Namun, menurut Din, itu lebih bersifat adat istiadat saja. "Saya kira, saya tidak mau menanggapi hal-hal kecil, tapi yang jelas menurut saya itu tidak ada tali-temalinya dengan agama. Larangan atau dalmm bentuk perintah itu tidak terkait dengan agama, terlebih hanya bersifat adat istiadat," kata Din ditemui di gedung parlemen, di Jakarta, Selasa (8/1).
Din mengaku tidak tahu persis apa latar belakang Peraturan Daerah (Perda) itu dibuat. Ia mengatakan, di kehidupan modern yang mengalami perubahan, antara etis dan yang tidak etis itu sebagian sudah tidak mudah lagi dikenali.
"Apakah perempuan kalau membonceng motor dengan mengangkang atau tidak, itu (bisa untuk membedakan perempuan, red) mana yang lebih baik. Oleh karena itu, hal-hal semacam itu tidak usah dibesar-besarkan," jelas Din.
Ia mengingatkan Pemko Lhokseumawe agar larangan itu dikaji secara mendalam sebelum diterapkan, tidak membuat muncul resistensi dari publik. "Kan katanya 2013 harus jauh dari kegaduhan politk, jadi kita harus menghindari kegaduhan," ungkapnya.
"Dan bagi saya ini adalah isu kecil. Jadi, menurut saya hal-hal seperti itu jangan dikait-kaitkan dengan agama. Belum tentu yang tidak ngangkang itu lebih agamis, dan yang ngangkang itu tidak agamis," pungkasnya.
Seperti diketahui Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya telah menandatangani surat edaran yang melarang perempuan mengangkang saat dibonceng motor, Senin 7 Januari 2013. Setelah tiga bulan dan bila berdampak positif, maka surat edaran itu akan dijadikan Peraturan Daerah (Perda).
Surat bernomor 002/2013 dan tertanggal 2 Januari 2013 ini ditandatangani Wali Kota Suaidi Yahya, Ketua DPRK Saifuddin Yunus, Ketua MPU Tengku Asnawi Abdullah, dan Ketua MAA Tengku Usman Budiman.
Sebagai langkah sosialiasi, Pemkot mulai mengirimkan surat edaran seluruh kantor kepala desa yang ada di Lhoseumawe. Sosialisasi juga akan ditempuh dengan memasang baliho dan spanduk. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nazaruddin Tuding Neneng Dilibatkan Karena Dendam Chandra
Redaktur : Tim Redaksi