jpnn.com, JAKARTA - Di depan warga Nahdlatul Ulama, Menteri Agama Fachrul Razi bicara soal resolusi jihad. Menurut dia, para ulama dan negarawan di Indonesia sejak masa lampau tak pernah memisahkan antara keberagamaan serta kebangsaan. Salah satu contoh adalah Resolusi Jihad yang dikemukakan pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari.
Dikeluarkannya resolusi jihad oleh KH Hasyim Asy’ari merupakan bukti adanya kesadaran untuk meletakkan semangat kebangsaan dan keberagamaan dalam satu kotak yang sama.
BACA JUGA: Resolusi Jihad Erat Hubungan dengan Hari Pahlawan
“Dari segi militer, resolusi jihad merupakan strategi militer yang sangat brilian. Di lain sisi, ini adalah pengamalan nilai agama untuk membela negara,” kata Menteri Fachrul, dalam pernyataan resminya, Kamis (19/12).
Menag pun mengungkapkan kekagumannya terhadap Resolusi Jihad yang diserukan KH Hasyim Asy’ari, yang baru diketahuinya usai berakhir masa tugasnya sebagai TNI. Resolusi jihad itu adalah salah satu produk Nahdlatul Ulama yang sangat strategis. Dan semua bangga dengan resolusi jihad itu.
“Bayangkan, dalam resolusi jihad, KH Hasyim Asy’ari menyampaikan, dalam radius 68 km bila ada penjajah Belanda, maka hukumnya fardhu ‘ain bagi muslim untuk melakukan perlawanan. Dan di luar radius 68 km, hukumnya menjadi fardhu kifayah,” terangnya.
Kesadaran berbangsa dan beragama semacam ini menurut Fachrul harus terus dijaga oleh umat beragama di Indonesia. Dan dia yakin Nahdlatul Ulama bisa menjadi yang terdepan untuk menjadi contoh.
Moderasi beragama yang selama beberapa tahun terakhir digemakan Kementerian Agama, menurut Fachrul, menjadi cara untuk menjembatani pemahaman keberagamaan yang berwawasan kebangsaan tersebut. Ternyata hal ini tidak hanya dilakukan oleh Indonesia. Banyak negara di dunia tengah gencar melakukan hal tersebut, termasuk juga negara-negara Arab.
“Apapun namanya, walaupun bukan sama persis moderasi beragama, tetapi hal-hal yang kita lakukan untuk mengembalikan pengamalan keberagamaan pada posisi tengah, saat ini juga dilakukan oleh negara-negara Arab,” ujarnya.
Fakta ini diperoleh Fachrul usai melakukan kunjungan ke Arab Saudi maupun Uni Emirat Arab (UEA) pada November dan Desember 2019 ini. “Bahkan di Arab Saudi, saat saya bertemu dengan Menteri Hajinya, beliau menuturkan bahwa saat ini mereka sedang serius mengatasi ketertinggalannya dalam kehidupan beragama,” jelasnya
Hal ini menurut Fachrul, disebabkan, sebelumnya di Arab Saudi berkembang paham yang mengharuskan mereka menghilangkan artefak-artefak sebagai bukti sejarah peradaban Islam. “Kita tahu, banyak peninggalan sejarah Islam yang telah dihancurkan di Saudi. Bahkan kita pernah mendengar sempat makam Rasulullah akan dihancurkan. Saat itu, MUI pun mengirimkan perwakilannya ke sana agar hal itu tidak sampai terjadi,” katanya.
Saat ini, Arab Saudi pun mulai berbenah untuk mencegah hilangnya peradaban itu. Salah satunya dengan mengampanyekan sikap moderat dalam beragama. Bahkan di visi 2030 Arab Saudi, ada enam hal yang dilakukan, dan salah satu prioritas yang dilakukan adalah menempatkan agama dalam hal ini Islam dengan kebangsaan dalam satu kotak.
“Saudi mulai bicara tentang identitas nasional. Mereka mulai berpikir bagaimana konsep Islam bersatu dengan penguatan identitas nasional. Di Indonesia, kita sebenarnya telah melakukan ini. Kaitannya bagaimana iman dan taqwa masuk dalam wawasan kebangsaan,” pungkasnya.(esy/jpnn)
BACA JUGA: Ingatkan Kaitan 10 November dengan Resolusi Jihad
BACA JUGA: Jelang Natal dan Tahun Baru, Menag Imbau Masyarakat Jaga Solidaritas dan Toleransi
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad