Dokter Konsultan Terancam Punah

Rabu, 08 Februari 2012 – 08:32 WIB

JAKARTA - Untuk penyakit tertentu, keberadaan dokter konsultan atau dokter sub spesialis cukup penting. Diantaranya bagi penderita kanker, atau pasien calon transplatasi ginjal atau liver. Sayangnya, beberapa kalangan mengkhawatirkan fenomena kelangkaan dokter konsultan di Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.

Kekhawatiran ini diantaranya disampaikan oleh Ketua Bidang Advokasi Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD K-GEH FINASIM MMB FACP.

Dia menjelaskan, ancaman kelangkaan dokter konsultan atau dokter sub spesialis ini disebabkan karena kelompok dokter ini tidak dimasukkan dalam RUU Pendidikan Kedokteran (Dikdok). Penggodokan RUU ini masuk tahap finalisasi di Komisi X DPR.

Dalam pasal 26 RUU tersebut diterangkan jika hanya ada dua jenjang pendidikan kedokteran. Yaitu program pendidikan akademik dan program pendidikan profesi. Untuk program pendidikan profesi, terdiri dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.

"Jadi dalam undang-undang ini tidak dicantumkan dokter sub spesialis atau dokter konsultan," katanya. Dokter konsultan atau sub spesialis adalah dokter yang tingkat spesifikasi keilmuannya lebih dalam ketimbang dokter spesialis. Ari mencontohkan, dirinya adalah konsultan Gastroenterologi-Hepatologi (K-GEH) yang masuk rumpun spesialis penyakit dalam.

Khusus di penyakit dalam, Ari mencatat saat ini ada 2.420 dokter spesialis penyakit dalam. Dari jumlah tersbeut, ada 588 bergelar dokter konsultan penyakit dalam. Selain itu juga ada 248 dokter spesialis penyakit dalam yang sedang menyelesaikan studinya untuk mengambil gelar konsultan atau sub spesialis.

Ari menjelaskan, RUU Dikdok ini sangat berkepentingan terhadap kelanjutan pendidikan dokter di tanah air. Dia mengaku khawatir dengan tidak dicantumkannya pendidikan dokter konsultan atau sub spesialis dalam RUU Dikdok membuat regenerasi dokter konsultan terputus. Akibatnya stok dokter spesialis di Indonesia bisa menyusut.

Ancaman menyusutnya stok dokter konsultan ini bisa berdampak pada layanan medis ke masyarakat. Pria yang juga menjadi staf pengajar di FKUI-RSCM itu menjelaskan, posisi dokter konsultan di tanah air ini akan diambil alih oleh tenaga dari luar negeri. "Mereka jelas tidak akan mau ditempatkan di RS pemerintah," katanya. Akibatnya, RS pemerintah akan kekurangan stok dokter konsultan.

Serbuan dokter konsultan luar negeri ini akan ditampung oleh RS swasta. Dalam jangka tertentu, masyarakat mau tidak mau akan memanfaatkan jasa medis dokter konsultan di RS swasta. Seperti sudah diketahui, ongkos berobat di RS swasta, apalagi dengan dokter asing cukup tinggi.

Saat ini, Ari memperkirakan layanan medis seperti konsultasi di dokter konsultan sebuah RS pemerintah sekitar Rp 250 ribu. Lebih tinggi Rp 100 ribu dibandingkan dengan jasa medis dokter spesialis sama-sama di RS pemerintah. Namun, Ari tidak bisa membayangkan tarif jasa medis dokter konsultan di RS swasta. "Masyarakat yang terbiasa dengan pengobatan murah bahkan gratis pasti dirugikan," jelas dia.

Imbas yang lebih parah kata Ari adalah, dokter-dokter spesialis yang berkantong tebal memilih terbang ke luar negeri untuk mengikuti pendidikan dokter konsultan atau sub spesialis.

Menurut Ari, saat ini memang pendidikan dokter konsultan atau sub spesialis sudah berjalan di negeri ini. Keberadaannya sementara dicantolkan ke UU Kesehatan.

Tetapi, jika nanti pendidikan dokter konsultan atau sub spesialis ini tidak tercantum dalam RUU Dikdok, maka keberlanjutannya akan terancam. Khususnya, subsidi dari pemerintah yang selama ini mengucur bisa terputus karena tidak masuk dari bagian pendidikan kedokteran. "Sebelum digedok, kita terus berharap supaya pendidikan dokter konsultan atau sub spesialis ini masuk ke RUU Dikdok," pungkas Ari. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bertahan Tanpa Detak Jantung


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler