Dinamika Politik Bakal Liar dan Rumit

Selasa, 09 September 2014 – 06:15 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Upaya partai-partai di Koalisi Merah Putih meloloskan ketentuan kepala daerah kembali dipilih DPRD, melalui Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah bakal memiliki efek yang luas.

 

Pemerintahan pusat yang dikomandani Jokowi-Jusuf Kalla bakal sulit bergerak. Terutama, berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang harus bersentuhan dengan kepala daerah.
     
Ketua Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat Syarifudin Sudding mengingatkan, perbedaan pandangan dalam proses pembahasan RUU Pilkada lebih condong karena perbedaan cara pandang politik. Bukan didasari pada upaya bersama untuk mengawal amanat konstitusi.
       
"Menurut saya, jangan hanya karena kepentingan politik, lantas melanggar apa yang terjadi dalam konstitusi," ujar Suding di komplek parlemen, Jakarta, kemarin (8/9).
       
Dia memaparkan, efek dari ketentuan pemilihan kepala daerah dipilih DPRD yang lebih didasari kepentingan politik tersebut akan serius. Situasi politik ke depan hampir dipastikan akan labil.
       
"Ketika ini dipilih DPRD, hampir dipastikan KMP (Koalisi Merah Putih, red) dengan suara mayoritas di DPRD provinsi dan kabupaten akan memenangkan wakil yang mereka usung. Nah, ini akan berimplikasi dengan proses pemerintahan (pusat) Jokowi-JK juga," kata Suding.
       
Hingga lima tahun kedepan, lanjut dia, akan terus muncul perbedaan yang tajam. Bukan hanya di tingkat pusat, tapi juga hubungan pusat dan daerah. "Ini semua karena landasan pengambilan kebijakannya hanya karena kepentingan politik, bukan untuk kepentingan lebih besar," tandasnya.
    
Selain itu, imbuh Sudding, potensi kepala daerah yang berkualitas akan pula tertutup dengan mekanisme tersebut. Menurut dia, satu koalisi pasti akan memilih calon yang menjadi kesepakatan bersama. Mekanisme penentuan itu juga jauh dari transparansi, karena tidak melibatkan publik.

BACA JUGA: Menkes Tegaskan Program JKN Tak Merugikan

"Mau berharap calon independen? Tidak mungkin itu, pastilah koalisi akan mengajukan calonnya sendiri," ujarnya.

BACA JUGA: Jumlah Pelamar Kecil di Sejumlah Instansi

Melihat pada pengalaman Revisi Undang Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Sudding berharap situasi itu tidak lagi terjadi. Dalam hal ini, tajamnya perbedaan pandangan di pembahasan RUU MD3 membuat Fraksi PDIP mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Membawa setiap UU yang baru saja disahkan untuk digugat ke MK adalah hak siapapun, namun memunculkan suasana yang kurang harmonis.

BACA JUGA: Sudi Pastikan Pengadaan Mercy bagi Menteri Sudah Diketahui Jokowi

"Apakah setiap produk yang dipaksakan disahkan kemudian dibawa ke MK. Sebaiknya lihatlah kehendak masyarakat luar. Demokrasi itu bicara efektivitas pemerintahan, kalau ada kelemahan, tugas kita memperbaiki," ujarnya.

Sudding menyatakan, upaya lobi sampai saat ini terus dilakukan. Namun, hanya ada dua fraksi yakni PDIP dan Hanura yang konsisten untuk mendukung sistem pemilihan langsung.

Sementara Fraksi PKB di DPR, memilih berada diantara kedua kutub pandangan. Opsi yang diusung adalah pemilihan langsung untuk pilkada provinsi, sedangkan untuk pilkada kabupaten/kota menggunakan pemilihan DPRD.
       
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro senada dengan Suding. Menurut dia, situasi ketidaksinkronan dalam banyak hal pemerintah pusat dan daerah di era Presiden SBY, kedepan akan semakin parah jika ketentuan kepala daerah dipilih DPRD jadi diputuskan. Mayoritas gubernur dan bupati/walikota dipastikan akan didominasi kubu KMP.
       
"Akan muncul dinamika politik yang liar antara pusat dan daerah nantinya, akan ada kerumitan yang luar biasa," kata Siti Zuhro saat dihubungi.
       
Menurut dia, resistensi kepala daerah yang memiliki kiblat politik berbeda dengan pemerintahan Jokowi-JK, bakal sulit dihindari.

"Jangankan Jokowi-JK yang mau menerapkan koalisi ramping, SBY-Boediono yang didukung koalisi partai yang gemuk saja kerepotan kok menghadapi kepala daerah di luar Demokrat," bebernya.
       
Dia kemudian mengambil contoh kerumitan hubungan pusat dan daerah ketika pemerintahan SBY. Yaitu, ketika pemerintah pusat membuat kebijakan menaikkan harga BBM beberapa waktu lalu. Saat itu, di sejumlah daerah, kepala daerah dari PDIP ternyata justru ikut memimpin demo penolakan.

"Ketika itu saja sudah lucu sekaligus memprihatinkan, bayangkan jika nanti semua kepala daerah mimpin demo menolak kebijakan pemerintah pusat," tandas Siti.  (bay/dyn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Siapkan Mercy untuk Mobil Dinas Menteri di Kabinet Jokowi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler