukan laporan di Kantor Ombudsman RI Perwakilan NTB di Mataram, Selasa (23/3).
Basri menjelaskan, laporannya tersebut diajukan berkaitan dengan tindakan kurang simpatik dari oknum Sat Pol PP NTB yang melakukan razia masker di wilayah Kota Mataram, Senin (22/3).
BACA JUGA: Anggota Satpol PP Ini Ditemukan Tergeletak Dalam Parit, Polisi Beri Penjelasan Begini
Kronologis kejadia, Senin pagi (22/3) sekitar pukul 10.00 Wita, Basri bersama ibunya yang sudah cukup berumur hendak menuju Lombok Timur, sepulang dari Kantor Taspen Mataram.
Namun saat melintas di jalan Sandubaya – Bertais menuju Lombok Timur, mobilnya diberhentikan oleh anggota kepolisian dan Sat Pol PP Provinsi NTB.
BACA JUGA: Pernyataan Tegas MenPAN-RB soal Rekrutmen CPNS dan PPPK, Seluruh Honorer Harus Tahu
"Pada saat itu tanpa papan pengenal sedang mengadakan kegiatan apa yang tidak jelas meminta saya berhenti," katanya.
Basri pun menghentikan mobilnya dan menanyakan ada apa dan kenapa diberhentikan.
Anggota polisi kemudian meminta Basri turun dari mobil dan diarahkan ke deretan kursi sejumlah petugas perempuan untuk mengisi form.
"Saya tidak mengetahui apa isi form itu, kemudian (petugas Satpol PP) meminta KTP dan saya serahkan KTP yang ada dalam dompet saya," jelasnya.
Petugas perempuan kemudian menyatakan Basri Mulyani telah melanggar aturan karena tidak menggunakan masker.
Tanpa diberi kesempatan melakukan pembelaan, Basri diminta membayar denda Rp100.000 atau sanksi sosial menyapu.
"Saya pun keberatan, saya mengatakan sama mereka, harus jelas apa yang saya langgar saya menggunakan mobil pribadi dengan kaca mobil saya tutup walau di dalam ada ibu saya dan saya negatif COVID-19. Harus ada pembelajaran dahulu bukan kemudian sanksi denda saja, saya minta pasal apa yang saya langgar. Kemudian Satpol PP datang menunjukkan pasal tidak memakai masker di tempat publik," ujar pria yang juga berprofesi sebagai pengacara itu.
Menurutnya, di sinilah awal terjadi perdebatan. Basri pun mengadu argumentasi di lokasi razia yang tanpa papan pengenal itu yang tidak lazim, karena biasanya seperti Razia Pajak Kendaraan atau Razia SIM selalu dengan papan pengenal (norma jelas).
"Tapi mereka semakin mem-bully saya seperti tidak menunjukkan diri aparat pemerintah, apalagi saya menyatakan menolak sanksi itu dan saya banding dan saya minta bukti KTP saya disita sebagai jaminan," katanya.
Karena Satpol PP berkeras tidak mau memberikan KTP Basri dan tidak juga memberikan surat bukti sita, akhirnya Basri berinisiatif memfotonya.
"Pada saat saya foto, semua meneriaki saya, kata mereka orang paham hukum tapi melanggar hukum. Dan saat itu oknum Pol PP menunjukkan KTP saya di tempat umum sambil menunjukkan tangannya pada saya, cara-cara tak etis. Saya pergi ke mobil saya pun diteriaki seperti orang tak berpendidikan hukum. Sangat tidak manusiawi sekali apa yang dilakukan aparat Sat Pol PP Provinsi NTB yang katanya menjalankan Perda tersebut," tegasnya.
Basri menegaskan pihaknya sangat paham dengan Perda Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Penyakit menular.
Dalam pasal 25 ayat (1) huruf a sangat jelas sanksi yang harus diberikan adalah sanksi administrasi atas pelanggaran pasal 17 huruf d (protokol kesehatan) yaitu teguran lisan, teguran tertulis, denda administratif paling banyak sebesar Rp500.000.
Selanjutnya huruf b adalah sanksi sosial. Kemudian Ayat 2 menyatakan Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara langsung pada saat operasi penertiban oleh Satpol PP bersama dinas.
Dan ayat 3 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur.
"Sehingga harusnya berdasarkan sanksi yang dapat diterapkan dimulai dengan sanksi teguran lisan kemudian sanksi tertulis, baru sanksi denda. Tapi yang terjadi, tanpa menjelaskan kesalahan pihak Pol PP langsung menerapkan sanksi denda atau sanksi sosial yang tidak dikenal dalam kaedah ilmu hukum. Ini yang keliru," tukasnya.
Basri juga menyatakan sangat keberatan KTP miliknya diumbar ke publik saat razia tersebut. Sebab, Kartu Tanda Penduduk adalah data pribadi yang dilindungi oleh Undang-Undang.
"Jika data pribadi tersebar tanpa ada jaminan oleh pihak yang melakukan sita atas KTP saya dan tidak ada surat penyitaan dari KTP tersebut bukan lagi pelanggaran tetapi telah melakukan Tindak Pidana dalam Pasal 84 ayat (1) UU 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan khusus terkait data persorangan yang dilindungi," katanya.
Dalam laporan pengaduannya ke Ombudsman, Basri meminta agar ada perbaikan sistem dengan membuat SOP yang jelas sebagai standar dalam penerapan sanksi.
"Gubernur NTB juga wajib menjatuhkan sanksi kepada oknum anggota Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi NTB karena provokasinya dan menunjukkan KTP serta melakukan sita KTP tanpa hak dan kewenangan," tegasnya.
Selain itu ia mendesak Kasat Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi NTB harus meminta maaf secara terbuka atas tindakan anak buahnya yang tidak mencerminkan sikap institusi negara selaku pengayom dan pelayan masyarakat.
Basri menegaskan, selain mengadukan dugaan mal administrasi ke Ombudsman, pihaknya juga akan melaporkan kasus ini secara pindana dan juga perdata.
Hal ini dilakukan sebagai pembelajaraan agar Sappol PP sebagai aparatur negara bisa bekerja dengan baik dan sesuai aturan.
Sementara itu, Kasat Pol PP Provinsi NTB Tri Budi Prayitno belum dapat dikonfirmasi terkait laporan tersebut. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo