Menurut Humas LPSK, Maharani Siti Sopia, keputusan pemberian perlindungan tersebut diambil LPSK karena beberapa pertimbangan, salah satunya Tony Wong dianggap bena-benar menjadi justice colaborator dalam perkara ilegal loging di Ketapang.
"Kami sudah mengirimkan rekomendasi itu kepada Kejagung dan Kejari Ketapang. LPSK merekomendasikannya sebagai justice collaborator. Karena itu, Kejaksaan Agung harus memberikan perlindungan sesuai dengan hak-haknya sebagai seorang whistle blower," kata Maharani kepada wartawan di Jakarta, Kamis (26/4).
Maharani juga menyebutkan bahwa dengan rekomendasi dari LPSK itu, maka Tony Wong juga berhak mendapatkan kemudahan remisi dan Pembebasan Bersyarat sebagaimana yang diberikan kepada Agus Condro.
"Kami rekomendasikan juga soal kemudahan proses Pembebasan Bersyarat (PB) ini. Karena yang bersangkutan juga sedang dalam proses," tambahnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Tony Wong, Dewi Aripurnamawati menyatakan bahwa perlindungan dari LPSK ini memang agak terlambat. Meski begitu, sambung dia, dirinya tetap mengapresiasi.
"Semua orang tahu Tony Wong yang membongkar praktek ilegal loging di Ketapang, Kalimantan Barat. Atas itulah dia dipenjara oleh aparat yang dendam dengannya. Jadi sudah seharusnya negara ini memberikan perlindungan kepadanya. Meski agak terlambat, kami tetap berterima kasih," tegas Dewi.
Ditambahkan, dengan keluarnya rekomendasi dari LPSK, maka tidak ada alasan bagi Kejagung dan Kemenkum HAM untuk tidak memberikan pembebasan bersyarat (PB) kepada Tony Wong.
"Selama ini, PB-nya terkesan diganjal. Dengan rekomendasi dari LPSK ini, maka kami berharap Tony Wong juga memperoleh kemudahan Pembebasan Bersyarat seperti Agus Condro," imbuhnya.
Seperti diketahui, Tony Wong pengusaha asal Ketapang, Kalimantan Barat yang membongkar praktek mafia illegal logging di daerah itu pada tahun 2007. Praktek mafia ilegal logging yang merugikan negara ratusan triliun rupiah ini melibatkan cukong asal Malaysia dan sejumlah pejabat, termasuk aparat kepolisian. Kasus ini menjadi perhatian media massa nasional dan petinggi Polri hingga Presiden.
Akibat aksinya itu, Tony Wong harus menerima perlakuan kriminalisasi oleh aparat hukum yang menaruh dendam. Tony Wong dijerat pasal korupsi untuk perkara keterlambatan membayar uang Provisi Sumber Dana Hutan (PSDH) dan uang Dana Reboisasi (DR). "Ini kan perkara perdata, tapi dipaksakan masuk kasus korupsi agar Tony Wong bisa segera ditangkap," kata Dewi Aripurnamawati.
Namun, imbuh dia, pada tanggal 26 May 2008 PN Ketapang memutus vonis bebas. Tapi JPU memaksa untuk Kasasi. Oleh MA kurang dari 2 bulan setelah berkas diterima, berdasarkan putusan No.1481 K/pid.Sus/2009 tanggal 21 Oktober 2008, Tony Wong divonis hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta.
Ditambahkan, karena perkara tersebut di PN Ketapang dibebaskan, maka aparat kepolisian kembali menangkap Tony Wong dengan perkara Ilegal logging dengan objek hukum milik orang lain. "Mungkin teman-teman ingat, Pak Tony Wong yang baru keluar lapas Ketapang karena divonis bebas, langsung dihadiahi surat penangkapan oleh polisi. Lapas Ketapang dikepung oleh ratusan polisi agar Tony Wong tidak bisa lari," tambah Dewi.
Oleh majelis hakim PN Ketapang, Tony Wong divonis 10 bulan dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat. Namun, Mahkamah Agung lagi-lagi memvonisnya 5 tahun dan denda Rp10 juta dalam keputusan No.2280 K/Pid.Sus/2009 tanggal 29 Nopember 2010.
"Yang aneh adalah eksekusinya, Pak Tony Wong sudah menjalani hukuman pada kasus yang pertama selama 3 tahun lebih. Tepat tanggal 30 Mei 2011, tepatnya 7 jam menjelang bebas, Kejari Ketapang mengesekusi vonis perkara kedua ini. Klien kami tidak menerima salinan aslinya dari putusan MA itu, hanya berupa fotocopy fax yang bersumber dari Pengadilan Tinggi Pontianak ," jelas Dewi lagi.
"Ironisnya, sampai saat ini di website MA, Perkara No : 2280 K/Pid.Sus/2009 masih dalam status pembahasan team J. Namun, dalam petikannya sudah diputuskan 29 Nopember 2010 lalu. Jadi kami bingung, mana yang benar," tambahnya.
Setelah menjalani semua hukuman itu, terang Dewi, kini Tony Wong berupaya mendapatkan haknya untuk proses Pembebasan Bersyarat (PB). Sayangnya, kejaksaan kembali mengganjalnya dengan alasan Tony Wong masih memiliki perkara No 103/Pid.B/2004/PN.KTP tahun 2004 yang belum diputuskan MA.
"Klien kami juga berperkara pada tahun 2004. Dalam perkara itu JPU menuntut 4 bulan penjara, namun majelis PN Ketapang dalam putusannya melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum (On Recht Van Verfolging), memulihkan harkat dan martabat terdakwa seperti sedia kala," terang Dewi dengan panjang lebar.
Atas putusan ini, jelas Dewi, JPU mengajukan kasasi dengan Nomor Akta Kasasi 08/Akta.Pid/2004/PN. KTP dan berkas perkara tersebut telah dikirimkan oleh Pengadilan Negeri Ketapang ke Mahkamah Agung RI dengan surat pengantar No: W11.D8.HN.01.10-842, tanggal 29 September 2004. "Hingga saat ini belum ada putusan dari MA, apakah terdaftar atau tidak, juga tak jelas, anehnya perkara tsb juga tidak dapat kami temukan dari daftar 188 Perkara yang diajukan PN Ketapang ke MA dalam priode 2001-2011" tambahnya.
"Jadi dengan dalih perkara inilah, Kejari tidak bersedia memberikan "surat keterangan tidak ada perkara lain" untuk klien saya. Kan aneh, perkara tahun 2008 sudah divonis, tapi perkara tahun 2004 masih menggantung . Celakanya, daftar perkara ini tidak tercatat dalam website MA. Kami menduga, ada yang bermain dalam kasus ini agar klien kami tetap ditahan karena banyak pihak yang tidak nyaman akibat kasusnya dibongkar," pungkas Dewi.
Dewi juga menyebutkan, Kanwil Hukum dan HAM Kalbar sudah menyurati MA untuk meminta penjelasan Perkara No 103/Pid.B/2004/PN.KTP tahun 2004 , namun belum memperoleh jawaban resmi dari MA. (fuz/boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polri Akhirnya Hentikan Program Inafis
Redaktur : Tim Redaksi