Dianggap Lebih Utamakan Pemodal Ketimbang Hak Sipil

Senin, 24 September 2012 – 02:02 WIB
JAKARTA - Penolakan atas Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) dari kelompok sipil terus meluas. Tak hanya karena dinilai membahayakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi, RUU yang pernah ditolak DPR itu juga dicurigai untuk mengamankan kepentingan investor asing di Indonesia.

Karenanya sejumlah elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Forum Keamanan Nasional Indonesia (FKNI) menyerukan penolakan terhadap RUU Kamnas. Minggu (23/9), beberapa tokoh yang seperti pengamat politik Hermawan Sulistyo, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti, mantan koordinator KontraS Usman Hamid, serta pakar komunikasi politik Effendi Ghazali, berkumpul di Jakarta, Minggu (23/9) untuk menyuarakan penolakan atas RUU Kamnas.

Haris Azhar, Koordinator KontraS yang juga ikut bergabung dalam FKNI, menyatakan bahwa dalam RUU tersebut tidak memuat definisi yang jelas tentang keamanan nasional. Menurut Haris, tidak jelasnya definisi Kamnas bisa berpotensi menempatkan rakyat sebagai musuh negara karena dianggap mengancam keamanan nasional. "Ini yang berbahaya,” ucap Haris.

Dituturkannya, RUU Kamnas berpotensi menempatkan masyarakat yang dipersepsikan mengganggu pembangunan sebagai musuh negara. "Karena dengan menggunakan terminologi UU Kamnas, maka ancaman, hambatan dan gangguan terhadap pembangunan nasional itu pasti disebut sebagai ancaman keamanan nasional," sambungnua.

Karenanya Haris menuding definisi ancaman nasional itu lebih dikarenakan untuk kepentingan investor asing maupun kelompok bisnis tertentu. Haris curiga karena RUU Kamnas itu juga berbarengan dengan upaya pemerintah menggenjot realisasi Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

”Mau bukti? Silakan baca dan pelajari MP3EI. Dalam MP3EI ini eksplorasi sumber daya alam dan energi di seluruh negeri ini akan dikuras habis-habisan oleh para investor asing. Untuk mengamankan berjalan mulusnya MP3EI ini, maka dibuatlah RUU Kamnas yang ditargetkan pemerintah harus sudah disahkan sebagai undang-undang sebelum akhir tahun ini,” tuding Haris.

Ia mencontohkan pasal 20 poin (3) RUU Kamnas yang cenderung melindungi investasi asing di daerah-daerah di Indonesia. Haris menyebut perlindungan hak pengelolaan lahan tanah oleh investor asing sangat terjaga dalam pasal tersebut dengan munculnya Dewan Keamanan Nasional di tingkat kabupaten/kota yang terdiri dari unsur TNI setingkat Kodim, Polri setingkat Polres, Kejaksaan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah serya Badan Narkotika Daerah.

"Keberadaan unsur Muspida dalam pasal itu dimentahkan. Artinya bupati atau walikota dapat mencap seseorang atau sekelompok orang yang menuntut hak tanah milik sendiri sebagai pengancam kamnas karena dinilai mengggangu investasi asing itu," ucap Haris.

Tak bisa dipungkiri, ucap Haris, berbagai konflik sosial maupun konflik pertanahanseperti di Mesuji Lampung, Ogan Ilir Sumatera Selatan, maupun di NTB dan Papua telah menghambat masuknya investasi asing ke Indonesia. Akibatnya, kata Haris, pertumbuhan ekonomi yang diagung-agungkan pemerintahan Susilo Bambnag Yushoyono pun menjadi tersendeat.

Sedangkan Ray Rangkuti mengatakan, seharusnya RUU Kamnas mengutamakan hak-hak sipil. ”Mestinya keamanan itu kan untuk tiap-tiap individu. Artinya, isi RUU Kamnas harus lebih pro hak-hak sipil," ucapnya.

Pria yang pernah mengikuti seleksi calon komisioner KPU itu membandingkan RUU Kamnas dengan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang diusulkan pada 1999. Saat itu, kata Ray, penolakan atas RUU PKB sampai menelan korban jiwa. Mahasiswa Universitas Atma Jaya, Yun Hap, meninggal dunia akibat peluru aparat saat berunjuk rasa menolak RUU PKB.

"RUU PKB dan RUU Kamnas ini semangatnya nyaris sama," kata Rayu seraya menyebut pasal 17 dan pasal 54 dalam RUU Kamnas yang sangat membuka kembalinya militer dalam mencampuri persoalan sosial kemasyarakatan.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Seorang Teroris Tertangkap di Kalbar

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler