Dibilang Terlalu Proteksionis, Dijawab ’’Tidak’'

Sabtu, 06 Oktober 2012 – 11:01 WIB

Sedikitnya 500 peserta seminar di Grand City Mall, Gubeng, Surabaya kemarin dibuat senyap. Ketika Menko Perekonomian Hatta Rajasa memaparkan pemikirannya tentang konsep baru pembanguan Sumber Daya Alam untuk Rakyat. Dia sebut, ini adalah irisan antara pemikiran dirinya sebagai Menko dan sebagai personal, pria kelahiran Palembang, 18 Desember 1953.

jpnn.com - Hatta yang pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara (2007-2009), Menteri Perhubungan (2004-2007), dan Menteri Negara Riset dan Teknologi(2001-2004) itu sangat tertarik dengan tema ini. “Optimalisasi Pengelolaan SDA untuk Kemajuan Daerah dan Pembangunan Berkelanjutan” adalah tema yang matching dengan desain MP3EI 2011-2025 –Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia--- yang dia gagas dan diluncurkan sejak 27 Mei 2011 itu.

Kebetulan, Hatta adalah ketua harian MP3EI yang mengembangkan potensi negeri ini ke dalam 6 koridor. Karena itu, di tengah kesibukannya sebagai menko, di akhir pekan ini,  dia niatkan untuk hadir berseminar bersama stakeholder pelaku otonomi daerah di Jawa Timur itu. “Ada 6 pertanyaan kritis yang membuat saya gelisah soal pembangunan Sumber Daya Alam ini,” ungkap Hatta mengawali diskusi yang dikemas dalam talk show itu.

Pertama, kata Hatta, apakah kita sudah mengelola SDA secara berkesinambungan? Sudah menggunakan pendekatan sustainable? “Banyak orang berteori, energi tak terbaharui (Non Renewable Resources) itu akan habis! Ya, saya setuju. Tetapi itu bisa diperkirakan, bisa dihitung, dan model manajemennya bisa memilih cara-cara yang memegang prinsip sustainabilitas,” kata dia.

Pertanyaan kritis kedua, lanjut Hatta, apakah pengelolaan SDA saat ini sudah berkeadilan? “Sub kritis kata keadilan itu, apakah peran Pemda sudah cukup memadahi? Baik dalam aspek manajemen, regulasi maupun aspek lingkungan hidup? Kalau saya harus menjawab, kita masih belum mencapai kedua hal di atas. Belum berkeadilan, juga belum berkesinambungan!” ungkap Hatta. 

Pertanyaan kritis ketiga, lanjut Hatta, adalah di mana peran masyarakat? Dapat apa mereka? Seberapa besar mereka terakses kepada sumber-sumber kekayaan negara. “Baik terhadap kekayaan alam berupa tanah, sumber daya alam terbaharukan, sumber daya alam tak terbaharukan?” tanya Hatta.

Lalu, di mana penerimaan negara? Seberapa besar bagian negara? Bagaimana cara menghitung royalti? Atau bagi hasil? Lalu seberapa besar peran daerah? Seberapa dahsyat daya ungkit pembangan ekonomi daerah? Seberapa signifikan, dampak terhadap daerah, menjadi bagian dari pusat pertumbuhan?  

“Terus, apakah sudah benar cara kita memberikan hak kelola SDA kepada orang-orang tertentu atau kelompok-kelompok tertentu? Apakah mereka sudah mengelola secara bertanggung jawab? Itulah hal-hal penting yang harus dipikirkan secara matang,” tegas Ketua Umum DPP PAN 2010-2015 ini.

Insinyur Fakultas Teknik Perminyakan, Angkatan 1973, Institut Teknologi Bandung (ITB) ini betul-betul gelisah akan pertanyaan-pertanyaan kritis di atas. Dia menyebut, harus ada cara baru, tatanan baru, mekanisme baru dan penataan baru atas pengelolaan SDA di negeri ini. Dan itu, harus menggunakan prinsip-prinsip keadilan dan berkesinambungan. Itu segaris dengan Millennium Development Goals (MDGs) yang sudah dideklarasi sejak 2000 dan sudah terimplementasi 2015.

Kalau ditanya, apakah saat ini sudah adil? Jawabanya tegas: belum. Apakah sudah sustain? Jawabannya pun sama tegasnya: belum. “Karena itu, konsep yang ada sekarang tidak bisa diteruskan, tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena menyisakan kerusakan lingkungan yang maha dahsyat, ada kelompok yang tidak bertanggung jawab, dan melepaskan impact ketergantungan daerah pada program jangka pendek, dan mengabaikan kepentingan jangka panjang,” ungkap Hatta.

Konsepnya? “Pendapatan SDA tak terbaharui, harus bisa dikembalikan sebesar-besarnya untuk rakyat, yang memungkinkan mereka mengembangkan ekonominya secara renewable resources. Ini prinsip, karena menyangkut distribusi kekayaan dari Non Renewable Resources. Namanya, SDA untuk rakyat. Ini penting, dan perlu terus disosialisasi. Karena itulah, saya hadir di acara ini,” ungkapnya.

“Jadi kalau dunia internasional menyebut di Wall Street Journal: Hatta terlalu nasionalisme, terlalu proteksionisme. Tidak! Saya katakan, ini tidak adil. Tidak transparan. Tidak akuntabel. Dari sinilah, Menko Perekonomian melakukan renegosiasi terhadap seluruh kontrak-kontrak karya Sumber Daya Alam yang sudah berjalan. Tidak bisa tidak. Harus dilakukan sekarang,” lanjut Hatta.

Misalnya? “Jangan ada orang mengelola 100 ribu hektare! Yang baru akan menggarap lahannya 30-40 tahun yang akan datang? Apa untungnya bagi pemda, rakyat, pemerintah? Perusahaan multinasional itu, cukup meletakkan aset itu di neraca, lalu IPO, memiliki cadangan ribuan ton mineral, dan harga saham akan naik. Ini yang sedang kami tertibkan, kami kritisi, dan kami otak-atik,” ungkap dia.

Hatta yakin, sikap kritis yang sedang dia lakukan ini pasti akan ditentang. “Tapi kami ingin adil. Royalti 1 persen misalnya, itu jelas tidak adil. Itu harus renegosiasi. Maksimum penguasaan lahan juga 25 ribu hektare. Sumber daya mineral juga tidak boleh hanya dikeruk, dinaikkan truk, dipasirkan, dimasukkan tongkang, dikapalkan, diekspor. Itu harus ditertibkan. Semua harus mengikuti konsep hilirisasi, diolah, dikelola dengan smelter di Indonesia. Agar kita punya value added, masyarakat berperan, penerimaan negara jelas, engineer bergerak, bukan hanya kuli bangunan yang dimanfaatkan,’’ ungkap dia. (bersambung/dk)

 
BACA ARTIKEL LAINNYA... Program Pro Rakyat PAN Dongkrak Hatta

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler