Wakil Dubes Inggris untuk Tiongkok Christina Scott menanggapi terjadinya pembongkaran kubah dan menara masjid di Tiongkok barat, sehingga kembali menarik perhatian pada isu penindasan terhadap minoritas Muslim di negara itu.
Melalui sebuah posting di media sosial minggu ini, Christina Scott mengomentari foto Masjid Dongguan yang ada dalam buku panduan wisata, dan kondisi masjid itu sekarang.
BACA JUGA: Penduduk Sementara yang Ingin Beli Rumah di Hobart Terhambat Biaya Tambahan yang Tinggi
"Buku panduan wisata sudah ketinggalan zaman. Ada ajakan mengunjungi Masjid Raya Dongguan. Jadi saya pun ke sana. Namun masjid itu ditutup karena renovasi yang tampaknya menghilangkan kubah dan menara," tulis Christina.
Salah satu komentar menyebut, "Ketika saya berada di sana pada bulan Juli, menaranya masih terlihat."
BACA JUGA: Penelitian Menemukan Orang yang Aktif Mengecek Fakta Masih Menyebarkan Berita Bohong
Postingan ini mendapat beberapa balasan berupa foto-foto masjid itu dengan kubah hijau besar dan dua menara tinggi, perpaduan arsitektur Islam dan Tiongkok tradisional.
Masjid Dongguan — masjid tertua di provinsi Qinghai, dekat wilayah Xinjiang — dibangun pada abad ke-14 di era Dinasti Ming.
BACA JUGA: Mantan PM Australia Bantah Pernah Lontarkan Komentar Anti-Islam Setelah 9/11
Christina juga mengaku melihat simbol bulan sabit Islam telah dihilangkan dari masjid lain di daerah itu.
Perubahan pada bentuk arsitektur masjid terjadi di tengah penindasan yang sedang berlangsung terhadap minoritas Muslim dan komunitas agama lainnya di bawah program "Sinoisasi" agama yang dijalankan Partai Komunis Tiongkok (PKC).
"Tujuan utama PKC adalah memberantas agama dan gerakan lain yang berada di luar PKC,” jelas Anna Hayes, dosen politik di James Cook University.
"Kita melihat tindakan keras berkelanjutan dan penindasan terhadap Falun Gong pada 1990-an, dan telah lama terjadi pada warga Tibet, orang Kristen, Muslim dan sebagainya," katanya.
"Akibat dari semua ini, PKC percaya warga masyarakat akan mengganti agama dan keyakinan mereka dengan kecintaan dan pengabdian terhadap partai," tambah Anna Hayes. Koneksi Islam ke dunia luar dicurigai
Pemerintah Tiongkok meluncurkan rencana lima tahun pada tahun 2018 untuk "Sinkronisasi" Islam.
Dalam rencana tersebut, ajaran Islam diwajibkan mempromosikan "Islam dengan karakteristik Tiongkok" dan patriotisme.
"Pemerintah Tiongkok ingin Islam di Tiongkok terlihat dan terdengar seperti Tiongkok," kata David Brophy, pakar Tiongkok di University of Sydney.
Ia mengatakan, segala sesuatu yang melambangkan koneksi ke dunia Islam yang lebih luas berpotensi dicurigai.
"Dalam hal ini, kita melihat bangunan yang menyerupai arsitektur Islam di Asia Selatan atau Timur Tengah dihilangkan kubahnya yang khas,” kata Dr Brophy.
"Ini telah terjadi di seluruh negeri, dan tidak hanya dalam kaitannya dengan bangunan keagamaan," jelasnya.
Laporan Australian Strategic Policy Institute tahun 2020 memperkirakan sekitar 16.000 masjid di Xinjiang telah dihancurkan sejak 2017.
Pemerintah Tiongkok membantah laporan tersebut sebagai "rumor".
"Masjid-masjid dengan "arsitektur Arab yang indah" sekarang melebihi jumlah sekolah di beberapa daerah miskin di Tiongkok," tulis Xi Wuyi dari Akademi Ilmu Sosial Tiongkok di media sosial Weibo.
Profesor Xi mengatakan pembangunan masjid semakin banyak dilakukan di daerah terbelakang di Tiongkok barat, yang didanai oleh negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Kuwait.
Pihak berwenang Tiongkok mengatakan negaranya kini memiliki "lebih banyak masjid per kapita daripada kebanyak an negara Muslim".
Namun demikian, Presiden Xi Jinping telah mendorong pengembangan "agama dengan karakteristik Tiongkok". Inggris dituding ingin permalukan Tiongkok
Sejak 2017, pemerintah Tiongkok telah dituduh melakukan pelanggaran HAM melalui penahanan massal, kerja paksa, dan pengawasan warga di Xinjang.
Warga Uyghur yang berbahasa Turki dan kelompok lain seperti warga Kazakh menjadi sasaran penindasan paling keras.
Namun dalam beberapa tahun terakhir ada juga laporan tentang meningkatnya pembatasan ibadah bagi minoritas Muslim Hui, yang secara budaya lebih mirip dengan mayoritas etnis Han di Tiongkok.
Pada tahun 2018 misalnya, warga Muslim Hui mencoba menghentikan pembongkaran masjid di wilayah otonomi Ningxia Hui, yang menurut pihak berwenang dibangun tanpa izin.
Wakil Dubes Inggris Christina Scott tahun lalu juga memposting di Twitter tentang pemindahan kubah dan menara masjid di Ningxia Hui, yang lebih dari sepertiga penduduknya penganut Islam.
"Tujuannya jelas untuk mempermalukan pemerintah Tiongkok dan menarik perhatian pada isu ini," kata Dr Brophy tentang postingan tersebut.
"Pembatasan ibadah orang Islam sekarang menjadi topik sensitif dalam diplomasi Tiongkok-Inggris," jelasnya.
Christina Scott juga telah melakukan perjalanan ke Tibet, di mana Beijing telah memaksakan "kesatuan budaya" pada umat Buddha Tibet sejak mengambil alih wilayah itu pada pertengahan abad ke-20.
Dalai Lama menyebut kebijakan Tiongkok di Tibet sebagai "genosida", istilah yang juga digunakan pendukung Uyghur untuk menggambarkan penindasan di Xinjiang.
Sejumlah parlemen negara-negara Barat, termasuk AS, Kanada dan Inggris, telah mendeklarasikan kebijakan Tiongkok terhadap Uyghur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang sebagai genosida.
Kementerian Luar Negeri Tiongkok dan Kedutaan Besar Inggris di Beijing telah dimintai komentar namun belum memberikan jawaban.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polisi Tangkap Abu Rusdan yang Disebut Pentolan Jemaah Islamiah, Pengikutnya Masih Diburu