jpnn.com, NGANJUK - Siswa SMA Terbuka Ki Hajar Dewantoro di Desa Blongko, Ngetos, Nganjuk tetap memiliki semangat belajar yang tinggi dalam keterbatasan.
Meski sebagian siswanya sudah bekerja, mereka tetap menyempatkan menuntut ilmu dua kali dalam seminggu.
BACA JUGA: Silaturahmi dengan Warga Koja, Anies Ingat Singapura
ANWAR BAHAR B, Nganjuk
---
JARUM jam menunjukkan pukul 10.00 kemarin. Salah satu ruang kelas di SMA Terbuka Ki Hajar Dewantoro di Desa Blongko, Kecamatan Ngetos, masih terlihat kosong.
Hanya, ada beberapa siswa yang berdiri di depan ruang guru. Tidak berselang lama, beberapa siswa lainnya berdatangan.
Ada yang memakai seragam lengkap plus sepatu. Namun, ada pula anak yang hanya mengenakan kaus yang dipadu celana abu-abu.
Sebagian besar bahkan hanya memakai sandal ke sekolah.
Tanpa ditandai dengan bel, mereka langsung masuk ke ruang kelas dan menempati tempat duduk masing-masing.
Keberadaan sang guru di dekat pintu kelas sudah menjadi penanda jika mereka harus segera masuk ke kelas.
"Hari ini anak-anak memang tidak ada pelajaran," kata Abri Purwanto, koordinator SMA Terbuka Blongko.
Pria yang memakai baju batik biru tersebut menerangkan, guru kelas, sedang ada kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) di Kecamatan Gondang.
Karena itu, sebagai penanggung jawab, dia harus menggantikannya. Meski tidak ada kegiatan belajar-mengajar (KBM), Abri tetap memberikan tugas kepada anak didiknya tersebut.
"Anak-anak, silakan buat resume salah satu artikel di koran," ujar guru asli Desa Blongko tersebut.
Setelah menutup pertemuan di kelas, Abri tetap bertahan di tempat duduknya.
Sementara itu, para siswa juga duduk dengan tenang di kursi mereka masing-masing.
Mereka tidak terburu-buru pulang. Apalagi sampai bersorak karena pelajaran sudah selesai.
Di antara 30 siswa yang terdaftar, kemarin ada 18 anak yang masuk sekolah. Di antara siswa yang masuk tersebut, ada tiga siswa yang bekerja sambil bersekolah.
Mereka adalah Bagiyo, Ahmad Nur Huda, dan Fajar Zakaria. "Saya jaga toko sembako di Warujayeng (Kecamatan Tanjunganom)," ungkap Bagiyo mengawali perbincangan dengan Jawa Pos Radar Nganjuk.
Keinginan melanjutkan sekolah itu muncul setelah diajak Ahmad Nur Huda.
Kebetulan, Huda merupakan tetangga dekatnya. Karena ingin punya ijazah SMA, Bagiyo memutuskan sekolah lagi di SMA terbuka di Dusun Tengger di kaki Gunung Wilis tersebut.
"Di sini gratis. Tidak dipungut biaya apa pun," ungkapnya senang.
Berbeda dengan siswa SMA di sekolah reguler, siswa SMA terbuka memang hanya masuk dua kali seminggu.
Yakni, pada Jumat dan Minggu. Setiap Jumat, siswa masuk pukul 13.00-15.00, sedangkan Minggu 08.00-12.30.
Fajar Zakaria juga tidak bisa terus masuk sekolah seperti dua temannya. Pemuda yang bekerja sebagai pencari daun cengkih di pabrik pengilangan minyak cengkih itu hanya bisa masuk setiap Minggu.
Sebab, pada Senin-Sabtu, dia harus bekerja.
Pukul 13.00 Fajar harus mencari daun cengkih hingga pukul 17.00. Jika temannya berhalangan menyuling minyak, dia harus ikut melakukannya.
"Selain hari Minggu tidak bisa sekolah," ungkap pemuda yang kemarin memakai sepatu bot layaknya sepatu militer tersebut.
Penampilan pemuda yang berseragam lengkap dengan sepatu nyentrik itu pun langsung menarik perhatian.
Sebab, kebanyakan temannya yang lain memakai sandal. Banyak pula beberapa di antara mereka yang memakai kaus santai.
"Ini dikasih Om (paman, Red). Saya pakai terus ke sekolah," ujarnya, lantas tersenyum.
Tentang aturan seragam, Abri mengungkapkan bahwa sekolah memberikan kelonggaran.
Bagi yang punya seragam, mereka wajib mengenakannya terus.
Sementara itu, yang belum punya bisa memakai kaus atau kemeja.
"Sepatu juga tidak pernah kami paksakan. Kalau bisa, anak-anak memakainya. Tapi, memakai sandal juga kami persilakan," terang Abri. (*/ut/c24/diq/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia