Din Syamsudin Sebut Politik Indonesia Tak Bermoral

Kamis, 22 November 2012 – 06:46 WIB
PADANG--Cita-cita reformasi tahun 1998 sampai hari ini masih jauh dari yang diharapkan. Hal itu akibat negara Indonesia belum siap menghadapi perubahan tersebut.

"Begitu ada reformasi tentu ada perubahan, tapi kita tidak siap dengan konsep yang harus kita buat. Ini kegagalan kita," kata Guru Besar Pemikiran Politik Islam FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof Dr M Din Syamsuddin pada seminar nasional dengan tema "Politik Miskin Moralitas : Menyusun Agenda Strategis bagi Indonesia yang Lebih Adil dan Sejahtera" di Hotel Axana, Kota Padang, Rabu (21/11).

Pada seminar yang diadakan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol (IAIN-IB) Padang itu, Din Syamsuddin mengemukakan, ketika bicara perubahan, dan ketika perubahan itu terjadi, bangsa ini tidak tahu apa yang ingin dilakukan kemudian. "Untuk itu, reformasi bagi Indonesia baru, harus ada blue print-nya," ujarnya.

Salah satunya, sambung Ketua Umum PP Muhammadiyah itu, harus jelas haluan dari negara tersebut. Haluan negara berupa konsensus seluruh rakyat. Jika itu telah ada, maka pemimpin Indonesia hanya memerlukan pendekatan pada rakyat yang dipimpinnya. "Tidak harus menyerahkan sepenuhnya pada visi dan misinya saja," ujarnya.

Dia mengingatkan, ketika terjadi perubahan, maka seketika itu pula agen-agen asing berkeliaran. Agen-agen asing itu akan melakukan intervensi-intervensinya. Salah satunya melalui intervensi kekayaan alam Indonesia. Ia pun tak menampik, saat ini banyaknya kekayaan alam Indonesia yang "dijarah" asing.

Di sisi lain, penguasaan dari asing tersebut, menggambarkan adanya distorsi dan deviasi dari cita-cita nasional Bangsa Indonesia yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 45. Kondisi itu membuat terjadinya kesenjangan kesejahteraan yang dirasakan rakyat Indonesia. Sebaliknya, justru asing diperkaya dari hasil bumi kita. Bukanlah rahasia umum lagi, sebagian besar sektor-sektor strategis dikuasai asing. Seperti sektor energi, perbankan dan telekomunikasi. "Ketiga sektor itu hampir di atas 50 persen dikuasai asing," sebutnya.

Dalam seminar itu, Din juga menilai politik di Indonesia telah mengalami perubahan dari otoriter kepada demokrasi. Ada beberapa penilaian terhadap demokrasi Indonesia. Pertama masih bersifat prosedural. Kedua, demokrasi prosedural belum menjadi demokrasi substantif dalam artian selalu mengaitkannya dengan kesejahteraan rakyat.

Parahnya lagi, politik di Indonesia diperburuk dengan politik transaksional, terutama terkait adanya koalisi politik yang dibangun di dalam pemerintahan saat ini. "Saya termasuk mengkritisi koalisi. Koalisi sesat dan menyesatkan. Ketika ada koalisi, maka ada suara yang tidak berpihak pada rakyat," tegasnya.

Politik transaksional sangat berbahaya. Ketika itu terjadi maka terjadi politik dagang sapi yang tidak saja mengancam diri secara pribadi tapi juga lembaga negara. "Yang paling berbahaya ada tingkat saling menyandera. Tidak peribadi tapi hingga ke lembaga. Saling mengunci sehingga tidak jadi ada solusi. Contoh perseteruan antara Dahlan Iskan dengan DPR dan Dipo Alam dengan DPR," tandasnya.

Akibat lain dari itu, banyak dihasilkan UU yang tidak berpihak pada rakyat. "Untuk itu Muhammadiyah memohonkan judicial review beberapa UU, salah satunya (yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi) UU Migas," pungkasnya.

Politik Indonesia tidak bermoral, karena dijalankan dengan sistem dan konsep yang tidak baik. "Betapa banyak haji masuk ke ranah politik, tetap tidak bisa melakukan perubahan, malah dia dipenjara," tuturnya. Politik saat ini cenderung jadi mata pencarian, tidak sekedar untuk mengabdi kepada rakyat. "Politik untuk jadi kaya," ucapnya. Untuk itu dia menyarankan perlunya revitalisasi cita-cita bangsa, revitalisasi karakter bangsa serta watak bangsa. (bis)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mendagri Segera Tarik Tiga Pejabat dari KPU

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler