Diorama Menjadi Drama

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 28 September 2021 – 13:41 WIB
Ilustrasi - Monumen Pancasila Sakti. Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Menjelang akhir September suhu politik nasional selalu hangat dan menjadi panas, karena perdebatan soal keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kudeta 1965.

Diorama di markas Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) itu terdiri dari beberapa patung. Ada patung Soeharto yang ketika itu menjabat sebagai komandan Kostrad, ada patung Sarwo Edhie Wibowo yang ketika itu menjadi komandan Resimen Parako (sekarang menjadi Kopassus), ada juga patung Jenderal Ahmad Yani, dan jenderal-jernderal lain yang menjadi korban dalam kudeta.

BACA JUGA: Gatot Nurmantyo Vs Letjen Dudung soal Hilangnya Patung Penumpasan G30S/PKI, Prabowo Diminta Bicara

Diorama itu menggambarkan saat-saat Soeharto mengatur strategi dan memberikan perintah kepada Sarwo Edhie untuk mengatasi kudeta yang dipimpin oleh Letkol Untung.

Beberapa jenderal TNI yang dikenal anti-PKI diculik dalam kudeta yang diyakini sebagai kudeta PKI. Jenderal-jenderal itu meninggal karena ditembak dan disiksa.

BACA JUGA: Gatot Nurmantyo Tuding TNI Disusupi PKI, Letjen Dudung Beri Jawaban Menohok

Diorama itu menjadi simbol perlawanan Kostrad terhadap PKI. Dua sosok militer, Soeharto dan Sarwo Edhie dikenal sebagai dua sosok yang berhasil menggagalkan gerakan Untung, yang kemudian disebut sebagai Gerakan 30 September PKI (G30S PKI).

Soeharto dan Sarwo Edhie juga dikenal sebagai pemburu dan penghancur PKI setelah kudeta digagalkan. Puluhan ribu atau ratusan ribu, bahkan ada yang menyebut jutaan, anggota dan simpatisan PKI di Jawa dan Bali, menjadi korban political revenge, pembalasan politik, paling berdarah dalam sejarah Indonesia merdeka.

BACA JUGA: Novel Bamukmin Ajak Masyarakat Lakukan Ini Menjelang Peringatan G30S/PKI

Sejarah ditulis oleh para pemenang dengan versinya masing-masing. Dalam setiap peristiwa besar selalu ada sisi misteri yang tidak terungkap.

Selalu ada sisi-sisi yang dirahasiakan, dan selalu ada versi dari masing-masing pihak. Setengah abad setelah peristiwa 30 September berbagai aspek masih menjadi perdebatan.

Versi sejarah Orde Baru menegaskan peristiwa itu sebagai pemberontakan PKI. Versi lain menganggap peristiwa itu sebagai ledakan persaingan di internal TNI Angkatan Darat. Sampai sekarang dua versi masih tetap menjadi kontroversi dan perdebatan yang berkepanjangan.

Sejarah ditulis oleh pemenang. Soeharto sekarang tumbang, dan ada upaya untuk menulis ulang sejarah itu. Presiden Soekarno dianggap punya peran dalam kudeta itu.

Setidaknya, sikapnya yang simpatik terhadap PKI dianggap menjadi pendorong PKI untuk merebut kekuasaan melalui kudeta. Versi ini yang sekarang dicoba untuk ditulis ulang.

Pada saat-saat menjelang kudeta, persaingan politik Soekarno dengan TNI-AD sedang berada pada titik didih tertinggi. Jenderal-jenderal TNI-AD di bawah Ahmad Yani gerah oleh sikap Soekarno yang memberi angin besar kepada PKI, yang makin hari makin kuat.

Kalau hal ini dibiarkan terus-menerus berkembang, ada dua kemungkinan yang akan terjadi, PKI akan mengambil alih kekuasaan melalui kudeta, atau PKI akan menjadi partai pemenang pemilu, dan mengambil alih kepemimpinan nasional melalui proses demokratis.

DN Aidit, pemimpin PKI, menyusun strategi dengan rapi dan sistematis. Jaringan-jaringan partai dibangun di dalam dan di luar negeri. Dalam memperjuangkan PKI, Aidit mengambil jalan strategi yang berbeda dengan gerakan komunis di negara lain.

Karl Marx mengajarkan bahwa ketika kapitalisme sudah matang maka akan terjadi revolusi kaum buruh proletar.

Revolusi itu menjadi puncak pertentangan kelas antara kaum borjuis penguasa alat produksi melawan buruh proletar. Revolusi proletar ini menciptakan masyarakat komunis, sama rasa sama rata, di bawah kediktatoran proletariat.

Jalan revolusi kekerasan ini diambil oleh kaum Bolshevik di Rusia di bawah Vladimir Lenin, yang mengadakan revolusi pada 1917. Revolusi itu berhasil menumbangkan rezim feodal Tsar, dan menaikkan rezim proletar baru dengan kekuatan utama yang bertumpu kepada kaum buruh proletar.

Kelompok Bolshevik tidak mempunyai anggota dalam jumlah masif. Jumlah mereka relatif kecil, tetapi mereka sangat militan dan mampu memengaruhi masyarakat luas yang sudah mengalami disilusi karena eksploitasi rezim Tsar.

Kaum Bolshevik yang kecil itu menjadi mesin revolusi yang efektif, karena sangat militan dan terorganisasi dengan sangat rapi.

Marx mengatakan bahwa kaum buruh akan menjadi kekuatan utama, yang menjadi anti-tesis perlawanan terhadap para borjuis pemegang modal dan penguasa alat produksi.

Pertentangan dua kelas itu akan dimenangkan oleh kaum proletar secara alami, karena kapitalisme yang matang akan membunuh dirinya sendiri.

Jalan revolusi Rusia tidak sepenuhnya bisa diterapkan di negara lain. Pemimpin gerakan komunis China, Mao Zedong, mengambil jalan yang berbeda.

China belum mengalami fase industri seperti Rusia. Tidak ada kelas buruh di China. Karena itu, Mao melakukan modifikasi politik dengan merekrut kaum tani sebagai kekuatan utama untuk melawan kelas penguasa.

Mao berhasil menggalang dukungan dari kalangan buruh tani, yang sudah sangat menderita karena eksploitasi para kaisar feudal China selama ribuan tahun. Hidup dalam suasana sama rasa sama rata, dengan masing-masing petani sama-sama menggarap sawah yang menjadi milik bersama, menjadi bayangan indah yang sangat diimpikan oleh para buruh tani itu.

Mao menyulap mimpi utopia itu menjadi seolah-olah nyata. Dengan mimpi itu Mao bisa melakukan radikalisasi terhadap para petani, sampai akhirnya mereka berani mati menjadi tulang punggung revolusi.

Pada 1949 Mao berhasil menumbangkan feodalisme yang sudah berkuasa ribuan tahun. Pada saat bersamaan Mao juga berhasil mengusir kelompok nasionalis yang berseberangan jalan dengannya.

Kelompok nasionalis terusir ke Taiwan, dan Mao menjadi penguasa tunggal China.

Revolusi Rusia melahirkan Leninisme. Revolusi China melahirkan Maoisme. Sumber mereka tetap sama, yaitu komunisme-Marxisme, tapi interpretasi dalam gerakan politik mereka berbeda-beda.

Tujuan idealnya sama, ingin menciptakan diktator proletar. Tapi, ujung-ujungnya sama-sama melahirkan diktator perorangan yang sangat represif.

Gerakan komunisme di Indonesia mengambil jalan yang berbeda dari Rusia dan China.

Satariono Priyo Utomo dalam ‘’Politik Dipa Nusantara’’ (2019) melakukan studi terhadap gerakan politik PKI di bawah Aidit. Disebutkan bahwa di bawah Aidit, PKI ingin merebut kekuasaan melalui jalan pemilu.

Strategi sudah disiapkan dengan matang oleh Aidit sebagai ketua PKI, di antaranya membangun sel-sela intelektual dengan mendorong aktivis PKI untuk aktif dalam diskusi-diskusi untuk membangun dan menyebarkan militansi.

Kalau saja tidak terjadi peristiwa 30 September, PKI diperkirakan bisa memenangi pemilu secara demokratis. PKI akan menjadi penguasa politik nasional tanpa melalui gerakan revolusi berdarah, seperti yang dilakukan Lenin maupun Mao.

PKI akan menjadi partai komunis dengan anggota terbesar di dunia. PKI akan menjadi satu-satunya partai komunis yang merebut kekuasaan melalui jalur pemilu demokratis.

Rusia menghasilan Leninisme, China melahirkan Maoisme, dan Indonesia bisa memunculkan Aiditisme.

TNI mencium gelagat itu. Lobi PKI yang sangat dekat dengan Soekarno membuat jenderal-jenderal TNI khawatir. Soekarno dianggap bergerak terlalu jauh dengan memperkenalkan konsep Nasakom, nasionalis, agama, dan komunis.

Tiga kekuatan itu menjadi kekuatan utama di Indonesia. Soekarno memaksakan supaya tiga kekuatan itu dipersatukan di bawah kepemimpinannya sebagai presiden seumur hidup.

Soekarno seorang pemikir yang sangat brilian. Namun, akhirnya dia terpeleset karena bereksperimen terlalu jauh. Menyatukan agama dengan komunisme adalah kemustahilan, seperti minyak dan air. Soekarno yang flamboyan berpikir bahwa dengan kekuatan karismanya ia bisa menyatukan minyak dan air.

PKI makin membubung tinggi karena mendapat angin dari Soekarno. Ganjalan paling besar yang dihadapi PKI adalah para jenderal di bawah kepemipinan Ahmad Yani. Ganjalan ini harus disingkirkan. Gerakan 30 September adalah upaya untuk menyingkirkan ganjalan itu.

Soeharto melihat gerakan 30 September sebagai pintu masuk yang memberinya legitimasi untuk menghancurkan PKI.

Ia kemudian merancang serangan balik itu bersama Sarwo Edhie di markas Kostrad.

Itulah yang digambarkan dalam jejeran diorama yang tiba-tiba menghilang itu. Diorama itu bukan sekadar jejeran patung tanpa makna yang bisa dihilangkan begitu saja. Diorama itu adalah simbol sejarah besar dari sebuah peristiwa besar, yang seharusnya memberi pelajaran besar.

Menghilangkan diorama itu sama dengan menghilangkan sejarah, atau sebagian sejarah. Kata Hegel, kita tidak pernah belajar apa pun dari sejarah. Satu-satunya yang kita pelajari dari sejarah adalah, kita tidak pernah belajar dari sejarah. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler