BERKAT kegigihannya berinovasi, Jumiati, warga pesisir pantai Sumatera Utara, mampu menggerakkan perekonomian desa. Dia pun menjadi seorang di antara tujuh perempuan peraih penghargaan dari organisasi nirlaba Inggris, Oxfam, sebagai pahlawan pangan perempuan (Female Food Heroes) Indonesia 2013.
-----------
HENNY GALLA PRADANA - Jakarta
----------
Senja mulai turun di pesisir pantai Sei Nagalawan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Semilir angin mendorong ombak membentuk riak-riak kecil, membasahi butir-butir hamparan pasir putih.
Hening di desa terpencil itu terpecahkan pekik burung-burung bangau yang tengah bermain-main dengan pucuk-pucuk daun hutan mangrove yang menghampar bagai benteng panjang menghijau.
Kendati gelap mulai mengejar, Jumiati masih membenamkan tubuhnya di lumpur kental setinggi dada. Dia, bersama beberapa perempuan lain, tengah menanam bibit-bibit mangrove. Kala itu, dia tengah menuntaskan penanaman 2 ribu bibit mangrove di lahan 2 hektare. Jumiati dan para istri nelayan itu butuh waktu dua hari untuk merampungkannya.
"Kami punya tekad untuk memperbaiki hutan mangrove di sini," ungkap Jumiati mengenang awal dirinya membangun hutan mangrove di Sei Nagalawan.
Pernyataan itu dia ungkapkan ketika bertemu Jawa Pos seusai menerima penghargaan Female Food Heroes Oxfam di Jakarta, awal Maret lalu. Selain Jumiati, ada enam perempuan lain yang mendapat penghargaan yang sama.
Perempuan 32 tahun itu merupakan aktor penggerak 12 perempuan kelompok nelayan untuk penyelamatan hutan mangrove yang gundul di pesisir pantai itu pada 2002.
Bukan tanpa maksud dia mengorbankan diri bekerja setiap hari demi hutan mangrove. Jumiati dan 12 istri nelayan tersebut memercayai bahwa suatu saat hutan mangrove bisa mengangkat dan memperbaiki perekonomian warga Sei Nagalawan, desa yang kala itu masih dikategorikan miskin oleh pemerintah.
Perempuan berkerudung itu menerangkan, dahulu roda perekonomian Desa Sei Nagalawan sangat buruk. Jumiati dan keluarganya adalah salah satu yang tak terhindar dari kehidupan di garis kemiskinan.
Bahkan, dia mengaku, saat melahirkan bayi pertamanya sebelas tahun lalu, dirinya dan suami, Sutrisno, hanya memiliki duit Rp 3.000. Tak pelak, kelahiran anak sulung yang diberi nama Putri Zona Samudera itu terpaksa melalui jasa dukun.
Pascamelahirkan pun, Jumiati dan suaminya masih dilanda kegundahan karena tidak memiliki uang untuk membeli popok dan pakaian bagi bayi mereka. "Saya terpaksa mengetuk rumah tetangga dan saudara untuk meminta kain atau popok bekas," ungkapnya.
Sejak saat itu, Jumiati terpantik untuk lepas dari belenggu kemiskinan. Dia pun berpikir untuk bangkit dari kemiskinan dengan menggerakkan roda perekonomian rakyat secara masif.
Kemiskinan melanda Sei Nagalawan karena mata pencaharian warga sebagai nelayan sering terkendala cuaca buruk, ombak laut yang ganas. Jumiati pun menilai hutan mangrove yang gundul harus segera dibangkitkan. Dia memelopori gerakan tanam mangrove lewat kelompok nelayan Muara Tanjung.
"Awalnya banyak yang mencibir. Tapi, saya lanjut terus. Bahkan, sebelumnya masyarakat menganggap kami gila dan kurang kerjaan," ungkapnya.
Kini, delapan tahun kemudian, Jumiati dan ibu-ibu kelompok nelayan mampu menumbuhkan 12 hektare mangrove di pesisir pantai desa tersebut."Mangrove-mangrove itu pun menjelma menjadi hutan yang menumbuhkan kehidupan yang dulu hilang.
Sekarang, kata Jumiati, masyarakat mudah menemukan kepiting batu disela akar-akar mangrove. Ikan semilan, kerang lokan, dan berbagai binatang laut hidup di hutan mangrove tersebut.
"Melaut kini sudah tidak perlu jauh-jauh lagi. Satu mil saja sudah dapat banyak ikan," jelasnya lantas tersenyum.
Masyarakat Muara Tanjung yang awalnya memalingkan muka kini mengakui ide brilian Jumiati. Dia tak hanya membahagiakan keluarga dan warga desanya, tujuh hektare di antara keseluruhan hutan mangrove garapannya saat ini menjadi kawasan ekowisata.
"Di sekitar area yang disebut Kampung Nipah tersebut, dibangun track secara swadaya. Orang pun kini bisa menikmati keindahan mangrove tanpa harus menyeberang. Cukup dengan berjalan kaki di pinggir pantai.
Perjuangan Jumiati untuk membebaskan wilayahnya dari krisis pangan tidak berhenti di situ. Untuk mendapat penghasilan tambahan bagi keluarga, dia menggerakkan kelompok perempuan nelayan untuk mengolah mangrove jenis jeruju menjadi kerupuk dan minuman teh.
Sementara itu, buah mangrove jenis pidada diproduksi menjadi sirup. Ada juga mangrove api-api yang bisa diolah menjadi dodol serta tepung kue.
Jumiati mengaku tidak pernah terpikir untuk membuat kerupuk dari mangrove. Apalagi bagi ibu-ibu yang kebanyakan hanya lulusan SD itu. Mereka semula menganggap pohon mangrove hanya berfungsi melindungi desa dari angin kencang, terjangan ombak, serta abrasi.
Hingga 2006, Jumiati mendapat ide hasil diskusi dengan para aktivis tambang Sumatera Utara. "Saya kaget mengetahui bahwa mangrove ternyata bisa dijadikan kerupuk, sirup, dan dodol. Ini peluang untuk memberdayakan perempuan nelayan di desa kami," terangnya.
Dengan mengolah ujung daun mangrove dengan adonan tepung yang telah dibumbui, ungkap Jumiati, mangrove jeruju (Acantus ilicifolius) bisa dijadikan kerupuk. Sebelum menjadi kerupuk yang renyah, duri-duri daun jeruju harus dihilangkan. Lalu, dicuci bersih dan digiling halus bersama campuran bawang. Kendati tanpa bahan pengawet, kerupuk mangrove jeruju bisa bertahan hingga sebulan.
"Hasil kerupuk mangrove jeruju ini telah menghasilkan omzet Rp 3 juta per bulan," jelasnya.
Pada 2010, Jumiati dan kelompok nelayannya mengembangkan mangrove api-api menjadi dodol. Bahkan, tepung mangrove api-api bisa digunakan untuk campuran bahan baku kue-kue kering.
Dia menjelaskan, dodol yang diolah masih rasa mangrove asli. Inovasi dengan rasa lain masih dipertimbangkan. Jumiati tidak ingin ciri khas rasa mangrove tersebut hilang.
Tak hanya itu, dodol mangrove tidak bisa bertahan lama. Maksimal hanya sepuluh hari. Sebab, dalam pengolahan, Jumiati tidak menggunakan bahan pengawet. "Kami masih mempertahankan keaslian bahan mangrove-nya."
Kelompok nelayan perempuan bentukan Jumiati terus berkembang, baik kegiatan maupun anggotanya. Jenis olahan mangrove garapan mereka juga terus bertambah tanpa mengurangi fungsi pengendalian lingkungan. Kerupuk ikan teri, kerupuk ikan tongkol, serta teh jeruju bisa menembus pasar dan membantu perekonomian nelayan.
Bahkan, Jumiati dan kelompok nelayannya mampu mengupah tenaga kerja untuk memproduksi kerupuk mulai Rp 10 ribu per hari.
"Saya tidak menyangka, hasil jerih payah saya bersama perempuan nelayan dulu berdampak ekonomis bagi warga," ungkapnya. (*/c5/ari)
-----------
HENNY GALLA PRADANA - Jakarta
----------
Senja mulai turun di pesisir pantai Sei Nagalawan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Semilir angin mendorong ombak membentuk riak-riak kecil, membasahi butir-butir hamparan pasir putih.
Hening di desa terpencil itu terpecahkan pekik burung-burung bangau yang tengah bermain-main dengan pucuk-pucuk daun hutan mangrove yang menghampar bagai benteng panjang menghijau.
Kendati gelap mulai mengejar, Jumiati masih membenamkan tubuhnya di lumpur kental setinggi dada. Dia, bersama beberapa perempuan lain, tengah menanam bibit-bibit mangrove. Kala itu, dia tengah menuntaskan penanaman 2 ribu bibit mangrove di lahan 2 hektare. Jumiati dan para istri nelayan itu butuh waktu dua hari untuk merampungkannya.
"Kami punya tekad untuk memperbaiki hutan mangrove di sini," ungkap Jumiati mengenang awal dirinya membangun hutan mangrove di Sei Nagalawan.
Pernyataan itu dia ungkapkan ketika bertemu Jawa Pos seusai menerima penghargaan Female Food Heroes Oxfam di Jakarta, awal Maret lalu. Selain Jumiati, ada enam perempuan lain yang mendapat penghargaan yang sama.
Perempuan 32 tahun itu merupakan aktor penggerak 12 perempuan kelompok nelayan untuk penyelamatan hutan mangrove yang gundul di pesisir pantai itu pada 2002.
Bukan tanpa maksud dia mengorbankan diri bekerja setiap hari demi hutan mangrove. Jumiati dan 12 istri nelayan tersebut memercayai bahwa suatu saat hutan mangrove bisa mengangkat dan memperbaiki perekonomian warga Sei Nagalawan, desa yang kala itu masih dikategorikan miskin oleh pemerintah.
Perempuan berkerudung itu menerangkan, dahulu roda perekonomian Desa Sei Nagalawan sangat buruk. Jumiati dan keluarganya adalah salah satu yang tak terhindar dari kehidupan di garis kemiskinan.
Bahkan, dia mengaku, saat melahirkan bayi pertamanya sebelas tahun lalu, dirinya dan suami, Sutrisno, hanya memiliki duit Rp 3.000. Tak pelak, kelahiran anak sulung yang diberi nama Putri Zona Samudera itu terpaksa melalui jasa dukun.
Pascamelahirkan pun, Jumiati dan suaminya masih dilanda kegundahan karena tidak memiliki uang untuk membeli popok dan pakaian bagi bayi mereka. "Saya terpaksa mengetuk rumah tetangga dan saudara untuk meminta kain atau popok bekas," ungkapnya.
Sejak saat itu, Jumiati terpantik untuk lepas dari belenggu kemiskinan. Dia pun berpikir untuk bangkit dari kemiskinan dengan menggerakkan roda perekonomian rakyat secara masif.
Kemiskinan melanda Sei Nagalawan karena mata pencaharian warga sebagai nelayan sering terkendala cuaca buruk, ombak laut yang ganas. Jumiati pun menilai hutan mangrove yang gundul harus segera dibangkitkan. Dia memelopori gerakan tanam mangrove lewat kelompok nelayan Muara Tanjung.
"Awalnya banyak yang mencibir. Tapi, saya lanjut terus. Bahkan, sebelumnya masyarakat menganggap kami gila dan kurang kerjaan," ungkapnya.
Kini, delapan tahun kemudian, Jumiati dan ibu-ibu kelompok nelayan mampu menumbuhkan 12 hektare mangrove di pesisir pantai desa tersebut."Mangrove-mangrove itu pun menjelma menjadi hutan yang menumbuhkan kehidupan yang dulu hilang.
Sekarang, kata Jumiati, masyarakat mudah menemukan kepiting batu disela akar-akar mangrove. Ikan semilan, kerang lokan, dan berbagai binatang laut hidup di hutan mangrove tersebut.
"Melaut kini sudah tidak perlu jauh-jauh lagi. Satu mil saja sudah dapat banyak ikan," jelasnya lantas tersenyum.
Masyarakat Muara Tanjung yang awalnya memalingkan muka kini mengakui ide brilian Jumiati. Dia tak hanya membahagiakan keluarga dan warga desanya, tujuh hektare di antara keseluruhan hutan mangrove garapannya saat ini menjadi kawasan ekowisata.
"Di sekitar area yang disebut Kampung Nipah tersebut, dibangun track secara swadaya. Orang pun kini bisa menikmati keindahan mangrove tanpa harus menyeberang. Cukup dengan berjalan kaki di pinggir pantai.
Perjuangan Jumiati untuk membebaskan wilayahnya dari krisis pangan tidak berhenti di situ. Untuk mendapat penghasilan tambahan bagi keluarga, dia menggerakkan kelompok perempuan nelayan untuk mengolah mangrove jenis jeruju menjadi kerupuk dan minuman teh.
Sementara itu, buah mangrove jenis pidada diproduksi menjadi sirup. Ada juga mangrove api-api yang bisa diolah menjadi dodol serta tepung kue.
Jumiati mengaku tidak pernah terpikir untuk membuat kerupuk dari mangrove. Apalagi bagi ibu-ibu yang kebanyakan hanya lulusan SD itu. Mereka semula menganggap pohon mangrove hanya berfungsi melindungi desa dari angin kencang, terjangan ombak, serta abrasi.
Hingga 2006, Jumiati mendapat ide hasil diskusi dengan para aktivis tambang Sumatera Utara. "Saya kaget mengetahui bahwa mangrove ternyata bisa dijadikan kerupuk, sirup, dan dodol. Ini peluang untuk memberdayakan perempuan nelayan di desa kami," terangnya.
Dengan mengolah ujung daun mangrove dengan adonan tepung yang telah dibumbui, ungkap Jumiati, mangrove jeruju (Acantus ilicifolius) bisa dijadikan kerupuk. Sebelum menjadi kerupuk yang renyah, duri-duri daun jeruju harus dihilangkan. Lalu, dicuci bersih dan digiling halus bersama campuran bawang. Kendati tanpa bahan pengawet, kerupuk mangrove jeruju bisa bertahan hingga sebulan.
"Hasil kerupuk mangrove jeruju ini telah menghasilkan omzet Rp 3 juta per bulan," jelasnya.
Pada 2010, Jumiati dan kelompok nelayannya mengembangkan mangrove api-api menjadi dodol. Bahkan, tepung mangrove api-api bisa digunakan untuk campuran bahan baku kue-kue kering.
Dia menjelaskan, dodol yang diolah masih rasa mangrove asli. Inovasi dengan rasa lain masih dipertimbangkan. Jumiati tidak ingin ciri khas rasa mangrove tersebut hilang.
Tak hanya itu, dodol mangrove tidak bisa bertahan lama. Maksimal hanya sepuluh hari. Sebab, dalam pengolahan, Jumiati tidak menggunakan bahan pengawet. "Kami masih mempertahankan keaslian bahan mangrove-nya."
Kelompok nelayan perempuan bentukan Jumiati terus berkembang, baik kegiatan maupun anggotanya. Jenis olahan mangrove garapan mereka juga terus bertambah tanpa mengurangi fungsi pengendalian lingkungan. Kerupuk ikan teri, kerupuk ikan tongkol, serta teh jeruju bisa menembus pasar dan membantu perekonomian nelayan.
Bahkan, Jumiati dan kelompok nelayannya mampu mengupah tenaga kerja untuk memproduksi kerupuk mulai Rp 10 ribu per hari.
"Saya tidak menyangka, hasil jerih payah saya bersama perempuan nelayan dulu berdampak ekonomis bagi warga," ungkapnya. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Empat Bom Meledak saat Menko Hatta Rajasa Bertemu PM Irak Nouri Al-Maliky (1)
Redaktur : Tim Redaksi