Dijuluki Bandung Bondowoso setelah Rampungkan Museum Polri

Sabtu, 01 Juni 2013 – 12:44 WIB
Foto: Jawa Pos
Nama Erwien Kusuma sebagai ahli museum di Indonesia makin berkibar. Salah satu garapannya yang fenomenal adalah Museum Polri di Jakarta. Dia mampu merampungkannya dalam waktu empat bulan.
 
=======================
GUNAWAN SUTANTO, Jakarta
=======================
 
Berbicara dengan Erwien Kusuma perihal sejarah, kita seakan sedang membaca Wikipedia. Wawasannya begitu luas. Dia juga pandai menceritakan hal-hal masa lampau dan mengaitkannya dengan kondisi saat ini.

Saat bertemu koran ini di sebuah kedai kopi di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, Selasa malam (28/5), Erwien banyak bercerita soal pengalamannya terlibat dan bahkan menjadi pemimpin proyek (pimpro) pembangunan sejumlah museum di Indonesia. Salah satunya, Museum Bank Indonesia. Selama kurun lima tahun, Erwien menjadi bagian dari pembuatan museum perbankan terbesar di Indonesia itu. Dia masuk Unit Khusus Museum Bank Indonesia (UKMBI), suatu organisasi ad hoc dalam organisasi Bank Indonesia yang bertugas membangun museum.

Selama lima tahun itu, berbagai jabatan disandang Erwien. Mulai asisten peneliti sejarah hingga analis program publik. "Pengalaman di BI itu luar biasa. Sebab, saya baru lulus kuliah mendapatkan tantangan yang begitu besar. Selain itu, pekerjaan tersebut membuat saya belajar banyak hal baru, yakni keuangan dan ekonomi," terang pria kelahiran Surabaya, 11 Maret 1978, itu.

Menurut dia, sebagai peneliti sejarah, dirinya harus belajar tentang mekanisme perbankan dari masa ke masa untuk menggarap proyek BI tersebut. Hal itu dilakukan agar bisa mencari visualisasi yang menarik dari barang-barang atau cerita sejarah yang akan ditampilkan dalam museum.

Sekitar dua tahun setelah UKMBI dibentuk, Erwien dan tim berhasil mewujudkan Museum Bank Indonesia tahap I yang menempati gedung De Javasche Bank di Jakarta Kota, sedangkan tahap II kelar pada 2009.

"Tapi, belum sampai Museum BI diresmikan pada Maret 2009, saya mundur. Saya dapat job baru," kenangnya lantas terkekeh.
 
Job baru itu, menurut Erwien, tidak kalah seru. Dia diminta secara khusus oleh Kapolri saat itu, Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD), untuk membuat Museum Polri.
 
Erwien mengaku tugas itu sangat istimewa. Sebab, dirinya langsung dipanggil BHD di ruangannya untuk diajak berdiskusi terkait dengan rancangan Museum Polri. Tantangan yang dihadapi kala itu, dia harus menyelesaikan museum tersebut hanya dalam waktu empat bulan. BHD ingin museum itu selesai pada 1 Juli untuk menandai Hari Bhayangkara.
 
"Dengan agak nekat, saya menyetujui tantangan itu. Kemudian, Pak BHD dengan guyon sempat bilang, kalau dalam waktu empat bulan tidak jadi, kamu yang saya jadikan patung dan dipajang di museum," ungkap alumnus Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, tersebut.
 
Untuk mewujudkan proyek prestisius itu, Erwien meminta kepada BHD agar tidak dibatasi dalam membentuk tim. Dia juga meminta adanya unsur kepolisian yang terlibat dalam proyek tersebut. Lantas, ditunjuklah Kombespol A.A. Maparessa (kini brigjenpol) sebagai koordinator tim. Maparessa ditugasi Polri untuk membantu Erwien karena mantan Kapolwil Banyumas itu adalah sosok yang luwes. Maparessa-lah yang bisa menuruti kemauan Erwien yang nyeleneh-nyeleneh.
 
Sama halnya ketika mengerjakan Museum BI, saat menggarap Musem Polri, Erwien mendapat banyak pengalaman yang tidak terlupakan. Misalnya, dia meminta tim kepolisian mencari barang-barang yang berkaitan dengan peristiwa bom Bali serta penembakan dedengkot teroris Dr Azhari di Batu, Jatim.
 
"Ketika itu, polisi-polisi yang ikut dalam tim sempat bilang, ini proyek gila. Mereka mempertanyakan buat apa barang-barang seperti itu dipajang di museum," ujar Erwien.
 
Tim sempat sulit mencari barang-barang yang terkait dengan bom Bali dan penembakan Dr Azhari. Namun, akhirnya bukti-bukti sejarah yang dibutuhkan Erwien bisa ditemukan.
 
