BEKASI TIMUR – Suasana duka masih menyelimuti rumah sederhana pasangan Mirta Adinata (31) dan Siti Khodijah (32) di Perumahan Bekasi Jaya Indah (BJI) Kampung Crewet Jalan Melur 1 Blok F 40 RT 03/ RW 14 Kelurahan Duren Jaya Kecamatan Bekasi Timur Kota Bekasi. Hingga malam hari, tenda besar dan jajaran kursi serta para pelayat juga masih tampak terus berdatangan.
Pasangan ini pada hari Jumat 24 Februari 2012 sekitar pukul 10.00 WIB, baru saja ditinggalkan buah hati tercintanya, Keanu Febrian yang lahir di RS Sentosa Durenjaya Bekasi Timur dua hari lalu (Rabu 22 Februari 2012). Keanu yang lahir dengan cara operasi caesar, sebelumnya sempat disarankan dirujuk oleh pihak rumah sakit, karena menderita kelainan pada jantung dan paru-parunya.
“Kata rumah sakit Sentosa dia nggak punya alat ventilator dan ruang khusus perawatan anak NICU,” ujar Mirta sang ayah yang ditemui di rumah duka, Jumat 24 Februari 2012.
Karena keterbatasan alat itulah, maka kemudian pihak RS Sentosa menghubungi beberapa rumah sakit yang punya alat tersebut. “Tapi semua rumah sakit yang dihubungi, termasuk RSUD Kota Bekasi semuanya penuh. Saya aneh masa Kota sebesar ini rumah sakit penuh semua,” imbuhnya dengan nada sedih.
Karena panik Mirta kemudian berinisiatif datang ke RS Ibu dan Anak Bela yang ada di Jalan Ir H. Juanda Bekasi Timur. Mirta datang ke rumah sakit itu sekitar pukul 02.00 WIB Jumat dinihari. “Saya pas datang langsung dintanya-tanya tentang riwayat anak saya. Setelah itu rumah sakit langsung menyarankan saya untuk bayar uang muka sebesar Rp7 juta sampai Rp10 juta,” katanya.
Selain itu Mirta juga diwajibkan membayar uang menginap untuk perawatan perharinya sebesar Rp 2 juta. “Itu semua belum termasuk biaya obat dan perawatan anak saya,” lanjutnya. Namun, mungkin karena penampilan sang ayah yang tidak meyakinkan tiba-tiba pihak rumah sakit mengatakan bahwa semua ruang rawat inap untuk bayi sudah penuh. “Saya sempat ngemis-ngemis ke rumah sakit, saya janji saya bayar asal anak saya ditolong. Tapi tetap saja dia menolak,” sesal Marti.
Dengan tubuh lemas karena tiga hari tidak tidur, Marti bersama teman-teman kerjanya kemudian kembali ke RS Sentosa. “Sampai di rumah sakit itu anak saya koma, dan rumah sakit belum bisa kasih kepastian dimana anak saya dirujuk. Besok pagi (Jumat) baru ada keputusan,” katanya.
Pagi harinya pada Jumat 24 Februari 2012, Marti menanyakan lagi ke pihak RS Sentosa kemana anaknya dirujuk. “Tapi lagi-lagi katanya semua rumah sakit yang dihubungi dalam keadaan penuh pasien, termasuk RS Karya Medika Cibitung. Saya semakin panik, dan ada temen kerja menyarankan anak saya dibawa ke RS yang ada di Cibinong Bogor,” ungkapnya.
Namun sayang, meski sudah mendapat kabar gembira bahwa ada sebuah rumah sakit di Bogor yang kosong dan bisa merawat, tapi kemudian takdir berkata lain. “Anak saya meninggal sekitar pukul 10.00 WIB, saya langsung lemas pak,” ucapnya sambil menahan air mata.
Jenazah Keanu kemudian dibawa ke rumah duka, dan dimakamkan di TPU Pereng Durenjaya Bekasi Timur Kota Bekasi sekitar pukul 16.00 WIB. “Total biaya perawatan termasuk jasa ambulance di RS Sentosa Rp 9.396.970,” katanya seraya memperlihatkan semua tagihan rumah sakit.
Marti sendiri sudah menerima takdir anak keduanya itu meninggal, tapi tetap saja ada rasa penyesalan atas lambatnya penangan pasien. “Apalagi setelah saya diperlakukan seperti itu oleh rumah sakit Bela, memang saya miskin. Tapi saya bisa kok bayar, apa karena penampilan saya yang lusuh,” ujar Marti yang sudah 12 tahun menjadi karyawan kontrak di PT Philips Cileungsi Kabupaten Bogor, dengan gaji perbulan hanya Rp1.345.000.
Sementara itu pihak RSIA Bela, melalui costumer service bernama Lidia Valentina tidak mau memberikan keterangan seputar adanya permintaan uang muka kepada calon pasien. “Gini mas saya tanya sama ayahnya dan saya belum mau memberikan keterangan apapun kepada wartawan,” katanya dengan nada marah, saat ditanya melalui sambungan telpon.
Lidia menyatakan meninggalnya Kaeanu bukan terjadi akibat adanya penolakan rumah sakitnya,“Nih mas ya, itu terjadi bukan karena kita nolak. Tapi kan memang sudah penuh, kita mau bilang apa kalau emang kenyataannya penuh,” katanya sambil menutup telpon.
Meskipun sudah memberikan bantahan, namu pihak keluarga masih mempertanyakan tidak adanya upaya apapun dari RSIA Bela, termasuk upaya untuk menawarkan rujukan. Karena tidak mungkin ada rumah sakit yang tidak punya jaringan dengan rumah sakit lain. “Saya berharap ini kejadian terakhir dan tidak terulang di kemudian hari,” kata ayah korban, Marti.
Semua biaya pengobatan ditanggung keluarga, beruntung pihak perusahaan mau memberikan pinjaman sebesar Rp4 juta yang harus dibayar secara di cicil. “Tabungan saya habis terkuras, tapi katanya nanti ada bantuan dari jamsostek, tapi ini masih diurus sama perusahaan,” tutupnya.
Anggota Komisi B DPRD Kota Bekasi, Rony Hermawan, sangat menyesalkan kejadian ini. “Rumah sakit swasta itu harus memenuhi ketentuan Corporate Social Responsibility (CSR),” katanya dalam pesan di blackberry massangger. Rony juga berjanji akan memberikan teguran kepada rumah sakit yang menolak untuk menangani pasien. “Kita akan undang semua rumah sakit swasta agar melaksanakan CSR,” lanjutnya.
Politisi Demokrat yang juga warga Bekasi Timur itu, meminta agar pemerintah memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal bagi masyarakat Kota Bekasi. “Alokasi anggaran pemerintah yang belum merupakan kebutuhan dasar, harus ditinjau kembali dan dialihkan ke anggaran yang menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan,” tandasnya. (mif)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dari Mataram untuk Palestina
Redaktur : Tim Redaksi