Empat mahasiswa Universitas Khairun di Pulau Ternate, provinsi Maluku Utara sedang menggugat agar mereka diperbolehkan kembali menjadi mahasiswa, setelah dipecat karena ikut terlibat dalam unjuk rasa soal Papua. Empat mahasiswa Universitas Khairun di Ternate diberhentikan karena ikut demo Papua di tahun 2019 Mereka sekarang menggugat Rektor di PTUN di Ambon atas pemecatan tersebut Seorang diantaranya juga dikenai tuduhan makar oleh polisi Ternate
BACA JUGA: Universitas Terkaya di Australia Membayar Pegawainya di Bawah Standar
Keempat mahasiswa tersebut, yakni Fahrul Abdullah W Bone, Fahyudi Kabir, Ikra S Alkatiri dan Arbi M.Nur, ikut ambil bagian dalam unjuk rasa tanggal 2 Desember bersama sekitar 50 orang lainnya tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua.
Dalam unjuk rasa tersebut, mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk melepaskan tahanan politik Papua dan memberikan hak kepada warga Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
BACA JUGA: Kisah Warga Indonesia Bertahan dalam Badai Ekonomi Akibat Lockdown di Melbourne
Polisi kemudian mendatangi lokasi unjuk rasa, di luar kampus Universitas Muhammadiyah di Ternate, sebelum akhirnya membubarkan aksi.
Polisi juga menahan 10 orang termasuk empat orang mahasiswa dari Universitas Khairan dan seorang Universitas Muhammadiyah, yakni Asri Abukhair.
BACA JUGA: Satu WNI Terluka dalam Ledakan di Lebanon
Mahasiswa tersebut kemudian dibebaskan keesokan harinya setelah ditahan selama 27 jam.
Salah seorang mahasiswa Arbi M.Nur mengaku ketika dalam tahanan mereka dipukuli bagian lengan, kaki dan kepalanya oleh petugas. Photo: Dua pengacara LBH Ansor Ternate M Fadly Abd Rahman dan Al Walid Muhammad di sidang PTUN Ambon 22 Juli 2020. (Foto: Supplied)
Menurut rilis yang diterima ABC Indonesia dari kelompok HAM Human Rights Watch, Rektor Universitas Khairun, Husen Alting telah menandatangani surat pemecatan empat mahasiswa tersebut pada tanggal 12 Desember 2019.
Alasannya, mereka telah "mencemarkan nama baik universitas, melanggar etika sebagai mahasiswa dan mengancam keamanan nasional."
Keempat mahasiswa tersebut baru menerima surat pemberhentian sebagai mahasiswa di bulan Maret 2020.
Tanggal 6 April 2020 mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Ambon, ibukota provinsi Maluku, karena di Ternate tidak ada PTUN.
Keempat mahasiswa ini didampingi oleh dua pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor Ternate, M.Fadly Abd Rachman dan Al Walid Muhammad.
Salah seorang di antara pengacara tersebut, M.Fadly mengatakan kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya hari Kamis (06/08) bahwa proses persidangan PTUN sekarang dalam proses pembuktian.
"Sidang berikutnya akan dilangsungkan tanggal 25 Agustus. Sebenarnya tiap minggu ada sidang namun minggu depan tidak ada karena ada perayaan 17 Agustus," kata Fadly lewat sambungan telepon.
Menurut M.Fadly, keempat mahasiswa tersebut menggugat karena pemecatan dilakukan tanpa mekanisme dan prosedur yang ada.
"Sampai sekarang mekanisme tidak pernah dijalankan. Mereka tidak pernah dipanggil untuk ditanyai mengenai apa yang sudah dilakukan," kata M. Fadly.
Ketika ditanya mengapa para mahasiswa tersebut tidak pindah saja ke universitas lain, M. Fadly mengatakan mereka sedang memperjuangkan prinsip hukum.
"Selain ada kepentingan hukum yang diperjuangkan, mereka juga tidak bisa pindah ke universitas lain karena tidak ada surat resmi seperti surat DO," kata M.Fadly lagi.
Menurut Fadly, mahasiswa dari universitas lain yang ikut dalam unjuk rasa damai tersebut tidak mendapat tindakan apapun dari perguruan tinggi mereka.
Salah seorang yang ditahan, Asri Abukhair dari Universitas Muhammadiyah, memang pernah mendapat peringatan dari Dekan jika dia akan dipecat bila ikut demo, namun tidak ada tindakan yang dilakukan terhadapnya. Mahasiswa juga dikenai tuduhan makar
Selain diberhentikan dari Universitas Khairun, salah seorang mahasiswa, Arbi M.Nur juga dikenai tuduhan makar dan penghasutan oleh polisi Ternate lewat surat yang dikeluarkan tanggal 13 Juli 2020.
Arbi menghadapi kemungkinan hukuman maksimal 20 tahun penjara bila dinyatakan terbukti bersalah melakukan makar dan enam tahun penjara karena delik penghasutan.
Kelompok HAM Human Rights Watch mengatakan polisi harus mencabut tuduhan terhadap Arbi Nur.
"Dia tidak melakukan kesalahan apapun saat menyampaikan dengan damai tuntutan bagi pembebasan tahanan politik dan hak menentukan nasib sendiri di Papua," kata Andreas Harsono, peneliti senior HRW di Indonesia.
Keempat mahasiswa tersebut saat ini sedang berada di Ambon, yang berlokasi 600 kilometer dari Ternate untuk kasus gugatan di PTUN.
Mereka harus membiayai sendiri akomodasi dan biaya transportasi mereka dan mendapat bantuan hukum cuma-cuma dari LBH Ansor.
Para mahasiswa ini juga menyewa sebuah rumah di Ambon untuk memantau perkembangan kasus gugatan mereka.
Human Rights Watch mendesak pemerintah Indonesia untuk menyelidiki kasus pemecatan mahasiswa tersebut dan juga tuduhan penggunaan kekerasan berlebihan oleh polisi terhadap para mahasiswa.
"Universitas Khairun harus mendukung kebebasan akademis dan kebebasan berpendapat, bukannya memberhentikan mahasiswa yang menyampaikan pendapat mereka dengan damai," kata Andreas.
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Pemekaran Wilayah, Nono Sampono: Kalimantan dan Papua Sama-sama Strategis