Diburu Klub NBA, Postur dan Bakat jadi Modal Utama

Senin, 11 Februari 2013 – 12:30 WIB
POTENSIAL: Anak-anak Sudan sedang bermain dengan bintang NBA Luol Deng. FOTO: Ist
BASKET di benua Afrika terus menggeliat. Dipandang sebagai salah satu kontinen penghasil bakat-bakat hebat, Afrika siap menjadi kekuatan baru dunia. Klub-klub NBA pun berlomba-lomba mencari bakat dari Afrika.

Semua berawal pada tahun 1950an ketika tiga pemain asal Afrika mengentak dunia basket Amerika. Tiga orang itu, Chuck Cooper, Nat Clifton serta Earl Lloyd menjadi bagian dari NBA sebagai kompetisi basket paling wah di dunia. Cooper menjadi pemain pertama yang dimasukkan draft NBA. Clifton adalah pemain pertama yang menanda tangani kontrak dengan New York Knicks. Sementara Lloyd adalah pemain Afrika pertama yang bermain di NBA dengan berbaju Washington Capitols.

Kedatangan tiga pemain tersebut seolah menjadi pintu gerbang bagi pemuda-pemuda Afrika untuk memasuki NBA. Musim demi musim, kian banyak pemain asli ataupun keturunan Afrika yang berjibaku di NBA. Saat ini, hampir 80 persen pemain NBA memiliki darah Afrika.

Kekuatan serta postur yang menjulang menjadi modal bagi para pemuda Afrika untuk mewujudkan mimpi berbaju klub NBA. Beberapa suku di Sudan dan Senegal memiliki postur rata-rata pemain yang bertanding di NBA. Sementara, pemuda-pemuda dari Mali, Kongo serta Nigeria mempunyai badan yang sangat besar dan kokoh. Hal itulah yang membuat banyak klub-klub NBA mencari bakat di Afrika.

“Saya tumbuh di Afrika. Saya bermain di Afrika. Karena itu, saya tahu bagaimana besarnya bakat para pemain di Afrika,” ujar Masai Ujiri, general manager Denver
Nuggets seperti dikutip CNN.

Namun, postur memadai tentu bukan jaminan para pemuda itu bisa menjadi pemain hebat. Pasalnya, sejak kecil, mayoritas dari mereka menggeluti sepakbola. Bagi Ujiri, hal itu tentu sangat disayangkan karena membuat para talenta tersebut seperti kehilangan insting. Para remaja itu baru bermain basket ketika menginjak usia 13 tahun.

“Ini membuat mereka harus bekerja lebih keras untuk membentuk skill dan habit yang seharusnya bisa diciptakan dalam usia yang lebih muda,” tambah Ujiri. Meski begitu, para pemandu bakat tak patah arang. Mereka merangkul banyak pihak untuk mengadakan berbagai program guna mencari bakat terbaik sejak dini. Perusahaan- perusahaan yang berhasil digandeng akhirnya bersedia membantu. Di antaranya ialah membangun sarana dan prasarana yang layak.

Anak-anak kecil yang mendapatkan berbagai bantuan itu tentu girang bukan kepalang. Bagi mereka, bermain basket tentu bisa menjadi sarana melepaskan kepenatan akibat berbagai kesumpekan hidup di mayoritas Negara Afrika.

“Para pemain Afrika memiliki kesadaran tinggi. Tidak usah banyak mememrintah mereka untuk bekerja karena mereka sudah bekerja dengan sendirinya. Keatletisan mereka susah dipercaya. Mungkin sekitar 85-90 persen dari mereka memiliki keatletisan itu,” ujar Dikembe Mutombo mantan bintang Nuggets.

Perkembangan demi perkembangan pun ditunjukkan negara-negara di Afrika. Selain kian banyaknya pemain Afrika asli yang bermain di NBA, kompetisi di Afrika juga kian ketat. Indikasinya ialah lolosnya Nigeria dan Tunisia ke Olimpiade 2012 lalu. Itu merupakan sejarah sejak basket era professional pada 1992 silam. (jos/mas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Barca Semakin Melejit

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler