jpnn.com, NUSA DUA - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas didapuk menjadi pembicara dalam forum Religion Twenty (R20) yang digelar dalam rangkaian kegiatan G20 di Nusa Dua, Bali.
Di depan para pemimpin agama dunia, menteri agama memaparkan sebuah metafora yang dikemukakan pemikir sosial Zygmunt Bauman pada 1996.
BACA JUGA: Jokowi Masuk 20 Besar Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia, Gus Yaqut Bilang Begini
Menag Yaqut mengisahkan Bauman menulis suatu metafora bahwa globalisasi menghasilkan dua jenis kelompok manusia dengan nasib yang sama sekali berbeda: turis dan gelandangan.
Keduanya sama-sama bergerak, bermigrasi dalam globalisasi tetapi dalam pengalaman yang sama sekali berbeda, bahkan bertentangan.
BACA JUGA: Gus Yaqut Keluarkan Instruksi, Kader Ansor & Banser Harus Siap-Siap
Wisatawan, kata Menag Yaqut adalah analogi untuk orang kaya yang mengalami globalisasi sebagai libur menyenangkan. Sementara, gelandangan adalah kaum miskin yang terlunta dalam globalisasi, seperti para pengungsi dan pekerja migran.
"Mereka mengalami globalisasi dalam keadaan serba rawan dan serba rentan," kata Menag Yaqut, Rabu (2/11).
Globalisasi, lanjut Gus Yaqut, panggilan akrab Yaqut Cholil Qoumas, adalah kekuatan transformatif yang mendorong perubahan mendasar dan struktural di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, ekologi, dan militer.
Dia menginterupsi hubungan internal dan eksternal tiap bangsa secara besar-besaran. Namun, ia juga adalah proses sejarah yang dinamis dan terbuka, membelah manusia dan komunitasnya dengan penuh kontradiksi serta paradoks.
"Ini adalah serangkaian proses yang menghasilkan bentuk-bentuk baru hubungan kekuasaan di tingkat global dan lokal, yang pada gilirannya, menyebabkan stratifikasi baru dan pengucilan terhadap orang-orang di berbagai sektor sosial," ujarnya.
Ditambahkan Gus Yaqut, globalisasi diam-diam telah merekonstruksi pola inklusi dan eksklusi tradisional di antara negara-negara dengan membentuk hierarki baru di semua masyarakat dan wilayah di dunia: antara utara dan selatan; Dunia Pertama dan Dunia Ketiga; orang kaya-orang miskin. Semua terjalin secara paradoks dalam persamaan kultural sekaligus perbedaan jurang ekonomi dan sosial.
Dia memandang politik global mengubah fondasi tatanan lokal, nasional, regional dan dunia. Salah satunya adalah secara homogenisasi budaya. Homogenisasi dalam kebudayaan bisa berarti ekstreminasi dan kekerasan simbolik.
Ia menghapuskan jejak identitas dari suatu masyarakat dan budaya lokal yang sebelumnya eksis: adatnya, makanannya, sistem-politiknya dan simbol-simbol kebudayaannya.
Dengan itu globalisasi mengundang balik, respons dan tantangan yang seringkali juga keras; politik identitas yang muncul di Amerika Latin dan Afrika misalnya, adalah respons yang bermaksud menyuarakan identitas mereka yang dipinggirkan oleh globalisasi.
Pada sisi yang lebih ekstrem, sebagian gerakan fundamentalisme agama juga muncul sedikit banyak sebagai respons dari keruntuhan negara bangsa di kawasan Persia dan homogenisasi yang dialirkan globalisasi.
Proses global yang intensif ini, tidak hanya menggeser warga dari peta tradisional geopolitik dunia, tetapi juga menghancurkan sentralitas yang telah diduduki negara. Ini menunjukkan bahwa penyesuaian yang signifikan dengan persyaratan politik yang baru diperlukan untuk menopang hidup negara-bangsa agar tetap relevan.
"Inilah globalisasi dalam kisah yang pertama. Apa yang saya sajikan dalam kisah pertama globalisasi adalah yang paradoksal," terangnya.
Globalisasi dalam kisah ini, kata Menag, boleh diibaratkan laksana gelombang pasang yang memporak-porandakan identitas dan pendirian-pendirian dasar, bukan hanya bagi negara-bangsa tetapi juga bagi kemanusiaan universal serta religiositas.
Ajang pertemuan pemimpin agama dunia atau R20 kali pertama yang diinisiasi Nadhalatul Ulama (NU) dan Liga Muslim Dunia ini digelar 2-3 November 2022 di Nusa Dua Bali. (esy/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Mesyia Muhammad