JAKARTA - Tensi komunikasi antara parlemen dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sedang tinggi. Pemicunya sindiran dari Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning yang menyebutkan, dokter itu lebih jahat ketimbang Polantas untuk urusan tilang. Pihak IDI meminta Ribka bisa menjaga dedikasi korp kedokteran di seluruh Indonesia.
Sindiran Ribka tersebut terlontar di forum umum beberapa waktu lalu. Menurutnya dokter juga bisa menilang orang yang sakit. Parahnya lagi, Ribka juga mengungkapkan jika dokter bisa memainkan permintaan untuk uji laboratorium pasiennya.
Untuk setiap surat permintaan itu, biasanya dokter menerima komisi 15 persen dari biaya uji laboratorium. Padahal dengan pelajaran selama kuliah, penyakit-penyakit sederhana tidak perlu melakukan uji laboratorium.
Komentar dari Ribka yang notabene juga dokter itu tak pelak mengundang respon keras dari IDI. "Kita bukan berarti ingin membela diri. Tetapi kita ingin meluruskan duduk persoalannya seperti apa," kata Ketua Umum Pengurus Besar (Ketum PB) IDI Zaenal Abidin kemarin.
Menurut dia kode etik kedokteran sudah jelas mengatur jika antar teman sejawat, para dokter wajib memperlakukan seperti dirinya sendiri.
Menurut Zaenal ada banyak saluran yang bisa digunakan untuk menyampaikan keluhan jika menemukan dokter yang nakal. Diantaranya adalah melalui Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
"Selain itu juga bisa dilaporkan ke penegak hukum (polisi, red) jika melanggar hukum," ujar dia.
Sekjen PB IDI dr Daeng M. Faqih mengatakan, profesi dokter itu sama denga profesi yang lainnya. "Sama seperti polisi, wartawan, atau anggota DPR, oknum nakalnya juga ada di dokter. Tetapi saya tegaskan itu oknum, tidak bisa digeneralisir," tandasnya.
Faqih mengatakan jika PB IDI akan membela korp kedokteran yang benar-benar baik. Sebaliknya dia tidak menutup mata jika PB IDI tetap galak terhadap dokter-dokter yang nakal. Dia mengatakan jika IDI masih konsisten menjalankan fungsi kontrol, pengawasan, dan penegak kode etik para dokter.
Menurut Faqih, IDI selama ini tidak pernah menutup-nutupi kasus dokter yang nakal. Termasuk penjatuhan sanksi penjabutan surat izin praktek untuk dokter dengan pelanggaran serius. "Jika ada dokter yang berengsek, silahkan laporkan ke IDI," tegas dia. Cara tersebut lebih arif ketimbang melempar wacana negatif soal kiprah dokter di masyarakat.
Ketua MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta dr Anwari SpKFR CDA MARS CPHR menegaskan jika selama ini mereka tidak pernah melindungi dokter yang nakal. Dia menyebutkan dalam kurun beberapa tahun terakhir, laporan masyarakat terhadap kinerja dokter selalu ramai.
"Hampir setiap minggu ada laporan masyarakat, yang umumnya tidak puas dengan kinerja dokter," tandasnya. Dokter umum menjadi sasaran pengaduan masyarakat yang terbayak. Selanjutnya adalah dokter spesialis kandungan (obgyn) dan disusul dokter spesialis bedah.
Anwari meminta masyarakat tidak menilai kinerja dokter berdasarkan hasil akhirnya. "Ini paradigma yang salah," kata dia. Sebaliknya masyarakat diminta menilai dokter malalui usaha atau ikhtiar mereka selama menangani pasien. Apakah dalam ikhtiar tersebut sang dokter menyimpang dari standar operasional prosedur (SOP) atau tidak.
Dia mengatakan anggota DPR seharusnya fokus membuat regulasi soal kesehatan masyarakat dengan tepat. Misalnya soal regulasi harga obat dan jaminan kesehatan untuk masyarakat. "Jika harga obat diatur, dokter tidak akan bisa main mata dengan pihak farmasi," pungkas dia. (wan)
Sindiran Ribka tersebut terlontar di forum umum beberapa waktu lalu. Menurutnya dokter juga bisa menilang orang yang sakit. Parahnya lagi, Ribka juga mengungkapkan jika dokter bisa memainkan permintaan untuk uji laboratorium pasiennya.
Untuk setiap surat permintaan itu, biasanya dokter menerima komisi 15 persen dari biaya uji laboratorium. Padahal dengan pelajaran selama kuliah, penyakit-penyakit sederhana tidak perlu melakukan uji laboratorium.
Komentar dari Ribka yang notabene juga dokter itu tak pelak mengundang respon keras dari IDI. "Kita bukan berarti ingin membela diri. Tetapi kita ingin meluruskan duduk persoalannya seperti apa," kata Ketua Umum Pengurus Besar (Ketum PB) IDI Zaenal Abidin kemarin.
Menurut dia kode etik kedokteran sudah jelas mengatur jika antar teman sejawat, para dokter wajib memperlakukan seperti dirinya sendiri.
Menurut Zaenal ada banyak saluran yang bisa digunakan untuk menyampaikan keluhan jika menemukan dokter yang nakal. Diantaranya adalah melalui Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
"Selain itu juga bisa dilaporkan ke penegak hukum (polisi, red) jika melanggar hukum," ujar dia.
Sekjen PB IDI dr Daeng M. Faqih mengatakan, profesi dokter itu sama denga profesi yang lainnya. "Sama seperti polisi, wartawan, atau anggota DPR, oknum nakalnya juga ada di dokter. Tetapi saya tegaskan itu oknum, tidak bisa digeneralisir," tandasnya.
Faqih mengatakan jika PB IDI akan membela korp kedokteran yang benar-benar baik. Sebaliknya dia tidak menutup mata jika PB IDI tetap galak terhadap dokter-dokter yang nakal. Dia mengatakan jika IDI masih konsisten menjalankan fungsi kontrol, pengawasan, dan penegak kode etik para dokter.
Menurut Faqih, IDI selama ini tidak pernah menutup-nutupi kasus dokter yang nakal. Termasuk penjatuhan sanksi penjabutan surat izin praktek untuk dokter dengan pelanggaran serius. "Jika ada dokter yang berengsek, silahkan laporkan ke IDI," tegas dia. Cara tersebut lebih arif ketimbang melempar wacana negatif soal kiprah dokter di masyarakat.
Ketua MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta dr Anwari SpKFR CDA MARS CPHR menegaskan jika selama ini mereka tidak pernah melindungi dokter yang nakal. Dia menyebutkan dalam kurun beberapa tahun terakhir, laporan masyarakat terhadap kinerja dokter selalu ramai.
"Hampir setiap minggu ada laporan masyarakat, yang umumnya tidak puas dengan kinerja dokter," tandasnya. Dokter umum menjadi sasaran pengaduan masyarakat yang terbayak. Selanjutnya adalah dokter spesialis kandungan (obgyn) dan disusul dokter spesialis bedah.
Anwari meminta masyarakat tidak menilai kinerja dokter berdasarkan hasil akhirnya. "Ini paradigma yang salah," kata dia. Sebaliknya masyarakat diminta menilai dokter malalui usaha atau ikhtiar mereka selama menangani pasien. Apakah dalam ikhtiar tersebut sang dokter menyimpang dari standar operasional prosedur (SOP) atau tidak.
Dia mengatakan anggota DPR seharusnya fokus membuat regulasi soal kesehatan masyarakat dengan tepat. Misalnya soal regulasi harga obat dan jaminan kesehatan untuk masyarakat. "Jika harga obat diatur, dokter tidak akan bisa main mata dengan pihak farmasi," pungkas dia. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PKB Ajak Semua Parpol Legowo soal PBB
Redaktur : Tim Redaksi