TIMIKA - Pasca runtuhnya sebagian terowongan Big Gossan tepatnya di areal tambang bawah tanah PT Freeport Indonesia di Mile 74, Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, hingga kini belum diketahui secara jelas penyebabnya. Namun menurut analisa awal secara alamiah, sebagian terowongan tersebut diduga runtuh karena melemahnya bebatuan yang berada pada titik reruntuhan.
Hal itu disampaikan Vice President (VP) Geo Services PT Freeport Indonesia, Wahyu Sunyoto kepada sejumlah wartawan di Tembagapura, Senin (20/5).
Secara ilmiah, kata Wahyu, ambruknya material yang sebagian besar adalah bebatuan alamiah dan tanah itu mengindikasikan hilangnya daya dukung atau kohesifitas batuan itu disebabkan oleh air permukaan dan udara yang meresap melalui proses kimiawi atau oksidasi di sepanjang rekahan atau patahan. Akibatnya, kekuatan batuan menjadi lemah dan menyebabkan terjadi runtuh.
“Struktur penyanggahan (Groud Support), seperti split set dan chain link messh terlihat telah mengalami korosi karena pengaruh air dan udara yang ada di sekitarnya,” terangnya.
Dijelaskan, air hujan sifatnya sedikit asam dengan PH sekitar 5. Jika air hujan meresap dan melewati batu gamping yang menetralisir asam, maka terjadi rekahan dan pelapukan kimiawi, sehingga bebatuan dan material yang tadinya kuat menjadi lemah.
Dijelaskan Wahyu, sesuai dengan keterangan korban yang selamat, dua menit sebelum terjadi reruntuhan, ada seperti pergerakan tikus di atas atap kelas tempat korban melakukan pelatihan. “Tapi saya sebagai orang geologi melihat itu adalah pergerakan atap dari rekahan di atas terowongan,” kata Wahyu.
Kata Wahyu, reruntuhan terjadi bukan karena adanya aktivitas tambang, karena kenyataan yang terdapat di lapangan, lokasi reruntuhan berada pada titik sekitar 500 meter dari lokasi aktif produksi Big Gossan, areal tambang bawah tanah, 1700 meter dari kawasan DOZ, 1900-2000 meter dari DMLZ dan sekitar 2700 meter dari tambang Grasberg.
Dijelaskan, terowongan tersebut dibuka pada tahun 1998 dan berada di bawah sekitar 500 meter dari permukaan bumi, serta 250 meter dari pintu masuk underground.
Sebelum reruntuhan terjadi, kata Wahyu yang saat itu didampingi VP Occupational Healt and Safety PTFI Solihin, mengatakan, di areal reruntuhan sebelumnya terjadi aktivitas seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda akan terjadi reruntuhan. Dimana di lokasi tersebut terdapat 18 ruangan, sementara reruntuhan hanya terjadi pada kelas nomor 11 yang dijadikan para korban sebagai tempat pelatihan.
Sementara itu sebanyak lima korban hingga Senin siang (20/5) masih mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit Tembagapura. Kelimanya mengaku masih trauma dengan insiden tersebut.
Leonardus, misalnya. Pria yang baru bekerja di PT Jasti Pravita ini mengaku saat ini masih sangat trauma, karena reruntuhan terjadi secara tiba-tiba. Saat kejadian, Leonardus dan puluhan korban lainnya sedang melakukan persiapan untuk mengikuti training.
“Saat kejadian kami sedang absen,” ujarnya.
Leonardus mengatakan, ia dan beberapa rekannya lolos dari reruntuhan karena saat itu duduk di pinggir tembok dan dekat pintu. “Waktu itu saya duduk di dekat pintu, jadi hanya kena lecet-lecet,” jelasnya.
Senada dengan Leonardus, korban lainnya Keny dan Andreas yang mengalami luka bengkak di bagian kaki, juga mengaku saat kejadian keduanya duduk di dekat tembok, sementara teman-temannya yang tertimbun, duduk di bagian tengah.
Andreas yang saat diwawancarai Radar Timika menunjukan denah posisi duduk ia dan rekan-rekannya mengatakan, insiden itu terjadi secara tiba-tiba, sehingga teman-temannya banyak yang tidak bisa menyelamatkan diri. “Kaki saya yang kena, jadi bengkak,” tutur Andreas yang sampai sekarang belum bisa mendengar suara keras. Leonardus, Andreas dan Keny mengatakan, ketiganya berhasil dievakuasi Tim Penyelamat sehari setelah kejadian. (lrk/rex)
Hal itu disampaikan Vice President (VP) Geo Services PT Freeport Indonesia, Wahyu Sunyoto kepada sejumlah wartawan di Tembagapura, Senin (20/5).
Secara ilmiah, kata Wahyu, ambruknya material yang sebagian besar adalah bebatuan alamiah dan tanah itu mengindikasikan hilangnya daya dukung atau kohesifitas batuan itu disebabkan oleh air permukaan dan udara yang meresap melalui proses kimiawi atau oksidasi di sepanjang rekahan atau patahan. Akibatnya, kekuatan batuan menjadi lemah dan menyebabkan terjadi runtuh.
“Struktur penyanggahan (Groud Support), seperti split set dan chain link messh terlihat telah mengalami korosi karena pengaruh air dan udara yang ada di sekitarnya,” terangnya.
Dijelaskan, air hujan sifatnya sedikit asam dengan PH sekitar 5. Jika air hujan meresap dan melewati batu gamping yang menetralisir asam, maka terjadi rekahan dan pelapukan kimiawi, sehingga bebatuan dan material yang tadinya kuat menjadi lemah.
Dijelaskan Wahyu, sesuai dengan keterangan korban yang selamat, dua menit sebelum terjadi reruntuhan, ada seperti pergerakan tikus di atas atap kelas tempat korban melakukan pelatihan. “Tapi saya sebagai orang geologi melihat itu adalah pergerakan atap dari rekahan di atas terowongan,” kata Wahyu.
Kata Wahyu, reruntuhan terjadi bukan karena adanya aktivitas tambang, karena kenyataan yang terdapat di lapangan, lokasi reruntuhan berada pada titik sekitar 500 meter dari lokasi aktif produksi Big Gossan, areal tambang bawah tanah, 1700 meter dari kawasan DOZ, 1900-2000 meter dari DMLZ dan sekitar 2700 meter dari tambang Grasberg.
Dijelaskan, terowongan tersebut dibuka pada tahun 1998 dan berada di bawah sekitar 500 meter dari permukaan bumi, serta 250 meter dari pintu masuk underground.
Sebelum reruntuhan terjadi, kata Wahyu yang saat itu didampingi VP Occupational Healt and Safety PTFI Solihin, mengatakan, di areal reruntuhan sebelumnya terjadi aktivitas seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda akan terjadi reruntuhan. Dimana di lokasi tersebut terdapat 18 ruangan, sementara reruntuhan hanya terjadi pada kelas nomor 11 yang dijadikan para korban sebagai tempat pelatihan.
Sementara itu sebanyak lima korban hingga Senin siang (20/5) masih mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit Tembagapura. Kelimanya mengaku masih trauma dengan insiden tersebut.
Leonardus, misalnya. Pria yang baru bekerja di PT Jasti Pravita ini mengaku saat ini masih sangat trauma, karena reruntuhan terjadi secara tiba-tiba. Saat kejadian, Leonardus dan puluhan korban lainnya sedang melakukan persiapan untuk mengikuti training.
“Saat kejadian kami sedang absen,” ujarnya.
Leonardus mengatakan, ia dan beberapa rekannya lolos dari reruntuhan karena saat itu duduk di pinggir tembok dan dekat pintu. “Waktu itu saya duduk di dekat pintu, jadi hanya kena lecet-lecet,” jelasnya.
Senada dengan Leonardus, korban lainnya Keny dan Andreas yang mengalami luka bengkak di bagian kaki, juga mengaku saat kejadian keduanya duduk di dekat tembok, sementara teman-temannya yang tertimbun, duduk di bagian tengah.
Andreas yang saat diwawancarai Radar Timika menunjukan denah posisi duduk ia dan rekan-rekannya mengatakan, insiden itu terjadi secara tiba-tiba, sehingga teman-temannya banyak yang tidak bisa menyelamatkan diri. “Kaki saya yang kena, jadi bengkak,” tutur Andreas yang sampai sekarang belum bisa mendengar suara keras. Leonardus, Andreas dan Keny mengatakan, ketiganya berhasil dievakuasi Tim Penyelamat sehari setelah kejadian. (lrk/rex)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pelajar Kesurupan Massal
Redaktur : Tim Redaksi