jpnn.com, JAKARTA - Bertempat di Soka Gakkai Singapore (SGS) Head Quarter, pembicara dari Indonesia, yaitu Devie Rahmawati, Elly Muliawan, Youna Bachtiar, dan Moe Sun Fa berdialog dengan pembicara dari Soka Gakkai Singapura, yaitu Tay Eng Kiat, Tan Chin Hee, dan pengurus senior SGS, seputar perkembangan dan program pendidikan dan kemanusiaan di masing-masing negara, Singapura dan Indonesia.
“Soka Gakkai Singapura, sebagai bagian dari Soka Gakkai Internasional, sebuah organisasi yang mempromosikan perdamaian, pendidikan dan kebudayaan, beroperasi di 192 negara, dengan anggota mencapai 12 juta. Di Singapura sendiri, terdapat 38 ribu anggota Soka Gakkai, di mana Soka Gakkai sendiri adalah organisasi nonpemerintahan, yang memiliki relasi formal dengan PBB dan mitra global lainnya, yang berfokus pada perjuangan hak-hak dasar pendidikan, pembangunan berkelanjutan, bantuan kemanusiaan hingga perdamaian dengan praktik pelucutan senjata nuklir,” ujar Direktur Jenderal SGS Tay Eng Kiat.
BACA JUGA: Terima Rektor Universitas Terbuka, Bamsoet Dorong Pemerataan Akses Pendidikan Tinggi
Peneliti dan pengajar tetap Vokasi UI Devie Rahmawati mengatakan pandemi 2020 telah melahirkan banyak inisiatif sosial dan kemanusiaan yang bersifat masif dan kolosal.
Salah satunya, kata dia, dengan kehadiran aplikasi pengelolaan relawan terintegrasi pertama di dunia, SiapBergerak, yang mampu mengelola sistem perekrutan relawan, verifikasi, plotting relawan, presensi secara realtime, hingga pelaporan aksi dalam satu aplikasi.
BACA JUGA: Meningkatkan Kualitas Kesehatan & Pendidikan di Papua, ERHA Tempuh Cara Ini
"Aplikasi yang merupakan karya anak bangsa ini, mampu menghubungkan kerelawan dan kedermawanan dalam satu wadah untuk beraksi nyata. Inilah mengapa, Soka Gakai Internasional, salah satunya di Singapura, menjadi inspirasi bagi Indonesia dalam inovasi dan inisiatif aktivitas kerelawanan skala global,” ujar Devie Rahmawati.
Devie mengaku kagum dengan aksi kemanusiaan yang konsisten dilakukan oleh SGS Singapore lebih dari 50 tahun lalu hingga hari ini, yang menyasar seluruh kalangan dari mulai anak muda, kaum rentan (anak-anak, perempuan, disabilitas, penderita penyakit) hingga warga lanjut usia.
BACA JUGA: Benny Dollo Meninggal Dunia
"Program seperti membersihkan rumah-rumah warga yang kurang mampu dengan cara mengecat ulang dan sebagainya, menemani warga lanjut usia agar terbebas dari isolasi sosial, hingga menghibur para pasien dan keluarga pasien penyakit kritis, merupakan sebagian dari beragam aktivitas yang mampu memberikan kontribusi pada kesejahteraan (well being) keluarga, komunitas dan masyarakat,” tambah Devie.
“Pandemi telah membuktikan bahwa DNA gotong royong tidak pernah hilang dari negeri ini. Pandemi yang menjadi perwujudan dari kondisi VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Amiguity), justru membuat semangat untuk mengedepankan kerja-kerja ilmiah makin kuat. Para akademisi dan juga praktisi dilibatkan aktif saat pandemi hingga pasca pandemi untuk melakukan pendalaman scientific sebelum sebuah program diterapkan," kata dia.
Tidak hanya itu, keterlibatan para profesional praktisi, menjadikan hasil studi akademik memiliki lompatan program yang berdampak nyata bukan hanya pada perubahan perilaku masyarakat, tetapi juga peningkatan taraf hidup.
"Kolaborasi pemerintah bersama akademisi dan praktisi yang optimal ini, tergambar dari program diantaranya Kampung Tangguh Jaya, Vaksinasi Merdeka, Street Race, Ada Polisi,“ kata Devie Rahmawati. (rhs/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tampang Pelaku Perkelahian di Titik Nol Yogyakarta
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti