TUNIS - Pengadilan di Tunisia kemarin (13/6) menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup terhadap mantan presiden Zine El Abidine Ben Ali atas dugaan memerintahkan pembantaian warga sipil dalam revolusi negara tersebut pada tahun 2010 lalu. Namun putusan itu dijatuhkan dalam persidangan ini dilakukan secara in absentia, karena Ben Ali sudah mengasingkan diri ke Arab Saudi sejak lengser dia dari kursi kepresidenan.
Diberitakan AFP, Kamis (14/6), mantan Menteri Dalam Negeri Rafik Belhaj Kacem dan beberapa pejabat pemerintahan yang dekat dengan Ben Ali juga mendapat hukuman hingga 15 tahun penjara. Namun, beberapa tokoh lain yang juga berperan dalam pembantaian tersebut divonis bebas. Jaksa penuntut sebelumnya meminta hakim menjatuhkan hukuman mati terhadap Ben Ali atas pembunuhan 22 warga sipil oleh tentara pemerintah dalam operasi pemberantasan kelompok anti-pemerintah di kota Thala dan Kasserine.
“Kami mencoba menjatuhkan vonis yang adil dan tidak seorangpun memberi tekanan pada kami. Kami hanya mendapat petunjuk dari Tuhan dan hati nurani kami sendiri,” kata hakim Chokri Mejri saat mengakhiri prosesi persidangan yang telah berlangsung selama 6 bulan terakhir di kota Kef, sebelah barat ibukota Tunis.
Terang saja putusan itu memancing amarah keluarga korban pembantaian yang berkumpul di luar gedung persidangan dengan membatalkan dakwaan terhadap 10 pejabat tinggi negara, termasuk mantan komandan paspampres Ali Seriati dan mantan direktur polisi anti huru-hara Moncef Laajimi. “Balas Dendam! Balas Dendam! teriak mereka (keluarga korban),” kata Abdelkarim Maghouri, seorang pengacara salah satu terdakwa yang hadir dalam persidangan tersebut kepada AFP. “Hakim tidak sempat membaca keseluruhan vonis karena keributan yang mereka buat,” kata Maghouri.
Wasfi Seihi, seorang pendemo yang sepupunya terbunuh di Thala mengatakan: "Hakim seharusnya menjatuhkan hukuman mati kepada semua terdakwa."
Adalah Mohamed Bouazizi, seorang penjual sayur dari kota Sidi Bouzid menginspirasi jalannya revolusi di negara belahan utara Afrika tersebut setelah aksi bakar diri untuk memprotes korupsi oleh pejabat pemerintah. Aksi yang akhirnya menewaskan dirinya tersebut menyulut rangkaian protes yang berlangsung selama berminggu-minggu dan berujung dengan jatuhnya Ben Ali, salah satu rezim otokrat paling kuat di jazirah Arab.
Bulan Oktober tahun lalu, negeri tersebut akhirnya mengadakan pemilu demokratis pertama yang dimenangi kelompok Islam moderat. Jatuhnya Ben Ali juga memicu rangkaian protes menuntut revolusi di Timur Tengah dan Afrika Utara yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Arab yang masih berlangsung sampai saat ini di beberapa negara di kawasan tersebut.
Sidang Rabu kemarin merupakan pertama kalinya pejabat pemerintah senior dijatuhi hukuman atas tewasnya ratusan pendemo dalam prosesi revolusi di Tunisia. Namun, banyak kalangan melontarkan ketidakpuasan atas dibebaskannya beberapa tokoh penting, serta keraguan berkepanjangan apakah Ben Ali akan benar-benar mempertanggung-jawabkan kejahatannya yang diperkirakan akan memicu rangkaian kekerasan baru di negara tersebut.
Ben Ali sebenarnya menghadapi banyak tuntutan pengadilan dan sebelumnya telah mendapat akumulasi hukuman penjara sebanyak lebih dari 66 tahun. Termasuk di antara tuduhan tersebut adalah penjualan obat terlarang dan penggelapan uang negara.
Sebelum sidang di Kef, sebuah pengadilan militer di Tunis Rabu kemarin juga menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara kepada Ben Ali. Dirinya divonis bersalah atas dugaan memerintahkan pembunuhan serta menyebabkan terjadinya kerusuhan dan penjarahan berkaitan dengan tewasnya 4 orang pemuda di kota Ouardanine pertengahan bulan Januari 2011 lalu.
Ben Ali dan istrinya saat ini menjadi buronan internasional. Namun, pemerintah Arab Saudi sama sekali tidak merespon permintaan ekstradisi yang dikeluarkan pemerintah Tunisia.(AFP/ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Iran Luncurkan Kapal Selam Nuklir
Redaktur : Tim Redaksi