jpnn.com, JAKARTA - Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (Dewas LPP TVRI) menjelaskan ihwal pemecatan Helmy Yahya sebagai Dirut LPP TVRI saat rapat bersama Komisi I DPR di ruang komisi, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/1).
Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari membuka rapat menyatakan bahwa komisinya telah menerima berbagai surat. Antara lain, surat Dewas LPP TVRI yang ditujukan kepada pimpinan Komisi I DPR Nomor: 256/Dewas/TVRI/2019 tertanggal 31 Desember 2019 perihal Laporan Dewas LPP TVRI (Laporan Tahunan Pelaksanaan Tugas Dewas LPP TVRI).
BACA JUGA: Glenn Fredly Puji Kinerja Helmy Yahya
Kemudian, tembusan Surat Keputusan (SK) Dewas LPP TVRI Nomor 1 Tahun 2020 tanggal 16 Januari 2020, tentang Pemberhentian Saudara Helmy Yahya Sebagai Dirut LPP TVRI Periode 2017-2022.
Berikutnya, kata Kharis surat Dewas LPP TVRI yang ditujukan kepada ketua Komisi I DPR yakni Nomor: 13/Dewas/TVRI/2020 tertanggal 17 Januari 2020 perihal Penyampaian Keputusan Dewas LPP TVRI tentang Pemberhentian Saudara Helmy Yahya Sebagai Dirut LPP TVRI Periode 2017-2022.
BACA JUGA: Siapa Layak jadi Dirut TVRI Pengganti Helmy Yahya?
“Rapat hari ini dilaksanakan dalam rangka mendapatkan penjelasan mengenai proses penyelesaian masalah pemberhentian dirut LPP TVRI,” kata Kharis.
Ketua Dewas LPP TVRI Arief Hidayat Thamrin membeber kronologi pemecatan Helmy. Arief mengatakan berdasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2005 tentang LPP TVRI, Pasal 7 huruf d menyatakan bahwa Dewas mempunyai tugas mengangkat dan memberhentikan dewan direksi.
BACA JUGA: Penunjukkan Dirut TVRI Pengganti Helmy Yahya Bukan Wewenang Kemkominfo
Pasal 24 Ayat 1 menyatakan anggota dewan direksi diangkat dan diberhentikan Dewas. Pasal 2, anggota dewan direksi diangkat untuk masa jabatan lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu masa jabatan berikutnya.
Pasal 4 menyatakan anggota dewan direksi dapat diberhentikan sebelum masa jabatan apabila, pertama, tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundangan berlaku. Kedua, terlibat dalam tindakan merugikan lembaga. Ketiga, melakukan pidana berdsasar putusan pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap, dan keempat, tidak memenuhi persyaratan seperti dalam Pasal 22.
Ia menjelaskan pertama kali Dewas LPP TVRI diangkat 6 Juli 2017. Kemudian, Dewas memilih dan melantik direksi LPP TVRI pada 29 November 2017. “Kronologi cukup panjang. Ada 15 kronologi kami sampaikan. Awal sekali kenapa terjadi hal ini adalah adanya keterlambatan honor SKK karyawan pada Desember 2018. Inilah pangkal awalnya,” ujar Arief.
Ia menambahkan keterlambatan itu direspons karyawan yang melakukan setop siaran pada 10 Januari 2019. Lantas, pada 11 Januari, Dewas memberikan surat teguran kepada dirut TVRI. Berikutnya, ada mosi keberatan karyawan kepada dirut dan direksi.
“Teguran Dewas ke dirut 11 Januari (2020) dan 29 November (2019). Kami sudah lakukan pembinaan-pembinaan sebelumnya,” katanya.
Dia mengatakan, ada rapat dengar pendapat (RDP) DPR pada 20 Mei 2019 yang menegaskan agar menegur direksi terkait keterlambatan SKK. Kemudian, dewas diminta menindak tegas direksi bila ada pelanggaran. “Inilah dasar kami,” tegasnya.
Dia menambahkan, dirut melayangkan sebuah surat kepada Dewas tentang tata kerja dan hubungan dewas direksi. “Inti surat adalah mempertanyakan kewenangan Dewas dengan tembusan kepada DPR, BPK, Kemenkominfo. Artinya ini adalah ranah internal yang dibawa kepada eksternal,” katanya.
Kemudian, ada RDP antara Komisi I dan TVRI pada 2 Desember 2019. Ia menambahkan bahwa sekali lagi teguran ke direksi terkait SKK oleh Komisi I DPR. Direksi diberi waktu menyelesaikan sampai 31 Desember 2019.
Kemudian, terkait teguran berikutnya dari Komisi I DPR adalah banyaknya program asing yang berbiaya tinggi dan kurang sesuai dengan visi misi dan tugas pokok fungsi TVRI sebagai televisi publik. “Pada saat tersebut, salah satu direktur TVRI menyatakan bagaimana kalau direksi ingin memecat Dewas. Ini terekam dan ada datanya,” katanya.
Surat 4 Desember 2019, Dewas memberikan SPRP (Surat Pemberitahuan Rencana Pemberhentian) dirut LPP TVRI. Lalu ada mediasi Dewas, direksi, kemenkominfo, komisi 1 pada 6-11 Desember. Lantas, pada 17 Desember 2019, Dewas menerima surat pembelaan diri dari dirut LPP TVRI.
“Akhirnya, setelah kami sidang dan sebagainya kami memberi surat keputusan pemberhentian dengan SK Dewas Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pemberhentian tertanggal 16 Januari 2020. Dan kami sudah tembuskan laporan ke Presiden RI dan DPR RI serta para menteri kabinet,” katanya.
Helmy Melawan
Sebelumnya, Helmy Yahya sudah angkat bicara ihwal pemecatannya sebagai dirut LPP TVRI. Ia menepis semua tudingan Dewas LPP TVRI, yang dijadikan alasan pencopotannya sebagai orang nomor satu di televisi pertama di Indonesia tersebut.
Helmy Yahya menyayangkan beragam pencapaiannya selama dua tahun lebih menjadi dirut berujung penonaktifan hingga pemberhentian oleh Dewas LPP TVRI. Pemilik royalti program kuis Siapa Berani itu kaget ketika dinonaktifkan pada 4 Desember 2019 lalu. Meski kaget, Helmy melawan.
“Saya kaget. Tanggal 5 Desember (2019) saya melakukan perlawanan. Saya menyatakan SK (penonaktifan) itu tidak sah,” kata Helmy dalam jumpa pers di salah satu restoran di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (17/1).
Helmy yang saat itu didampingi sejumlah direksi TVRI, dan penasihat hukumnya, Chandra Hamzah itu menambahkan mediasi pun dilakukan. Selama proses mediasi, Helmy puasa berbicara di media massa.
Helmy mengaku hanya mengirim klarifikasi bahwa dia masih dirut TVRI yang sah karena SK penonaktifannya cacat hukum. Dia mengatakan, sudah dimediasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang mengarahkan penyelesaian masalah tidak boleh dengan pecat memecat.
Helmy juga mengaku sudah bertemu dengan beberapa tokoh di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain itu, lanjut dia, sudah juga menemui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebelumnya, BPK memberikan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk TVRI.
“Kami juga menghadap Mensesneg (Pratikno), perintahnya sama tidak ada pecat memecat,” katanya.
Helmy menegaskan sudah dibantu Chandra Hamzah sebagai penasihat hukumnya untuk melakukan pembelaan. Surat penonaktifan dibalas dengan 27 halaman pembelaan. Disertai 1.200 halaman lampiran. Surat dan lampiran itu juga diperlihatkan kepada awak media. “Saya jawab. Saking tebalnya, saya tidak kuat angkat,” kata Helmy.
Surat pembelaan itu disampaikannya pada 18 Desember 2019. Helmy menegaskan, pembelaan itu didukung semua direksi TVRI. “Saya jawab semuanya itu. Semua direksi tanda tangan mendukung surat pembelaan saya,” ujarnya.
Helmy mengatakan, berdasar peraturan yang dibacanya bahwa kepemimpinan TVRI dilakukan secara kolektif kolegial. Ia menegaskan bahwa apa yang dilakukan direksi TVRI merupakan hasil kesepakatan dan keputusan bersama. Tidak boleh terpisah. “Ini dukungan dari para direksi,” katanya.
Dia menjelaskan, lima direksi yakni direktur teknik, program dan berita, umum, pengembangan usaha, dan keuangan mendukung pembelaannya karena catatan penonaktifannya itu atas tindakan atau operasional daily activity yang sudah diputuskan secara kolektif kolegial. Awalnya, Helmy merasa pembelaannya akan diterima. “Kami sudah berhari-hari, tetapi ternyata saya tidak tahu ada apa di belakang ini,” ujarnya.
Helmy mengaku kemarin dipanggil menghadap lima Dewas TVRI. Dia datang sekitar pukul 16.00. Ternyata, pemanggilan itu untuk memberikan surat pemberhentiannya dari dirut TVRI. “Saya diberikan surat cinta Dewas soal pemberitahuan pemberhentian. Saya diberhentikan karena pembelaan saya ditolak,” kata Helmy.
Dalam jumpa pers itu, Helmy dibantu beberapa direksi menjawab detail poin per poin isi surat Dewas terkait pemberhentiannya. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy