PADANG--Sejak pertengahan Desember tahun lalu, ratusan petani di Kabupaten Kepulauan Mentawai mulai menganggur. Petani yang menggantungkan hidupnya kepada hasil hutan itu, mengalami penurunan penghasilan setelah pemerintah memberlakukan kembali larangan ekspor rotan. Padahal rotan adalah komoditi yang mudah didapatkan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Akibat larangan yang mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 35 Tahun 2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produksi Rotan dan Permendag Nomor 36 Tahun 2011 tentang Pengangkutan Rotan Antar Pulau itu menyebabkan terjadi penurunan harga rotan. Belum lagi prosedur angkutan yang dinilai menyulitkan petani rotan, menyebabkan harga komoditi ini jatuh di tataran petani.
“Kondisi itu membuat sebagian besar petani rotan di Mentawai, dan daerah lain di Indonesia kehilangan pekerjaannya, karena tidak adanya kepastian harga,” kata Sekretaris Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Sumbar, Djaswir Loewis kepada Padang Ekspres (Group JPNN).
Padahal katanya, sekitar 60 persen masyarakat Kepulauan Mentawai masih menggantungkan hidup pada komoditi rotan yang tersedia di hutan. Alasan pemerintah untuk menumbuhkan industri mebel dalam negeri dinilai tidak pro petani. Sebab, kewajiban memasok bahan baku rotan tidak diiringi dengan kewajiban industri mebel membeli bahan baku rotan dengan harga layak kepada petani.
Sehingga kemudian yang terjadi adalah monopoli harga, karena produksi rotan dalam negeri tidak mampu ditampung oleh industri yang ada. Djaswir menyebut, Indonesia memiliki sekitar 300 jenis rotan yang tersebar di seantero produksi utama (Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi). Namun faktanya, hanya sekitar 10 jenis rotan yang dipakai di industri mebel dalam negeri.
Keterserapannya pun hanya berkisar 15-20 persen dari keseluruhan produksi rotan Indonesia. “Nah, logika itu yang kita tidak mengerti. Mau dikemanakan produk mentah rotan yang tersisa itu kalau tidak untuk ekspor,” tanyanya.
Dia menyebut potensi ekspor rotan Indonesia tergolong besar, mengingat tingginya permintaan negara maju untuk bahan baku rotan. “Kalau pasar ini kita tutup, negara penghasil rotan lainnya seperti Myanmar, Kamboja dan Vietnam lah yang akan menikmati pasar yang sudah kita ciptakan,” kata Komisaris Daerah Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia itu.
Djaswir meminta pemprov mempertanyakan kebijakan tersebut. Apalagi selain Mentawai, meski dalam jumlah kecil Kabupaten Sijunjung, Pasaman Barat, Solok Selatan dan daerah lainnya juga masih menggantungkan hidup pada komoditi yang satu ini.
Pemerintah katanya, perlu mengkaji ulang kebijakan tersebut. Apalagi di tengah lemahnya pengawasan pemerintah dan rendahnya ketegasan aparat pemerintah di tataran operasional, sudah dipastikan rentan menimbulkan penyimpangan. (mg8)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Esemka Bukan Mobil Odong-Odong
Redaktur : Tim Redaksi