PASANGAN suami-istri Alexander dan Linda Lunardi menikmati traveling dengan menggunakan motor gede (moge) keliling dunia. Sudah 40 negara di enam benua dilintasi. Padahal, mereka tidak muda lagi.
SEKARING RATRI ADANINGGAR, Jakarta
Meski usianya sudah lebih dari 60 tahun, Alexander Lunardi Tedjowinoto dan istrinya, Ida Purwaningsih, menolak disebut sudah lansia (lanjut usia). Mereka bersikeras mengaku masih muda.
"Kami belum tua rasanya. Masih muda," ujar Alex lantas tertawa kecil saat ditemui di kediamannya, perumahan Permata Hijau, Jakarta, akhir pekan lalu.
Perasaan masih muda itu bertambah saat keduanya menjalankan hobi jalan-jalan, menjelajah ke berbagai negara. Tidak main-main, selama 10 tahun terakhir, sudah 40 negara di enam benua mereka kunjungi. Bahkan, mereka pernah menginjakkan kaki di Alaska dan benua Antartika.
Hebatnya, hobi itu mereka jalani dengan cara yang tidak biasa. Bila umumnya orang bepergian ke luar negeri dengan menggunakan jasa agen perjalanan lengkap dengan pengurusan akomodasinya, Alex dan Ida merasa perjalanan seperti itu kurang menantang. Bagi mereka, jalan-jalan dengan menggunakan tour bus kurang asyik.
"Ngapain jalan-jalan kok lebih hanya lihat punggung kursi. Pemandangan di sekitar jadi terbatas," ujar Ida diiringi anggukan sang suami.
Karena itu, mereka memilih touring dengan menggunakan moge untuk memuaskan hobi jalan-jalannya itu. Apalagi, Alex merupakan penggemar moge sejati. Bersama moge BMW kesayangannya, pria 65 tahun itu pernah berkeliling Indonesia, bahkan ke Malaysia dan Brunei Darussalam. Selama ini, Alex tergabung dalam Ikatan Motor Besar Indonesia (IMBI). Malahan, hingga saat ini, dia masih menjabat ketua IMBI Cabang Bogor.
Pasutri romantis itu memulai penjelajahan dari satu negara ke negara lain pada 2003. Sejak saat itu, setahun sekali keduanya meluangkan waktu dua minggu hingga sebulan untuk berwisata dengan moge ke sejumlah negara.
"Karena sama-sama hobi traveling, akhirnya kami putuskan untuk menggunakan moge saja untuk jalan-jalan itu. Kan tambah asyik," ujar Ida.
Sang suami buru-buru menimpali. "Dia yang suka (jalan-jalan). Saya cuma nyupirin," canda Alex disambut tawa istrinya.
Meski mengoleksi empat moge di rumah, saat bepergian ke luar negeri, mereka memilih untuk menyewa moge di negara setempat. Menurut Alex, cara itu lebih praktis jika dibanding harus membawa moge sendiri dari Indonesia.
"Kalau jalan-jalannya cuma di dalam negeri, saya selalu pakai motor sendiri. Dikirim pakai kapal pun tidak masalah. Tapi, kalau ke luar negeri, jatuhnya ribet dan prosedurnya lama. Bisa sampai dua minggu hanya untuk ngurusi motor," ujar ayah dua putri itu.
Meski begitu, mereka harus bisa hemat barang bawaan. Sebab, tidak mungkin mereka bisa membawa barang berkoper-koper di motor. Misalnya, untuk pakaian, mereka mesti memilih yang berbahan dry fit agar cepat kering jika basah. Selain itu, semua bawaan harus muat dengan tiga boks motor yang menempel di moge.
"Yang penting surat-surat penting seperti paspor dan SIM internasional tidak boleh lupa. Kalau baju, saya hanya membawa dua potong untuk dua minggu," papar Alex.
Mereka juga selalu membawa perlengkapan touring pribadi seperti seperangkat tool kit dan kotak P3K. Kemudian, perlengkapan safety wear seperti celana touring, jaket, pelindung siku, kacamata, sarung tangan, serta jas hujan.
"Jaket yang saya kenakan ada lapisannya, ada liner-nya. Jadi, kalau pas panas, bisa dicopot," tuturnya.
Yang menarik, jaket serta pakaian yang dipakai pasangan tersebut selalu seragam. "Ya nggak papa kembaran, biar terlihat kompak dan bagus saja," lanjut Alex.
Biasanya mereka tidak sendirian. Mereka tergabung dalam motor tour bersama para penghobi traveling dari negara lain.
"Enaknya kalau wisata sama orang-orang bule, mereka cuek. Jalan ya jalan sendiri. Mau berhenti ya berhenti saja, ndak perlu ramai-ramai," ungkap pemilik diler motor tersebut.
Perjalanan pertama mereka pada 2003 diawali dengan rute Jerman, Austria, Swiss, Italia, Prancis, dan 26 lintasan pegunungan Alpen. Setahun kemudian, mereka menjajal rute Andalusia yang meliputi sejumlah kawasan di Spanyol. Tahun-tahun berikutnya, mereka menjelajahi Alaska, Amerika Serikat (AS), lalu sejumlah negara di Eropa serta Amerika Selatan.
Terakhir, Februari lalu, mereka mengunjungi benua Antartika di Kutub Selatan. Di sana, motor sewaan mereka harus diangkut dengan perahu karet.
"Sebab, di sana nggak ada dermaga atau pelabuhan. Di sana, kami pergi ke sebuah kamp penelitian milik Rusia. Kami juga bisa melihat banyak penguin," cerita Alex.
Sayangnya, perjalanan ke Antartika kurang berkesan jika dibanding ketika mereka mengunjungi negara-negara di Amerika Selatan. Menurut pasangan tersebut, objek wisata dan penduduk negara-negara di Amerika Latin menarik dan unik. Salah satu objek wisata yang mengesankan adalah danau garam Grand Salinas yang berlokasi di Sieras de Cordoba, Argentina.
"Jadi, itu laut yang berubah jadi danau garam. Lokasinya sekitar 4.000 meter di atas permukaan laut. Karena itu, cuaca di sana terik banget. Pokoknya, di Amerika Selatan, banyak yang aneh-aneh," kata Ida.
Di kawasan yang sama terdapat perbukitan dengan tujuh warna. Perbukitan dengan kandungan beragam mineral itu terletak persis di El Manantial del Silencio Hotel, tempat mereka menginap di Argentina.
Di Cile, mereka melintasi kota yang memiliki sebuah gua alam. "Kalau malam, di Cile kayak di planetarium karena bisa melihat bintang dengan jelas. Udaranya bersih banget," ungkap Ida yang pernah menjabat presiden direktur Federal International Finance (FIF) itu.
Namun, kata dia, lingkungan dan kondisi sosial di Amerika Latin tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Misalnya, banyak rute jalan yang semrawut. Masyarakatnya tidak disiplin. "Kayak di Indonesia, mereka suka motong jalan seenaknya," katanya.
Bahkan, pernah suatu kali mereka terhadang aksi demo di kota kecil Juliaka, Peru. Para demonstran memblokade jalan dengan barikade batu-batu besar. Saat itu Alex dan Ida berniat menuju objek wisata reruntuhan kota kuno Inca, Machu Picchu. Demo yang diprediksi berlangsung selama tiga hari ternyata molor jadi seminggu. Mereka pun tak bisa melewati kawasan tersebut.
Semula mereka menunggu situasi. Tapi, ternyata aksi demo itu tak kelar-kelar juga. "Kami tiduran di bawah truk sambil menunggu situasi," ungkap Alex.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya mereka memutuskan untuk balik arah. Mereka menyerah. Mereka lalu mencari penginapan untuk beristirahat. "Suasana jadi kacau karena kami kesasar. Kami baru bisa masuk hotel tengah malam," kenang Ida.
Saking menikmati hobi traveling-nya, mereka sampai tidak memikirkan segala pantangan makanan. "Kalau di luar negeri cuek saja. Semua dimakan, kapan lagi soalnya," kata perempuan kelahiran 22 April itu sembari terbahak.
Untuk kenang-kenangan, Ida selalu menyimpan rapi semua foto perjalanan mereka di sejumlah album. Di setiap foto tertulis keterangan nama tempat dan tanggal perjalanan. Sang suami juga punya file foto sendiri di iPad miliknya. "Tapi, lebih lengkap punya ibu (Ida)," ujar Alex.
Untuk perjalanan berikutnya, September nanti Alex dan Ida berencana menjelajahi Benua Afrika. Terutama enam negara di Afrika Timur dan Selatan. "Kami akan mencari negara-negara unik yang belum pernah kami kunjungi," pungkasnya. (*/c5/c9/ari)
BACA JUGA: Upaya Eks PSK Tambakasri Mentas dari Bisnis Syahwat
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ronald Prasanto Sukses Kawinkan Kopi dengan Molecular Gastronomy
Redaktur : Tim Redaksi