Masa depan demokrasi di Indonesia sangat tergantung pada seberapa jauh kaum ulama yang progresif, inklusif dan moderat meningkat secara kuantitaif dan kualitatif. Karakteristik ulama seperti itu mendukung kultur politik yang demokratis selama ini. Ulama dan politik di IndonesiaSejumlah pengamat menyebut Islam politik semakin menguat di Indonesia, namun survei terbaru menemukan mayoritas ulama tetap mendukung sistem demokrasiSekitar 37 persen ulama memiliki karakteristik konservatif, eksklusif, radikal dan ekstrimis16 persen ulama juga menolak konsep negara bangsa yang demokratis
BACA JUGA: Australia Akan Larang Perdagangan Domestik Gading Dan Cula Badak Mulai Akhir 2019
Demikian benang merah dialog Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre yang menghadirkan Professor Dr Arskal Salim di kampus Universitas Monash, Melbourne, pada Kamis (22/8/2019) malam.
Prof Arskal merupakan Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam pada Departemen Agama RI.
BACA JUGA: Mirip Swastika, Baru Sebulan Beroperasi Wahana Permainan Ini Ditutup
Dia menyatakan optimis karena mayoritas ulama di Indonesia mendukung sistem negara bangsa yang demokratis.
"Saya ingin mengutip survei UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2019, yang melibatkan 450 responden ulama dari 15 kota," kata Prof Arskal.
BACA JUGA: Menahun di Indonesia, Pengungsi Lajang Mogok Makan Demi Kejelasan Status
Hasil survei tersebut menunjukkan 71,56 persen ulama menerima konsep negara bangsa, sedangkan 16,44 persen menolak dan sisanya tidak menjawab.
"Terlihat cukup besar karena lebih 70 persen yang menerima. Tapi patut diperhatikan pula ada 16 persen ulama yang tetap menolak," kata penulis buku Contemporary Islamic Law in Indonesia Sharia and Legal Pluralism yang diterbitkan Edinburgh University Press 2015.
"Kalau dilihat dari karakteristik ulama dari yang progresif hingga yang ekstrimis terlihat bahwa yang moderat masih jauh lebih banyak," jelas Prof Arskal Salim.
Survei itu menemukan ulama dengan karakter progresif sebanyak 4,89 persen, yang inklusif 23,33 persen, moderat 34 persen, sehingga kalau dikombinasikan hasilnya menjadi 62,22 persen.
Sisanya sekitar 37 persen merupakan ulama dengan karateristik konservatif, eksklusif, radikal dan bahkan ekstrimis.
"Dengan angka seperti ini kita optimis bahwa mayoritas ulama tetap mendukung Indonesia yang demokratis," jelas alumni Universitas Melbourne ini.
Meski demikian, dia mengingatkan tetap ada lebih dari 30 persen ulama yang perlu diubah agar mendukung demokrasi di Indonesia.Moderasi beragama Photo: Pakar hukum Islam Prof Dr Arskal Salim dalam dialog Monash Herb Feith Centre di Melbourne, Kamis (22/8/2019) malam. (ABC News: Natasya Salim)
Dalam sejarah Indonesia, banyak ulama di awal kemerdekaan yang tidak bisa mengerti mengapa ideologi negara dengan penduduk mayoritas muslim didasarkan pada ideologi selain Islam.
"Tapi seiring perubahan waktu, banyak ulama saat ini bisa menerima Pancasila dan bentuk negara bangsa yang ada," kata Prof Arskal.
Departemen Agama RI, katanya, saat ini menjalankan program "moderasi beragama" yang mendukung kegiatan-kegiatan Islam moderat.
"Di lingkungan pendidikan tinggi Islam kami memiliki sekitar 1 juta mahasiswa berasal dari 58 Universitas Islam Negeri dan lebih dri 700 perguruan tinggi swasta," katanya.
Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan mahasiswa pada perguruan tinggi umum yang berjumlah sekitar 7 juta orang.
Namun, kata Prof Arskal, dia optimis tetap bisa menjaga Indonesia sebagai negara demokrasi dengan keberagamaan yang moderat.
Dalam sesi tanya-jawab, peneliti dan dosen UIN Jakarta ini menyatakan memang benar terjadi adanya ancaman bagi kaum minoritas dari Islam politik.
Dalam penelitiannya di Aceh beberapa tahun silam, Prof Arskal menemukan bagaimana warga non Muslim terutama di wilayah perbatasan dengan Sumatra Utara, harus beradaptasi dengan hukum syariah.
"Mereka juga diharuskan mengenakan jilbab meskipun mereka itu Nasrani. Jadi guru yang beragama Nasrani jika ingin mengajar di depan kelas, mereka harus mengenakan jilbab," jelasnya.
Ketika ditanya mengapa mau mengenakan jilbab, guru tersebut mengaku tidak mau repot ditanyai orang dan supaya bisa menyatu dengan masyarakat sekitarnya.
Ditanya mengenai orang Islam yang selalu menuntut lebih padahal sudah merupakan mayoritas, Prof Arskal menyebut adanya fenomena "mayoritas dengan mentalitas minoritas".
"Saya tidak mengerti juga mengapa banyak pemuka Islam yang merasa terancam padahal mereka dari umat mayoritas. Mungkin karena terlalu terekspos pada teori konspirasi, di samping faktor lain," katanya.
Menurut Prof Arskal, bagi umat Islam yang tidak merasa terancam, mereka cenderung lebih moderat dan toleran.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Buang Limbah Radioaktif di Malaysia, Koalisi Pakatan Harapan Pecah