Di Jambi, Bocah Miskin Ditelantarkan Hingga Mati

Empat Hari di RSUD RM Tak Diberi Obat

Jumat, 01 Maret 2013 – 11:37 WIB
JAMBI--Pelayanan kesehatan masih mahal di negeri ini. Program Jaminan Sosial Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang digaung-gaungkan pemerintah masih menyulitkan pasien miskin.

Gara-gara persyaratan Jamkesda tak lengkap, selama empat hari Linda Febrianti tidak diberi obat oleh pihak  Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher (RSUD RM) Jambi.  Akibatnya, bocah berumur tiga tahun itu menghembuskan nafas terakhir Jum’at (22/2) pukul 01.00 WIB.

‘’Kami sebenarnya pasien Jamkesda, cuma kata pihak rumah sakit syarat administrasinya belum lengkap. Akhirnya, istri saya kembali ke Tanjabtim ngurus administrasinya. Hanya saja, memang sampai hari ketiga anak saya di rumah sakit, pengurusan persyaratan tersebut belum selesai. Dan dia bisa ke Jambi baru hari ketujuh,’’ cerita Suwandi (48), orangtua korban, Kamis (28/2).

Akibatnya, lanjut Suwandi, anaknya tak diberikan obat lagi sejak hari keempat. Dan hari kedelapan menghembuskan napas yang terakhir. "Pihak rumah sakit lebih mementingkan admistrasi pasien, ketimbang tindakan pengobatan terhadap pasien. Padahal anak saya terkena meningitis," ujarnya.

Dikatakannya, selama dirawat di RSUD RM, anaknya pun bukan ditempatkan diruang ICU melainkan hanya ditempatkan di ruang UGD. Penjelasan dari pihak rumah sakit bahwa ruang ICU penuh. "Saya tidak ngerti jugalah apa yang kurang, katanya ada surat yang belum terus ada surat yang tidak distempel Dinas Kesehatan Kabupaten Tanjab Timur," katanya pilu.

Selama istrinya mencoba melengkapi berkas jamkesda tersebut, lanjutnya, untuk penebusan obat Suwandi terpaksa mengeluarkan uang sebagai jaminan. Padahal uang tersebut diperoleh dari pinjaman para dokter dan perawat RSUD Nurdin Hamzah Muara Sabak.

"Pada hari pertama hingga hari ketiga, saya masih memiliki dana untuk membayar uang jaminan guna menebus obat anak. Namun pada hari ke empat, pihak keluarga sama sekali tidak memiliki dana lagi," jelasnya.

Akibatnya, sang anak hanya terbaring tanpa perawatan medis dan obat-obatan selama empat hari berturut-turut. "Jangankan untuk nebus obat, untuk makan saja sudah tidak ada lagi. Itupun uang saya dapat pinjaman, dan akan dikembalikan jika ada dana Jamkesda cair," katanya.

Kini dia hanya berharap agar Pemerintah membantunya menyelesaikan seluruh biaya di RSUD RM. Karena dia sudah kehabisan uang selama anaknya berada di RSUD NH. Ditambah lagi untuk membawa jenasah anaknya kembali ke Tanjab Timur, dia harus merogoh kocek jutaan rupiah.

"Biaya ambulance untuk membawa jenazah anak saya sekitar Rp 1,6 juta lebih. Sementara informasi yang saya dapat Jamkesda hanya menanggung Rp 600 ribu saja untuk biaya ambulance," paparnya.

Terpisah, Kadis Kesehatan Kabupaten Tanjab Timur, Samsiran Halim melalui Kabid Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat pada Dinas Kesehatan, Hendri, mengungkapkan sangat menyesalkan tindakan pihak RSUD RM. Menurut Hendri korban tidak hanya sekali itu dirujuk ke RSUD RM, jadi seharusnya pihak rumah sakit tidak perlu lagi mempersoalkan berkas admistrasi Jamkesda pasien.

"Ini bukan yang pertama kali korban dirujuk, kenapa berkas jamkesda harus dipersoalkan lagi. Terlebih mengingat kondisi pasien yang sedang koma," pungkas Hendri.

Sementara itu, Djarizal, Direktur Pelayanan RSUD RM yang dimintai keterangannya soal kasus ini semalam mengatakan, dirinya belum menerima laporan mengenai kasus itu. Pasalnya, menurut dia, tak semua kasus yang menyebabkan meninggalnya pasien dilaporkan kepada dirinya.

"Tak semua kasus meninggal dilaporkan. Jika tak spesifik tak dilaporkan. Kalau ada masalah spesifik yang menyebabkan meninggalnya pasien, baru dilaporkan. Kalau pasien meninggal sementara perawat sudah melakukan tindakan sesuai standar, ya mau diapakan lagi. Kan tak mungkin pasien tak boleh meninggal," ujarnya.

Secara lebih terperinci, dirinya mengaku belum bisa memberikan komentar. Sebab, dia menyebut, bahwa dirinya belum mendengar laporan mengenai kasus meninggalnya pasien ini.

"Saya belum tahu persoalannya. Saya tak bisa katanya-katanya. Ini harus pasti persoalannya. Sebab, penilaian sisi pasien kan beda dengan dokter. Seperti kasus sebelumnya, kata pasien dibiarkan, kata dokter kan distabilkan. Nah itu kan berbeda. Saya belum dilaporkan, banyak meninggal tak semua dilaporkan. Kalau sudah sesuai prosedur tapi meninggal itu tak dilaporkan," ujarnya.

Ditanya soal pengakuan orang tua balita berumur 3 tahun yang menyebut balita itu tak mendapatkan obat sehingga menyebabkan kematian, Djarizal membantah. "Sepanjang soal obat saya rasa tak ada masalah. Walau dia pasien Jamkesda tetap dilayani," ujarnya.

Balita penderita meningstis (infeksi selaput otak, red) memang ketika dirujuk ke RSUD RM belum melengkapi administrasi yang menunjukkan dia sebagai pasien jamkesda.

"Dia sudah 8 hari dirawat. Saya rasa tak mungkin begitu (tak diberi obat, red). Biasanya pasien jamkesda diberikan kesempatan kepada keluarga 3 x 24 jam untuk melengkapi administrasi," ungkapnya.

Lebih lanjut dijelaskannya, kalau menyangkut nyawa pasien, harusnya diberikan obat dan diberi tindakan medis terlebih dahulu. Walau administrasi belum dilengkapi.

"Kalau menyangkut live saving atau nyawanya tak mungkin tak dilayani. Harusnya tak boleh tak melayani pasien seperti itu. Namun keluarganya 3x 24 jam harus melengkapi administrasinya, itu perjanjiannya. Kita kan ikut aturan yang ada," sebutnya.

"Kalau memerlukan obat dan ini menyangkut nyawa, itu rumah sakit harus layani. Tak boleh ditunda-tunda. Masak hidup orang ditunda-tunda. Tapi dengan catatan, keluarganya harus lengkapi administrasi untuk jamkesdanya. Karena ini uang negara yang mau dipakai kan," sambungnya.

Oleh karenanya, dia membantah jika menelantarkan pasien jamkesda itu. "Kalau soal pasien Jamkesda seperti ini, sebenarnya kita tak bersalah. Rumah sakit tak membedakan perawatan, sepanjang administrasinya lengkap. Dimana pun dunia ini tak akan melayani kalau tak lengkap," ungkapnya.

Ditanya, seberapa penting obat harusnya diberikan kepada pasien yang menderita meningitis ini? Dirinya mengatakan, urgensinya sangat tinggi. "Resikonya besar untuk membuat pasien meninggal. Penyakit ini termasuk besar. Itu kan selaput otak (meningitis, red). Harusnya diobati dulu, itu pasti. Dimana pun dokter yang menangani harusnya dioperasi," tukasnya.

Ditanya kembali mengenai kasus balita yang meninggal ini, Djarizal enggan memberikan banyak komentar. "Jelasnya kasus ini saya tak tahu persoalannya. Jadi saya belum bisa komentari," pungkasnya.

Untuk diketahui, selama kurun waktu kurang lebih 2 bulan terakhir, ada sebanyak 3 laporan meninggalnya balita di RSUD RM karena lambannya penanganan. Kejadian pertama menimpa Angga Tiara Dufika (19) yang meninggal bersama bayi yang masih berada di dalam rahimnya. Kejadian ini terjadi sekitar pertengahan Januari lalu.

Pihak rumah sakit sebelumnya mengatakan, soal kasus Angga ini, memang almarhumah Angga sulit untuk diselamatkan. Pasalnya, Angga disebutkan pihak rumah sakit terkena eklamsi (keracunan kehamilan, red). Penyakit ini memang sulit disembuhkan jika sudah menyerang ibu yang tengah hamil.

Kejadian kedua masih hangat di dalam ingatan, bahwa bayi salah seorang penderita ODHA juga meninggal dunia karena ditangani dengan tak semestinya penanganan untuk pasien ODHA. Hal ini menimbulkan trauma kepada penderita ODHA lainnya yang tengah hamil. Informasi yang didapat, saat ini setidaknya ada dua orang ODHA yang tengah hamil.

David, Ketua Kanti Sehati Sejati yang mendampingi pasien ODHA ini menjelaskan sebelumnya, bahwa penderita ODHA menjadi takut untuk melahirkan. “Karena penanganannya kurang maksimal,” sebutnya belum lama ini.

Kejadian ketiga, yakni yang terjadi pada Jumat lalu ini. Dimana, balita dengan umur 3 tahun penderita Meningitis harus berpulang kepangkuan sang pencipta karena obat yang harusnya diterima dan dikonsumsi tak bisa lagi dibeli. Berbelitnya pengurusan Jamkesmasda di RSUD RM juga menjadi faktor penyabab meninggalnya balita ini. (yos/wsn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemkab Tanggung Biaya Hidup Etnis Rohingya

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler