jpnn.com, JAKARTA - Polisi menangkap delapan aktivis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) secara terpisah.
Mereka yang ditangkap yakni Juliana, Devi, Wahyu Rasari Putri, Khairi Amri, Kingkin Anida, Anton Permana, Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat.
BACA JUGA: Percakapan di Grup WA KAMI Ngeri? Ada juga Kalimat soal TNI di FB, Bunyinyaâ¦
Lima orang di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Bareskrim Polri.
Presidium KAMI menyampaikan pernyataan sikap terkait penangkapan tersebut.
BACA JUGA: Pesan Jenderal Gatot Nurmantyo untuk Rakyat Indonesia, Aktivis KAMI Bukan Karbitan!
Dalam pernyataannya, KAMI memprotes aksi penangkapan kepolisian terhadap anggotanya.
KAMI berpandangan penangkapan itu tidak mencerminkan fungsi kepolisian.
BACA JUGA: 8 Aktivis KAMI Diciduk Polisi, Nyali Jenderal Gatot Nurmantyo Diuji
KAMI berpandangan, penangkapan kepada tokohnya, khususnya Syahganda Nainggolan tidak lazim dan menyalahi prosedur.
Hal itu terlihat dari dimensi waktu dasar laporan polisi dan keluarnya Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) pada hari yang sama.
"Lebih lagi jika dikaitkan dengan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) Pasal 17 tentang perlu adanya minimal dua barang bukti, dan UU ITE Pasal 45 terkait frasa "dapat menimbulkan", penangkapan para tokoh KAMI patut diyakini mengandung tujuan politis," tulis pernyataan organisasi tersebut seperti dikirimkan Presidium KAMI Din Syamsuddin kepada jpnn, Rabu (14/10).
Lebih lanjut, KAMI memandang polisi tengah menggiring opini publik dalam penangkapan tokohnya.
Diduga polisi bertujuan mendiskreditkan KAMI sebagai organisasi.
"Semua hal di atas, termasuk membuka nama dan identitas seseorang yang ditangkap, menunjukkan bahwa Polri tidak menegakkan prinsip praduga tak bersalah, yang seyogya harus diindahkan oleh lembaga penegak hukum," ungkap Din Syamsuddin.
Kemudian, KAMI menduga ponsel beberapa tokohnya diretas dan dikendalikan pihak tertentu.
Hal demikian sering dialami oleh para aktivis yang kritis terhadap kekuasaan negara.
"Termasuk oleh beberapa tokoh KAMI. Sebagai akibatnya, "bukti percakapan" yang ada sering bersifat artifisial dan absurd," beber pernyataan resmi KAMI itu.
Dalam pernyataan berikutnya, KAMI menolak dikaitkan dengan tindakan anarkis dalam unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang dilakukan buruh, mahasiswa dan pelajar.
KAMI mendukung mogok nasional dan unjuk rasa kaum buruh sebagai bentuk penunaian hak konstitusional.
Namun, KAMI secara kelembagaan belum ikut serta, kecuali memberi kebebasan kepada para pendukungnya untuk bergabung dan membantu pengunjuk rasa atas dasar kemanusiaan.
"Polri justru diminta untuk mengusut adanya indikasi keterlibatan pelaku profesional yang menyelusup ke dalam barisan pengunjuk rasa dan melakukan tindakan anarkis termasuk pembakaran," tulis pernyataan resmi KAMI.
Kemudian, KAMI meminta kepolisian membebaskan para tokohnya dari segala tuduhan.
Termasuk, upaya penerapan UU ITE kepada tokoh KAMI yang banyak mengandung pasal karet dan patut dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi dan konstitusi.
"Kalaupun UU ITE tersebut mau diterapkan, Polri harus berkeadilan yaitu tidak hanya membidik KAMI saja, sementara banyak pihak di media sosial yang mengumbar ujaran kebencian yang berdimensi SARA, tetapi Polri berdiam diri," pungkas pernyataan KAMI. (ast/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan