JAKARTA - Sidang paripurna DPRD DKI Jakarta akhirnya memutuskan menolak pengunduran diri Prijanto dari jabatan wakil gubernur DKI Jakarta. Keputusan itu ditempuh dengan cara voting. Dari 61 anggota dewan yang hadir, 37 anggota menolak. Sedangkan 24 anggota menerima keinginan Prijanto mundur.
Ketua DPRD DKI Jakarta Ferrial Sofyan dalam sidang paripurna tersebut menyatakan, pengunduran diri Prijanto tidak diterima mayoritas anggota dewan yang hadir. Secara otomatis, Prijanto tetap tidak bisa menanggalkan jabatannya hingga akhir masa jabatan pada Oktober 2012. "Dengan demikian, saudara Prijanto diminta melanjutkan tugas sebagai wakil gubernur," ujar dia, Selasa (6/3).
Sidang tersebut tidak dihadiri Fraksi Golkar dan Fraksi PDI Perjuangan. Kendatipun kedua fraksi tersebut menerima pengunduran diri Prijanto. Fraksi PDI-P tidak hadir karena ada agenda rapat bersama dewan pimpinan pusat (DPP).
"Kita ada rapat dengan DPP. Fraksi melaporkan perihal perkembangan yang ada. Sikap kita tetap menerima pengunduran diri tersebut," tutur Ketua Fraksi PDI Perjuangan Syahrial.
Alasan berbeda justru muncul dari Fraksi Golkar. Ketidakhadiran fraksi berlambang pohon beringin itu lantaran tidak sepakat dengan mekanisme voting seluruh anggota dewan. Sebab, sikap sejumlah fraksi sudah sangat tegas, yakni menerima pengunduran diri Prijanto.
Penetapan mekanisme voting seluruh anggota hanya menguntungkan fraksi yang memiliki anggota terbanyak. "Yang namanya sikap fraksi itu keterwakilan anggotanya, jadi tidak perlu voting anggota lagi. Kalaupun hadir percuma saja, mekanismenya seperti itu," sesal Ketua Fraksi Golkar Asraf Ali.
Fraksi-fraksi yang hadir yakni Fraksi PKS, Gerindra, PPPP, Fraksi Hanura - Damai Sejahtera, Fraksi Amanat Kebangkitan Bangsa (PAN-PKB), serta Fraksi Demokrat. Dari seluruh fraksi di DPRD DKI, hanya Fraksi PPP dan Fraksi Demokrat yang menyatakan menolak kemunduran diri Prijanto.
Alasannya, masa jabatan Prijanto selaku wakil gubernur tinggal menghitung hari. Hasil sidang paripurna tidak sesuai harapan Prijanto. Padahal mantan Asisten Teritorial TNI itu sudah tidak ingin menjabat sebagai wakil gubernur.
Keberadaannya selama ini tidak mendapat kewenangan sesuai posisinya sebagai orang nomor dua di DKI. Usai sidang paripurna, Prijanto dengan raut wajah sedikit lesu meninggalkan gedung DPRD DKI Jakarta.
Dengan mengenakan jas hitam dan dasi bercorak warna hijau, Prijanto langsung menuju balaikota. Di lokasi yang biasa digunakan untuk pelaksanaan salat Jumat bagi lingkungan kerja Pemprov DKI, dirinya menggelar konferensi pers. Kendati disediakan alat pengeras suara seadanya, Prijanto menyampaikan tanggapannya atas hasil sidang tersebut.
Dengan nada lantang, Prijanto menegaskan, penolakan atas kemunduran dirinya melalui voting anggota dewan tidak memliki alasan tepat. Terlebih dengan adanya fraksi yang mengatakan jabatan tersebut tinggal menghitung hari.
"Masa jabatan tinggal sedikit, itu bukan alasan. Mungkin ini kehendak Tuhan," imbuh Prijanto yang didampingi sejumlah aktivis mahasiswa.
Satu hal yang disesalkan Prijanto, sidang paripurna tidak memberikan kesempatan kepada dirinya untuk membeberkan alasan kemunduran dirinya. Sebab, kesempatan berbicara dalam sidang paripurna berbeda dengan tulisan dalam buku. Padahal dirinya ingin menyampaikan perihal penyimpangan di Pemprov DKI dalam menjalankan penegakan hukum dan aturan, pengelolaan dan etika birokrasi.
"Bicara di paripurna bukan kebutuhan saya. Tapi sidang paripurna itu merupakan dokumen negara. Sedangkan ungkapan dalam buku sekadar dokumen publik," keluhnya.
Di hadapan para jurnalis, Prijanto menunjukan sebuah berkas yang disebut ringkasan eksekutif berjudul "Kenapa Saya Mundur Dari Jabatan Wagub DKI Jakarta". Rencananya ringkasan eksekutif itulah yang akan dibacakan dalam sidang paripurna.
Sayangnya tidak terkabul. "Alasan-alasan psikologis di dalam jalinan birokrasi yang menggambarkan hubungan satu paket kerja yang makin lama makin tidak sehat," tuturnya.
Selain itu, ringkasan eksekutif milik Prijanto itu juga menyebutkan bahwa birokrasi yang melanggar filosofi dasar, prinsip-prinsip maupun good governance tidak patut diteladani. "Dan tidak mungkin bisa memberikan kita pelajaran mengelola aset publik dengan baik. Sesuai status dan kompetensi saya sebagai wakil, saya sudah menyampaikan kepada atasan saya untuk mendapat perhatian dan pemecahan seperlunya. Laporan saya ibarat membentur tembok tebal, dingin dan beku," pungkasnya. (rul)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jakarta Harus Punya Monorel dan Subway
Redaktur : Tim Redaksi