"Saat barang-barang itu nyampe ke tim sejarah yang saya pimpin, saya sempat merinding. Apalagi ketika membersihkan kacamata yang dipakai Dr Azhari," tuturnya.
 
Saat bekerja di tim itulah Erwien mengaku memiliki kewenangan tak ubahnya pimpinan Polri. Bahkan, dia bisa meminta secara langsung segala hal yang dibutuhkan terkait dengan kebutuhan museum kepada pimpinan polda maupun polres di Indonesia.
 
"Setiap tim saya ada kesulitan untuk mengambil atau mencari barang di daerah tertentu, saya selalu sampaikan ke petinggi Polri. Tidak lama setelah itu, keluar TR (telegram rahasia)," kata Erwien lantas menyeruput milk shake yang dipesan.
 
Begitu TR berisi perintah Kapolri itu turun, pejabat kepolisian di daerah harus melaksanakan. Dengan tim yang gemuk hingga 150 orang, Erwien akhirnya bisa menyelesaikan museum sejarah Polri tersebut tepat pada 1 Juli 2009. Museum itu diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menandai Hari Bhayangkara.
 
Dalam sambutan peresmian, Kapolri BHD menyebut tim pembuat museum itu bagai Bandung Bondowoso, pangeran yang ditantang untuk membuat 1.000 candi dalam semalam sebagai syarat untuk mempersunting Rara Jonggrang, putri raja.
 
Dengan berdirinya museum itu, otomatis Mabes Polri kini punya satu unit baru, yakni Pusat Sejarah Polri (Pusjarah), yang antara lain membawahkan Museum Polri. BDH menunjuk Brigen A.A. Maparessa sebagai kepala Pusjarah. "Sebelumnya, Pak Maparessa tentu tidak mengira bahwa jenderalnya yang ditunggu selama ini turun melalui kerja bersama mewujudkan museum tersebut," papar alumnus Ponpes Modern Gontor itu.
 
Selain Museum BI dan Polri, Erwien terlibat dalam proyek supervisi serta konsep kurasi Museum Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya. April 2011, dia terlibat dalam konservasi Benteng Oengaran, Ungaran, Kabupaten Semarang.
 
Pada tahun yang sama, dia diminta mengembangkan konsep revitalisasi Museum Bahari di Jakarta. Dalam pembicaraannya dengan koran ini, Erwien menyatakan ada sejumlah proyek yang kini masih dalam tahap pengerjaan. Namun, dia meminta tidak dikorankan. Salah satu proyek tersebut adalah museum tokoh besar asal Jawa Timur.
 
Menurut Erwien, selama ini museum di Indonesia terkesan monoton. "Kesannya hanya memajang benda-benda kuno. Padahal, museum itu kan bagaimana narasi sejarah bisa hidup, sehingga yang melihat bisa merasakan menjadi bagian dari sejarah tersebut," papar pria yang telah menerbitkan 10 buku itu.
 
Salah satu yang tidak luput dari kritiknya adalah kurangnya pengemasan museum yang menggambarkan perjuangan kemerdekaan di Surabaya. Menurut Erwien, sebenarnya Surabaya merupakan pusat sejarah kemerdekaan Indonesia. Sebab, mayoritas tokoh besar Indonesia pernah ditempa di Surabaya.
 
"Surabaya itu tempat ditempanya tokoh-tokoh nasional, baik dari PKI, sosialis, maupun nasionalis," ungkapnya.
 
Dia lantas mengkritisi alasan museum perjuangan selama ini tidak mengangkat kehidupan sosial masyarakat Surabaya. Padahal, di Kota Pahlawan itu terdapat komunitas Yahudi hingga Ahmadiah yang bertahun-tahun hidup berdampingan dengan damai.
 
"Kalau hal semacam itu digambarkan dalam narasi yang hidup, keberadaan museum akan lebih menarik. Tapi, jangankan dimasukkan dalam museum, saya dengar sinagoge (tempat bersembahyang kalangan Yahudi, Red) yang di Kayoon (Surabaya) itu malah dihancurkan," ujarnya menyesalkan.
 
Arek asli Tembok Sayuran, Bubutan, Surabaya, itu mengapresiasi pengelolaan Museum Kesehatan di Jalan Indrapura dan House of Sampoerna di Surabaya. Menurut dia, dua museum itu layak disebut museum modern dan sangat layak menjadi destinasi wisata internasional.
 
"Idealnya museum itu seperti Museum Kesehatan dan House of Sampoerna itu. Atraktif dan modern. Orang kerasan menyaksikan peninggalan sejarah tersebut," tegasnya. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sempat Pesan Ingin Dimakamkan di Dekat sang Kakek

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler