Piala dunia lebih dari sekedar olahraga, tapi ada juga nuansa politik, identitas dan budaya.
Keberhasilan Maroko maju ke semifinal lewat tendangan penalti yang dilakukan Achraf Hakimi ke gawang Spanyol, negara asal Achraf, adalah salah satu contihnya.
BACA JUGA: Ada Sejumlah Kekhawatiran di Balik Tren Avatar Buatan Lensa
Empat belas dari 26 anggota tim Maroko yang dibawa ke Qatar lahir di luar negeri, mulai dari Spanyol, Prancis, Belanda, Italia dan Belgia.
Bukanlah hal yang mudah bagi para pemain tim nasional untuk mengambil keputusan, apakah mereka harus memperkuat tim nasional negara asal mereka, atau tim nasional Moroko.
BACA JUGA: 13 Negara yang Pernah Masuk Final Piala Dunia, Keramat?
Beberapa keputusan yang diambil sejumlah bintang Maroko mendapat kritikan tajam, seperti dari Marco van Basten, mantan bintang Belanda, yang mengatakan Hakim Ziyech mengambil keputusan "bodoh" saat lebih memilih memperkuat Maroko dan bukannya Belanda.
Banyak juga yang terkejut ketika Achraf Hakimi, salah satu bek terbaik di dunia , lebih memilih Maroko bukan Spanyol.
BACA JUGA: Ini Link Live Streaming Argentina vs Kroasia, Luka Modric Cs Siap Ulang Memori Manis
Hakimi dilahirkan di Madrid, dan saat berlatih dengan timnas junior Spanyol, ia pernah mengaku tidak merasa "nyaman".
"Saya melihat ini bukan tempat yang tepat bagi saya. Saya tidak merasa seperti di rumah sendiri," katanya kepada media Spanyol Marca.
"Apa yang rasakan adalah saya tidak merasa seperti di tempat sendiri, yakni dengan budaya Arab. Dan sebagai orang Maroko, saya ingin hal tersebut."Dianggap migran ketika kalah
Para bintang pernah membawa timnas-nya memenangkan Piala Dunia mengaku jika keberhasilan mereka terbantu dengan adanya berbagai pemain dari latar belakang budaya, seperti yang terlihat di timnas Prancis dan Jerman.
Namun kadang keberagaman itu juga yang menimbulkan masalah.
Ketika tim Prancis menjadi juara Piala Dunia di tahun 1998, mereka mendapat julukan 'Black, Blanc, Beur', menggambarkan pemain berkulit hitam, berkulit putih dan juga keturunan Arab.
Namun ketika mereka gagal di pertandingan internasional lainnya, keberagaman juga yang dituduh jadi alasan mereka tidak bisa kompak.
Di tahun 2011, mantan manajer timnas Prancis, Laurent Blanc, mengatakan perlu ada kuota untuk pemain dari latar belakang tertentu di timnya, karena "terlalu banyak pemain berkulit hitam atau Arab", serta tidak cukup pemain berkulit putih "dengan budaya kita, dengan sejarah kita".
Pemain seperti Mesut Ozil di Jerman, Karim Benzema di Prancis, dan Romelu Lukaku di Belgia pernah mengaku ada perbedaan yang dirasakan ketika mereka menang dan kalah.
"Saya disebut orang Jerman, Prancis atau Belgia ketika kami menang, namun imigran ketika kami kalah," kata mereka.
Hal yang sama juga terjadi di Inggris ketika timnas Inggris kalah dalam adu penalti di Kejuaraan Eropa tahun 2021.
Tiga pemain berkulit hitam, yakni Marcus Rashford, Jadon Sancho dan Bukayo Saka gagal menyarangkan bola, kemudian mendapatkan kritikan bernada rasis.Mencari bakat dari kalangan diaspora Maroko
Sejumlah tim sepak bola di benua Afrika sudah berusaha mencari pemain diaspora di Eropa dan negar lain, namun sejauh ini tampaknya Maroko yang paling berhasil.
Maroko sudah membentuk sistem pelacakan bakat di kalangan komunitas diaspora yang banyak bermukim di Eropa tengah dan selatan.
"Artinya, ketika seorang pemain sudah mencapai taraf senior, mereka sudah mengetahui keberadaan pemain tersebut," kata Salim Masoud Said pengamat sepak bola Afrika kepada ABC.
Pendekatan Maroko berbeda dengan misalnya Ghana yang berusaha menarik pemain seperti Cody Gakpo dari Belanda, Eddie Nketiah serta Callum Hudson-Odoi, keduanya dari Inggris, hanya beberapa bulan menjelang Piala Dunia untuk memperkuat Ghana.
Menurut Salim ketika federasi sepak bola Maroko mengetahui ada pemain yang bagus, mereka akan diundang ke pusat pelatihan.
"Saya dengar Hakimi diundang untuk berlatih di pelatihan timnas sekitar 10 tahun lalu," katanya.
Lebih dari 20 pemain yang memiliki dua kewarganegaraan diundang untuk berlatih bersama dengan bakat-bakat muda lainnya dari Moroko.
Kemudian mereka dihubungkan dengan federasi sepak bola nasional untuk kemudian ditanya apakah mereka tertarik bermain untuk Maroko.
Maroko juga menghabiskan dana untuk membangun infrastruktur sepak bola yang tidak kalah dengan negara-negara yang sudah berprestasi di tingkat dunia.
"Raja Maroko menghabiskan dana sekitar 10 juta Euro setiap tahun untuk sepak bola, serta membantu akademi sepak bola yang fasilitasnya sama dengan di Clairefontaine milik Prancis." kata Presiden Federasi Sepak bola Pantai Gading Idriss Diallo kepada harian Prancis L'Equipe, setelah kemenangan di perempat final.
"Selain Afrika selatan, tidak ada negara lain di Afrika yang menanamkan investasi di sepak bola seperti Maroko. Yang terjadi bukanlah kebetulan."
Hasilnya adalah munculnya bakat-bakat muda seperti Youssef En-Nesyri, Nayef Aguerd dan Azzedine Ounahi, mereka adalah lulusan dari akademi sepak bola Mohammed VI .
Salim mengatakan fasilitas pelatihan timnas nasional Maroko di Rabat, tidak saja merupakan yang terbaik di Eropa, tapi juga di dunia.
"Kalau Anda mengunjungi tempat tersebut sebagai pemain yang sedang berpikir apakah akan membela Maroko, mungkin akan sangat terkesan melihat semuanya."
"Saya kira banyak federasi sepak bola di Afrika, khususnya tim-tim yang sudah berprestasi bagus, tidak memiliki fasilitas seperti itu."
Moroko kini menjadi tolak ukur dunia sepak bola di Afrika dan bisa terlihat dengan keberhasilannya sejauh ini di Piala Dunia.
Timnas putri Maroko juga sudah lolos ke putaran final Piala Dunia tahun depan yang akan dilangsungkan di Australia dan Selandia Baru.
Sementara di tingkat liga antar klub, baik tim laki-laki dan perempuan, sudah pernah menjadi juara liga Afrika.Dampak Piala Dunia
Maroko akan menghadapi juara bertahan Prancis di semifinal, Rabu besok.
Apa pun hasilnya, keberhasilan Maroko sejauh ini akan memberikan dampak besar dalam bagaimana negara-negara Afrika mengelola infrastruktur dan mencari pemain dari negara lain.
"Saya kira keberhasilan Maroko sejauh ini sangat menarik karena dengan keberhasilan, yang paling tidak masuk semifinal," ujar Salim.
"Apakah para pemain Maroko generasi berikutnya di Prancis, atau di Spanyol akan memutuskan untuk bermain untuk Maroko," katanya.
Mungkin mereka akan dan tidak akan lagi disebut sebagai keputusan bodoh seperti yang pernah dialami oleh Hakim Ziyech.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Semifinal Piala Dunia 2022: Pelatih Argentina Puji Luka Modric Setinggi Langit