“Kalau saya dilarang membuka praktik, sama saja mematikan pangan saya dan mematikan perekonomian saya. Saya tidak ada pekerjaan lain lagi selain membuka praktik tukang gigi,” kata Husni Nafari (50), salah seorang tukang gigi yang membuka praktik di jalan Buntok, Sampit.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1871/Menkes/ Per/IX/2011 tentang Pencabutan Peraturan menteri Kesehatan Nomor 339/Menkes/Per/v/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi/Ahli Gigi yang intinya adalah Tukang Gigi/ Ahli Gigi tidak bisa berpraktek lagi.
Permenkes pencabutan aturan tentang tukang gigi itu ditandatangani awal September 2011, dan baru diberlakukan enam bulan kemudian atau jatuh pada 6 Maret 2012. Peraturan tahun 1989 yang dicabut diantaranya memuat ketentuan bahwa kewenangan tukang gigi adalah membuat gigi tiruan (palsu) dari bahan akrilik dan memasangnya. Namun, kabarnya kebijakan itu baru diberlakukan April mendatang.
Husni mengaku belum mengetahui adanya larangan membuka praktik tersebut. Dia menuturkan, keahlian tukang gigi yang didapatnya memang di luar pengetahuan ilmu medis, namun diperoleh secara turum temurun dari kakeknya. Dia menjalankan usaha itu sudah puluhan tahun, tepatnya sejak 1978 silam.
Menurutnya, peralatan praktiknya dibeli dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel) termasuk gigi palsu untuk pasien. Sekali pasang gigi palsu, setiap pasien dikenakan tarif maksimal Rp 150 ribu per gigi. Dalam sebulan, sedikitnya ada tiga orang pasien yang meminta pasang gigi palsu. Rata-rata memasang lebih dari satu gigi.
Husni menuturkan, masyarakat biasanya lebih memilih datang ke tukang gigi untuk memasang gigi palsu karena pelayanan yang cepat dibanding jika ke dokter gigi. Selama menjalani profesinya, Husni mengaku telah dikenal luas hingga ke luar daerah dan tidak jarang diminta datang ke tempat pasien untuk melakukan pemasangan gigi palsu
“Selama saya membuka praktik juga tidak pernah ada keluhan dari pasien saya. Apalagi yang saya tangani tidak ada hubungannya dengan mencabut atau membersihkan gigi, saya hanya memasang gigi palsu dan hanya sistem tempel, tidak ada resikonya,” jelasnya.
Dalam membuka usaha itu, ungkap Husni, dia memang tidak memiliki izin. Di Kotim juga tidak ada perkumpulan atau asosiasi tukang gigi. Dia berusaha secara mandiri tanpa ada pembinaan dari pemerintah daerah atau lembaga yang berwenang.
“Saya buka praktek ini memang tak ada izin, langsung buka saja, soalnya saya merasa tidak menyulitkan orang, dan niat saya hanya ingin menolong orang saja. Orang yang sebelumnya merasa tidak enak (karena tak ada gigi) bisa enak, yang tidak cantik bisa jadi cantik,” tuturnya.
Husni menegaskan, selama praktik, dia tidak pernah melayani pasien yang meminta untuk dilakukan pencabutan atau pembersihan karang gigi. Dia tidak berani melakukan hal itu karena khawatir bakal beresiko. Dia menyarankan kepada pasiennya mendatangi dokter gigi apabila ingin mencabut.
Husni mengaku siap mengikuti aturan tersebut apabila memang pemerintah memaksa mereka melarang praktik. “Kalau dalam keadaan terpaksa, saya ikuti, tetapi, itu sama saja menutup pangan saya,” tegasnya.
Dinkes Belum Tahu
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Kotim Yuendri justru belum mengetahui ada larangan membuka praktik bagi tukang gigi. “Saya lihat dulu aturannya, mungkin terselip atau belum sampai ke saya,” katanya seraya bertanya kepada Radar Sampit, kapan aturan itu mulai diberlakukan.
Ketika ditanya apakah Dinkes siap melakukan penertiban terhadap para tukang gigi, Yuendri mengaku belum bisa mengambil kebijakan apapun sebelum mempelajari aturan tersebut. Namun, dia memastikan apabila memang pemerintah tegas menertibkan, pihaknya akan berupaya membina tukang gigi yang ada di Kotim.
“Saya saya pelajari dulu aturannya karena itu berkaitan dengan mata pencaharian orang. Namun, biasanya akan ada jangka waktu apabila (tukang gigi) memang dilarang, jadi ada kesempatan bagi mereka untuk mencari usaha baru,” tandasnya. (ign)
BACA ARTIKEL LAINNYA... MUI: Anak Hasil Zinah Tak Berhak Menuntut Ayahnya
Redaktur : Tim Redaksi