Australia banyak membutuhkan pekerja di ladang pertanian, namun beberapa pekerja, sebagian tanpa dokumen resmi, mengaku diperlakukan buruk dengan upah sehari hanya AU$30, atau sekitar Rp300 ribu.

Mike* senang bisa datang ke Australia dari tempat asalnya Vanuatu di Pasifik untuk bekerja sebagai pemetik buah, lewat program resmi Pemerintah Australia 'Seasonal Program' atau Pekerja Musiman.

BACA JUGA: Program Bantuan Mencari Kerja Untuk Migran di Tasmania Membantu 70 Persen Pesertanya Mendapat Pekerjaan

"Saya ingin bergabung dengan program ini untuk keluarga saya, agar bisa membawa uang pulang ke rumah," katanya kepada ABC.

Para pekerja migran menjadi penolong bagi para petani Australia selama pandemi COVID-19, karena kekurangan tenaga kerja akibat ditutupnya perbatasan.

BACA JUGA: Kasus COVID Melonjak Lagi, Menkeu: Jangan Hancurkan Ekonomi dengan Pembatasan

Ketika Mike pertama kali bekerja sebagai pemetik buah anggur, dia tidak mengira apa yang akan dialaminya.

Upahnya ditentukan berdasarkan berapa banyak keranjang buah anggur yang bisa dipetiknya dalam sehari.

BACA JUGA: Data Awal di Afrika Selatan Menunjukkan Varian Omicron Tidak Menyebabkan Sakit Separah Varian Sebelumnya

Jangankan mengirim uang untuk keluarganya di Vantuatu, penghasilannya tidak mencukupi uang yang sudah ia keluarkan untuk mendapat visa Australia dan tiket pesawat. 

Bosnya tidak mengizinkan Mike ke gereja di hari Minggu karena ia harus bekerja.

"Mereka mengatakan kalau saya tetap pergi ke gereja di akhir pekan, mereka akan memulangkan saya," katanya.

Dengan bantuan serikat pekerja United Workers Union, Mike bisa menyelesaikan masalahnya dan terus bekerja sampai musim panen anggur berakhir. 

Dia kemudian pindah ke perkebunan lain untuk memetik blueberry, namun lagi-lagi tidak mendapat upah yang cukup karena musim hujan membuat panen diundur.

"Saya tidak mengirimkan uang ke Vanuatu karena saya tidak memiliki uang," katanya.

Akhirnya dia didekati oleh seorang kontraktor pencari tenaga kerja gelap yang menjanjikan Mike akan mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus.

"Kontraktor itu mengatakan dia akan memberikan saya jam kerja lebih banyak, akomodasi bagus. Jadi saya memutuskan untuk pindah ke majikan lain," kata Mike.

Namun setibanya di sana, ia menerima upah secara tunai atau istilahnya 'cash hand', sekitar AU$300, atau lebih dari Rp3 juta, untuk bekerja selama enam hari, yang jauh dibawah upah minimum.

Ia juga harus tinggal bersama lima orang lainnya di sebuah rumah tanpa listrik.

"Ketika di sana, saya menyadari semua yang dijanjikan tidak benar. Saya menyesal," katanya.

Mike kemudian meminta bantuan lagi dari serikat pekerja dan kembali mengikuti program resmi pekerja musiman dari Pemerintah Australia.

Saat ini Mike sudah kembali ke Vanuatu dan berharap akan kembali lagi ke Australia untuk musim panen tahun depan. 

Ia menegaskan pentingnya para pekerja untuk mengetahui hak-hak mereka. Program pemerintah dianggap 'paling bagus'

Data terbaru menunjukkan jumlah pekerja musiman yang melarikan diri dari majikan mereka naik dari 225 orang menjadi 1.181 sepanjang tahun lalu.

Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) sampai harus menerbitkan poster sebagai peringatan kepada pekerja yang melarikan diri: "Anda membuat malu reputasi keluarga sendiri."

Setelah ada kritikan soal peringatan tersebut, DFAT meninjau kembali poster tersebut, yang sekarang sudah tidak bisa diunduh lagi dari situs DFAT.

Juru bicara Pemerintah Australia mengatakan perlakuan buruk terhadap pekerja musiman tidak dapat diterima dan mereka sudah memberikan penjelasan kepada pekerja musiman sebelum dan sesudah tiba di Australia mengenai hak mereka.

Para pengacara hak asasi manusia mengatakan banyaknya pekerja musiman resmi yang melarikan diri dari majikannya menunjukkan tingginya perlakuan buruk dan pemberian upah yang tidak sesuai dalam program resmi Pemerintah Australia dan sekarang mereka sedang mempersiapkan gugatan.

Namun, menurut Joanna Howe, pakar hukum imigrasi, dalam hirarki pekerja migran di pertanian, pekerja musiman dari kawasan Pasifik mendapatkan perlakuan relatif baik.

"Ada berbagai penemuan perlakuan buruk dalam program ini, pengurangan upah tidak sah, harga akomodasi yang terlalu mahal, pencurian upah. Namun masalah ini bisa ditemukan karena program ini resmi," katanya.

"Ironisnya, program resmi pekerja musiman ini adalah yang paling bagus dibandingkan program lain yang ada, sebagai usaha mendatangkan pekerja migran ke Australia.

"Ada banyak kelompok migran lain yang lebih rentan mendapat perlakuan buruk." Nasib pekerja tanpa dokumen sah

Salah satu kelompok pekerja paling rentan adalah mereka yang  bekerja tanpa visa yang benar, atau dikenal sebagai pekerja tanpa dokumen yang sah.

Penelitian menunjukkan adanya sekitar 60 ribu sampai 100 ribu pekerja tanpa dokumen di pertanian di Australia.

Menurut Joanna, kebanyakan pekerja tanpa dokumen ini membayar sejumlah uang kepada agen migrasi "yang tidak bisa dipercaya" untuk mengurus visa mereka dan mendapat janji akan mendapatkan pekerjaan dengan upah besar.

Namun setelah tiba di Australia, baru ketahuan jika visa mereka adalah visa turis yang tidak memperbolehkan mereka bekerja.

Mereka kemudian bertemu dengan kontraktor gelap, kemudian dibawa untuk bekerja di ladang pertanian dan mereka mau melakukannya untuk bisa membayar utang.

"Para petani hanya berhubungan dengan kontraktor. Kontraktor mendapat bayaran satu paket," kata Joanna.

"Petani mungkin berpikiran dia sudah membayar upah yang benar bagi pekerjanya. Namun sebenarnya kontraktor mengambil sebagian uangnya dan pekerja hanya mendapatkan sedikit saja."

"Para pekerja tanpa dokumen menjadi korban industri gelap."

"Kalau kita tidak mengatasi masalah pekerja tanpa dokumen ini, kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah eksploitasi dan pencurian gaji yang diderita para pekerja migran pertanian di Australia." Pekerja tanpa dokumen merasa 'terjebak'

Beberapa pekerja tanpa dokumen mau berbicara dengan ABC dengan syarat nama mereka disamarkan.

Seorang pria asal Malaysia mengatakan dia dijanjikan akan mendapat bayaran AU$300, atau lebih dari Rp3 juta, sehari untuk memetik buah di Australia.

Ketika tiba lima tahun lalu, dia hanya mendapat bayaran AU$30, atau lebih dari  Rp300 ribu, sehari untuk pekerjaan yang berat tersebut.

"Di minggu pertama saya ingin nangis saking beratnya," katanya.

Kemudian ia harus membayar AU$40, atau lebih dari Rp400 ribu, seminggu untuk tinggal di sebuah kontainer barang bersama delapan orang lainnya.

Seorang perempuan menunjukkan tanda pembayaran tulis tangan dari seorang kontraktor yang menunjukkan dia dibayar AU$28.50 sehari saat bekerja memetik daun di perkebunan anggur.

Para pekerja ini tidak memiliki kartu untuk mengakses layanan kesehatan di Australia, atau Medicare, sehingga mereka takut mendatangi rumah sakit jika mengalami sakit atau cedera.

Seorang perempuan yang tinggal di kawasan Sunraysia di negara bagian Victoria, Esita mengatakan beberapa temannya sudah tinggal di Australia tanpa dokumen selama 20 tahun dan banyak diantara mereka sudah menikah dan memiliki anak-anak.

Dia mengatakan para pekerja tanpa dokumen tersebut sering kali mendapat perlakuan dan makian kasar.

Bahkan beberapa perempuan mendapat pelecehan seksual dan tubuh mereka diraba-raba ketika sedang memanjat untuk memetik buah.

"Mereka tidak bisa melawan karena mereka begitu ketakutan," katanya.

"Saya memiliki begitu banyak teman yang sudah merasa terjebak dalam situasi ini dan mereka betul-betul memerlukan pertolongan."

Seorang pekerja dengan dokumen sah bernama Dewi mengatakan beberapa temannya yang tidak memiliki dokumen resmi takut dideportasi jika mereka melaporkan diri. 

"Mereka masih memilih bekerja di ladang pertanian yang sama, di tempat yang sama, karena mereka tidak tahu harus ke mana lagi," katanya. Jadi 'bencana' di perkebunan

Di perkebunan milik Ian McAlister di kawasan Swan Hill, sekitar 340 kilometer dari kota Melbourne, tercium bau dari buah-buahan yang sudah membusuk.

Perkebunan miliknya biasanya butuh 60 orang pekerja, tapi ia hanya memiliki 16 pekerja.

Para pekerja sibuk memetik buah aprikot, peach, dan nectarine karena berlomba dengan waktu.

Namun kurangnya pekerja membuat Ian harus membuang sekitar 350 ton buah-buahan yang mulai membusuk dari tujuh ribu pohon.

"Ini adalah bencana yang tidak bisa dihindari tahun ini," katanya.

"Dalam dua tahun terakhir saya membiarkan lahan sekitar 200 hektar tidak ditanam lagi dan jika kondisinya sama, maka akan berlanjut dalam beberapa bulan ke depan," ujarnya.

Empat tahun lalu Ian memutuskan untuk tidak mengambill pekerja tanpa dokumen yang sah.

Tapi akibatnya, tanpa mereka dan beberapa pekerja resmi yang biasanya datang sebagai 'backpacker', Ian tidak bisa bertahan.

"Kami melakukan hal yang benar namun kami malah seperti mendapat hukuman," katanya. Apakah memberikan ampunan jadi solusi?

Sekretaris Nasional serikat pekerja United Worker Union, Tim Kennedy, mengatakan pekerja tanpa dokumen yang sah sudah menjadi bagian penting dari industri perkebunan di Australia selama bertahun-tahun.

"Tanpa kehadiran mereka, kita tidak akan memiliki industri holtikultur," katanya.

Pemerintah Australia sekarang merancang dua hal yang dianggap bisa memperbaiki sektor tenaga kerja di pertanian, yaitu program lisensi nasional untuk para kontraktor, serta memberikan pengampunan kepada pekerja tanpa dokumen sah sehingga mereka akan mendapat visa yang sah.

Ian mengatakan memberikan visa kepada para pekerja tanpa dokumen akan memungkinkan dirinya untuk mempekerjakan mereka langsung tanpa harus melewati para kontraktor.

Pemberian pengampunan kepada pekerja tanpa dokumen telah mendapat dukungan dari anggota parlemen asal Partai Nasional, Anne Webster, yang wilayah konstituennya meliputi Mallee di negara bagian Victoria.

"Musim panen tidak akan bisa terjadi tanpa kehadiran orang-orang ini," kata Anne.

"Saya kira kita harus memiliki jawaban yang manusiawi, resolusi yang bisa dipahami dan jalan menuju ke visa permanen harus ditawarkan."

Namun juru bicara Departemen Dalam Negeri mengatakan Pemerintah Australia tidak mendukung pemberian pengampunan karena akan "mendorong orang-orang untuk masuk ke Australia secara tidak sah dan bekerja gelap dengan harapan mereka akan mendapat pengampunan".

"Ini akan memberikan pesan yang keliru kepada majikan yang sudah melanggar hukum yang mempekerjakan warga yang ilegal," demikian pernyataan juru bicara Departemen Dalam Negeri.

Terakhir kalinya Australia memberikan pengampunan massal bagi pekerja tanpa dokumen sah adalah di tahun 1980.

Juru bicara Departemen Dalam Negeri juga mengatakan Australian Border Force, yang menjaga perbatasan Australia, telah memiliki petugas khusus untuk memerangi eksploitasi pekerja asing, dan Pemerintah Federal bekerja dengan Pemerintah negara bagian untuk menerapkan pendekatan nasional soal peraturan perekrutan tenaga kerja.

Pemerintah Australia juga mengusulkan undang-undang baru, yang jika disahkan, akan memasukkan pelanggaran pidana kepada mereka yang mengeksploitasi pekerjanya karena status migrasi mereka.

Ada juga rencana untuk memecahkan masalah kekurangan tenaga kerja di sektor perkebunan dengan meluncurkan visa pertanian baru bagi pekerja asal Asia Tenggara, yang nantinya bisa menuju ke status penduduk tetap atau 'permanent resident'.

Seperti yang dikatakan seorang pekerja: "Kami yang memanen apa yang Anda makan. Maka perlakukanlah kami seperti orang lokal Australia.

*Nama telah diubah untuk alasan privasi

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Coles, Salah Satu Jaringan Supermarket di Australia Digugat Oleh Ribuan Mantan Pegawainya

Berita Terkait